Tugas organisasi ini meliputi penyusunan program, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi dan pendayagunaan sumber daya air, serta pengendalian daya rusak air pada sungai, pantai, bendungan, danau, situ, embung dan tampungan air lainnya, irigasi, rawa, tambak, air tanah, air baku, serta pengelolaan drainase utama perkotaan di WS Brantas.[2]
Sejarah
Awal mula
Organisasi ini memulai sejarahnya pada bulan Januari 1901 saat pemerintah Hindia Belanda membentuk Irrigatie Afdeeling Brantas.[3] Tugas dari organisasi tersebut antara lain mengoperasikan Bendung Lengkong dan Pintu Air Mlirip untuk mengairi lahan pertanian di delta Sungai Brantas dan mencegah terjadinya banjir di Surabaya. Pada tahun 1912, organisasi tersebut mulai menempati kantor baru di pusat kota Mojokerto.[4] Setelah Indonesia merdeka, agar dapat mengembangkan infrastruktur di Sungai Brantas dengan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu", pada tahun 1967, Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik membentuk Badan Pelaksana Proyek Induk Serbaguna Kali Brantas atau biasa disingkat menjadi Proyek Brantas dengan kantor pusat di Malang. Proyek Brantas diberi tugas untuk[1]:
Melaksanakan pembangunan infrastruktur sumber daya air di wilayah Sungai Brantas
Mencetak kader-kader pengembangan sumber daya air melalui transfer pengetahuan dan keterampilan dari kontraktor dan konsultan asing.
Berbeda dengan pengembangan infrastruktur di Sungai Citarum yang dilakukan pada saat yang hampir bersamaan, untuk pengembangan infrastruktur di Sungai Brantas hingga tahun 1972, pemerintah sengaja tidak menggunakan jasa kontraktor asing dan hanya menggunakan jasa konsultan pengawas asing. Oleh karena itu, selama proses pembangunan, juga dilakukan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan agar para pekerja dapat menyelesaikan pembangunan. Sehingga setelah selesai membangun infrastruktur di Sungai Brantas, para pekerja diharapkan mampu mengerjakan proyek-proyek lain yang serupa di seantero Indonesia.[5]
Gagasan pemekaran
Pada awal dekade 1970-an, saat berkunjung ke lokasi pembangunan Bendungan Selorejo, Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Ir. Sutami, berpendapat bahwa sebuah organisasi otonom kedepannya harus didirikan untuk mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang telah selesai dibangun oleh Proyek Brantas. Pendapatnya didasarkan pada fakta bahwa:[6]
Infrastruktur di Sungai Brantas dikembangkan dengan prinsip "satu sungai, satu rencana, dan satu manajemen terpadu", sehingga sebaiknya dikelola oleh orang-orang yang memahami dan hidup dengan prinsip tersebut.
Jika infrastruktur yang telah selesai dibangun diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum setempat, sepertinya tidak ada cukup dana dan tenaga untuk mengoperasikan dan memeliharanya.
Organisasi otonom dapat menghasilkan pendapatan dari menjual listrik dan air, sehingga tidak membebani APBN.
Kedepannya akan memungkinkan untuk mengumpulkan dana yang cukup untuk membiayai proyek lain di sepanjang Sungai Brantas dengan membentuk unit usaha yang bergerak di bidang konstruksi, konsultansi, rekreasi, dsb.
Meskipun konsep dasarnya terlihat cukup jelas, tidak mudah untuk mewujudkan gagasan Ir. Sutami, antara lain karena belum ada landasan hukum untuk mendukung pendirian organisasi otonom semacam itu dan kepentingan organisasi otonom dikhawatirkan bertentangan dengan kepentingan pemerintah daerah setempat. Di sisi lain, meskipun ruang lingkup dan kewenangannya berbeda, sebenarnya telah ada organisasi otonom yang agak mirip, yakni Otorita Jatiluhur di Jawa Barat, tetapi organisasi tersebut dianggap kurang berhasil. PLN saat itu juga merupakan satu-satunya organisasi yang bertanggung jawab atas operasional pembangkit listrik di Indonesia, sehingga hampir pasti PLN juga tidak akan menyerahkan pembangkit listrik yang telah dibangun oleh Proyek Brantas ke organisasi otonom semacam itu.
Seiring berjalannya waktu, satu per satu proyek di sepanjang Sungai Brantas pun dapat diselesaikan, tetapi masih mengandalkan pembiayaan dari APBN untuk operasional dan pemeliharaannya. Bappenas kemudian ingin memangkas alokasi anggarannya ke Proyek Brantas, karena Bappenas berpendapat bahwa infrastruktur yang telah selesai dibangun seharusnya dikelola oleh organisasi lain, tidak lagi dikelola oleh Proyek Brantas.[6]
Pada tanggal 14 Agustus 1979, Direktur Jenderal Pengairan saat itu, Suyono Sosrodarsono, pun mengusulkan pemekaran Proyek Brantas menjadi tiga organisasi, yakni:
Badan pengembangan proyek, yang bertugas untuk mengelola proyek yang sedang berjalan, serta mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang telah selesai dibangun.
Organisasi rekayasa dan konsultansi, yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam perusahaan rekayasa dan konsultansi milik negara yang telah ada.
Organisasi konstruksi, yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam perusahaan konstruksi milik negara yang telah ada.
Diperkirakan bahwa pembentukan dua organisasi terakhir dapat dilakukan dengan cepat, tetapi pembentukan organisasi pertama mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama. Ide pemekaran tersebut lalu diajukan kepada Menteri Pekerjaan Umum saat itu, Purnomosidi Hadjisarosa, yang ternyata sangat mendukung dan meminta agar ide tersebut disiapkan lebih matang.
Pelaksanaan pemekaran
Pada tanggal 12 November 1980, bukannya diintegrasikan ke dalam salah satu perusahaan konstruksi milik negara yang telah ada, pemerintah ternyata lebih memilih untuk menjadikan organisasi konstruksi dari Proyek Brantas sebagai modal untuk mendirikan sebuah perusahaan konstruksi baru yang diberi nama Brantas Abipraya. Sedangkan organisasi rekayasa dan konsultansi kemudian diintegrasikan ke dalam Indra Karya, dan pembangkit listrik yang ada di sepanjang Sungai Brantas diserahkan ke PLN.
Sebagaimana yang telah diperkirakan sebelumnya, badan pengembangan proyek baru dapat dibentuk pada tanggal 12 Februari 1990 dengan nama Jasa Tirta, tetapi lingkup pekerjaannya dibatasi pada pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur yang telah selesai dibangun di Sungai Brantas, sementara infrastruktur yang sedang dan akan dibangun tetap dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum melalui Badan Pelaksana Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Brantas atau biasa disingkat menjadi PIPWS Brantas dengan kantor pusat di Surabaya.[6]
Pasca diterapkannya otonomi daerah di Indonesia, pada tahun 2006, nama organisasi ini diubah menjadi seperti sekarang.[7]
Kelolaan
Salah satu tugas dari organisasi ini adalah mengelola bendungan dan daerah irigasi di WS Brantas yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat antara lain adalah daerah irigasi dengan luas baku minimal 3.000 hektar.
Daerah irigasi
Operasional dan pemeliharaan daerah irigasi di WS Brantas yang menjadi kewenangan pemerintah pusat diperbantukan kepada pemerintah provinsi setempat, sementara perbaikannya tetap dilakukan oleh organisasi ini. Daerah irigasi tersebut meliputi[1]:
Daerah Irigasi Mrican (30.341 hektar)
Daerah Irigasi Siman (23.060 hektar)
Daerah Irigasi Delta Brantas (17.942 hektar)
Daerah Irigasi Lodoyo (12.217 hektar)
Daerah Irigasi Waduk Bening (8.752 hektar)
Daerah Irigasi Kedungkandang (5.160 hektar)
Daerah Irigasi Padipomahan (4.309 hektar)
Daerah Irigasi Molek (3.883 hektar)
Daerah Irigasi Menturus (3.632 hektar)
Daerah Irigasi Tambak Afvour Kalang Anyar (3.322 hektar)
Selain itu, karena berkantor pusat di Jawa Timur, organisasi ini juga ditugaskan untuk mengelola sejumlah daerah irigasi di Jawa Timur yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, tetapi terletak di luar WS Brantas. Operasional dan pemeliharaan daerah irigasi tersebut diperbantukan kepada pemerintah provinsi setempat, sementara perbaikannya tetap dilakukan oleh organisasi ini. Daerah irigasi tersebut meliputi[1]:
WS Baru-Bajulmati
Daerah Irigasi Baru (15.910 hektar)
Daerah Irigasi Setail (6.422 hektar)
Daerah Irigasi Setail Teknik (5.788 hektar)
Daerah Irigasi Porolinggo (3.515 hektar)
WS Bondoyudo-Bedadung
Daerah Irigasi Bedadung (13.202 hektar)
Daerah Irigasi Bondoyudo (11.784 hektar)
Daerah Irigasi Talang (8.844 hektar)
Daerah Irigasi Pondok Waluh (7.263 hektar)
Daerah Irigasi Jatiroto (4.342 hektar)
WS Pekalen-Sampean
Daerah Irigasi Sampean (10.208 hektar)
Daerah Irigasi Sampean Baru (7.854 hektar)
Daerah Irigasi Pekalen (6.479 hektar)
Daerah Irigasi Banyuputih (3.571 hektar)
Bendungan
Operasional dan pemeliharaan bendungan di WS Brantas dilakukan oleh Jasa Tirta I, sementara perbaikannya tetap dilakukan oleh organisasi ini. Bendungan tersebut meliputi[1]:
Selain itu, karena berkantor pusat di Jawa Timur, organisasi ini juga ditugaskan untuk mengelola sejumlah bendungan di Jawa Timur yang terletak di luar WS Brantas, yakni[1]: