Bouraq Indonesia Airlines sering disingkat menjadi Bouraq Airlines atau hanya Bouraq adalah maskapai penerbanganswasta Indonesia yang pernah beroperasi. Maskapai yang berdiri dari seorang pengusaha yang bernama Jerry Albert Sumendap ini jatuh bangun dalam mendirikan maskapai ini, putra Manado yang sebelumnya menghabiskan waktu untuk berbisnis kayu ini adalah pengagas transportasi udara di Kalimantan yang ingin membawa kekayaan sumber daya minyak dan hasil alam yang nantinya bisa meningkatkan cadangan devisa negara, di mana saat itu Indonesia berada pada masa pembangunan pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.
Nama Buraq sendiri diambil dari nama "kendaraan" Nabi Muhammad SAW saat peristiwa suci dalam Islam, Isra Mi’raj. Dengan pengambilan nama itu pula, menjadikan nama tersebut sebagai harapan untuk menjadi maskapai tercepat baik dari segi perkembangan usaha maupun ketepatan waktu waktu terbang.[2]
Sejarah
Pada awalnya, Jarry Albert Sumendap hanya berniat mendirikan maskapai penerbangan tak berjadwal untuk memudahkan kunjungannya dan karyawan senior mereka yang juga dimilikinya lewat PT Pordisa. Pada April 1969, dimulai proyek besar untuk mendirikan maskapai dengan cita-cita menghubungkan Kalimantan dengan pulau-pulau lain di tanah air. Bermodal tiga unit Douglas DC-3, Jerry Sumendap akhirnya memulai bisnisnya di industri penerbangan. Pada tanggal 1 April 1970 menjadi tonggak awal bagi nya karena pertama kalinya mendaratkan pesawat di lapangan rumput di Balikpapan, Kalimantan Timur. Perusahaan kayu miliknya memang memiliki kebutuhan untuk mengangkut pekerjanya ke kawasan pedalaman Kalimantan. Seiring berjalannya waktu, nasib berbeda dialami perusahaan kayu miliknya. Perusahaan kayu ini terpaksa berhenti beroperasi dan gulung tikar. Di sisi lain, Bouraq semakin membesar ditandai dengan langkah perusahaan yang mendirikan anak perusahaan Bali Air tahun 1972. Perusahaan barunya ini khusus dioperasikan untuk melayani rute perintis di daerah timur Indonesia. Selain Bali Air, Bouraq juga melahirkan anak perusahaan Bouraq Natour yang bergerak di bidang konstruksi. Bouraq Natour juga membantu pembangunan landasan Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi, Manado pada tahun 1976 dan perusahaan juga ikut membangun overlay dan paving landasan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali untuk pesawat berbadan lebar.[3] Selain itu, Bouraq juga sempat mengikuti tender pengadaan pesawat haji dengan menyewa 2 Boeing 707-100.
Setelah hampir satu dekade berdiri, Bouraq makin menghiasi langit Indonesia. Maskapai ini makin berkembang dengan pesat di dekade 1980an dengan ditunjang oleh empat armada pesawat Vickers VC-843 Viscount, tiga buah CASA NC-212 dan enam belas Hawker Siddley HS 748 seri 2A dan 2B, membuat armada Bouraq makin gencar untuk menerbangi penrbangan ke seluruh Indonesia, tidak hanya itu saja, Maskapai Bouraq pun memperkuat keberadaan Bali Air dengan menambahkan dua armada Britten Norman Islander dan empat buah Britten Norman Trislander untuk jarak pendek dan penerbangan perintis. Bouraq pun akhirnya memasuki masa puncaknya pada 1990-an, Bouraq berhasil mendapat predikat sebagai perusahaan penerbangan swasta dengan on-time performance terbaik untuk penerbangan domestik. Tidak hanya kata "selamat" yang datang, tetapi juga kata "kok bisa" pun juga keluar terkait dengan armada yang digunakan oleh Bouraq, yang secara samar dilihat sudah tua, membuat maskapai ini mendapat komentar pedas dari para pesaing yang sudah menguasai pasar domestik terlebih dahulu.[4]
Tak mau menerima kritikan pedas tersebut, Bouraq langsung menjawab nada negatif para pesaingnya dengan mendatangkan pesawat Boeing 737-200 untuk meningkatkan kualitas pelayanan, peremajaan pesawat dan memenuhi pertumbuhan bisnis yang tumbuh cukup signifikan dengan transaksi sebesar US$ 70 juta dollar, tujuh unit pesawat bekas berhasil didapat dari Malaysia Airlines yang rata-rata berusia 10 tahun dan hal ini membuat Bouraq pun makin lebar dengan dukungan armada yang berjumlah menjadi sebanyak 30 unit, sementara itu, Bouraq juga mengoptimalkan penggunaan SDM 100 awak pilot/kopilot. Satu yang unik dari dan jarang terjadi dalam industri penerbangan nasional adalah Bouraq mempekerjakan penerbang perempuan yaitu Meriam Zanaria, Lokawati Nakagawa dan Cipluk.
Pada tahun 1995 menjadi hari duka bagi seluruh Bouraq. Sang pendiri, Jerry Albert Sumendap, wafat dalam usia 69 tahun. Bouraq pun memasuki babak baru dengan masuknya Danny Sumendap pada akhir 1995. Bermodalkan tekad besar untuk mempertahankan eksistensi Bouraq, Danny melakukan restrukturisasi besar pada perusahaan demi bersaing dengan perkembangan zaman. Namun banyaknya loyalis dari Bouraq membuat keputusan drastis tersebut tak berjalan lancar sepenuhnya. Perlahan-lahan, upaya resrtukturisasi organisasi akhirnya mampu menyelamatkan Bouraq dari ketatnya persaingan bisnis penerbangan. Namun rasa nyaman ini hanya bertahan sementara. Bouraq harus berhadapan dengan persoalan yang jauh lebih besar, Krisis finansial Asia 1997. Krisis keuangan yang melanda Asia dan berdampak pada Indonesia ini terbukti telah menghempaskan sejumlah maskapai penerbangan. Namun, Bouraq tak menyerah begitu saja. Berbagai strategi disusun untuk tetap mempertahankan keberlangsungan Bouraq. Efisiensi pun terpaksa ditempuh dengan mengurangi pesawat dan pilot/kopilot.
Dalam kondisi ini, Bouraq ibarat kapal karam yang menunggu waktu untuk tenggelam. Tekanan yang makin kuat, membuat maskapai Bouraq lama kelamaan makin menyusut, baik jumlah armada maupun awak kabin. Jelang akhir hayatnya, Bouraq hanya menyisakan sebuah pesawat Boeing B737-200. Kejayaan sebagai maskapai yang memiliki puluhan pesawat berakhir dengan tragis jelang tutupnya Bouraq dengan disahkannya sertifikat pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 25 Juli 2005. Akhirnya, pada hari penetapan itu, maskapai yang berlogo "B" yang diselimuti oleh hijau toska yang selama ini menghiasi langit nusantara pun akhirnya "berpulang" ke "jurang kehancuran bisnis" dan tidak tampak lagi.[5]
Armada
Per September 2005, armada Bouraq Indonesia terdiri dari: