Abdullah bin Ali al-Abbasi (bahasa Arab: عبد الله بن علي العباسي)[1] adalah seorang anggota Bani Abbasiyah yang memiliki peran utama setelah menjadi gubernur selama Revolusi Abbasiyah. Ketika menjabat sebagai gubernur Suriah, ia menegakkan kekuasaan Abbasiyah atas provinsi tersebut, membunuh sisa-sisa anggota keluarga Bani Umayyah dan menumpas pemberontakan pendukung mereka. Setelah kematian Abul Abbas As-Saffah, yang merupakan keponakannya dan khalifah pertama Abbasiyah, pada tahun 754, ia menuntut jabatan khalifah dalam melawan Abu Ja'far Al-Mansur, saudara laki-laki As-Saffah, tetapi berhasil dikalahkan dan dipenjarakan. Ia meninggal pada tahun 764.
Pada awal 749, di bawah pimpinan Abu Muslim al-Khurasani, pemberontakan anti-Umayyah yang dimulai di Khurasan telah terjadi di wilayah timur kekhalifahan, dan pasukan Khurasan pergi ke barat melintasi Persia ke perbatasan Irak. Pada bulan Oktober 749, As-Saffah dibaiat sebagai khalifah di Kufah, dan dengan cepat diterima oleh Abu Muslim dan orang-orang Kufah, sehingga mencegah keinginan pendukung Alawi (keturunan Ali bin Abi Thalib) untuk melakukan pemberontakan. Untuk memperkuat kontrol Abbasiyah, As-Saffah kemudian menunjuk anggota keluarganya sendiri untuk memimpin pasukan dengan saudaranya yang kelak menjadi khalifah, Al-Mansur, dikirim untuk memimpin Pengepungan Wasith, sementara Abdullah dikirim untuk menghadapi khalifah Umayyah, Marwan bin Muhammad (berkuasa 744–750), di Al-Jazirah.[7]
Abdullah kemudian menjadi pemimpin tertinggi pasukan Abbasiyah dalam Pertempuran Zab yang berakhir dengan kekalahan Marwan. Ia dan pasukannya kemudian mengejar Marwan dan pertama-tama ke Suriah dengan merebut ibu kotanya, Damaskus, lalu ke Palestina, yang memaksa Marwan untuk melarikan diri ke Mesir. Saudaranya, Shalih bin Ali, mengikuti Marwan ke Mesir tempat dia ditangkap dan dibunuh.[4][8]
Sebagai gubernur Suriah dan penumpasan pemberontakan
Pembunuhan yang sangat kejam dan kemenangan pasukan Khurasan segera menyulut pemberontakan suku-suku Suriah yang dipimpin oleh gubernur Jund Qinnasrin, Abu al-Ward bin al-Kautsar. Mereka bergabung dengan Abu Muhammad Ziyad bin Abdullah as-Sufyani, keturunan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan, yang ingin Kekhalifahan Umayyah berdiri kembali. Pemberontak pada awalnya berhasil mengalahkan pasukan Abbasiyah di dekat Qinnasrin yang dipimpin oleh saudara laki-laki Abdullah, Abdush Shamad bin Ali, tetapi Abdullah akhirnya memberikan kekalahan meyakinkan pada mereka di Marj al-Akhram pada akhir tahun 750. Abu al-Ward terbunuh di medan pertempuran, sementara Abu Muhammad melarikan diri ke gurun.[4][18] Tidak lama kemudian, keponakan Abu Muhammad, Al-Abbas bin Muhammad bin Abdullah, memberontak di Aleppo, tetapi Al-Mansur yang ketika itu memerintah Al-Jazirah, segera mengirim pasukan untuk memadamkan pemberontakan Al-Abbas sebelum Abdullah tiba. Abdullah kemudian berbaris ke benteng perbatasan Sumaysat, tempat para pendukung Umayyah berkumpul di bawah kepemimpinan Ishaq bin Muslim al-Uqaili.[19] Dalam peristiwa tersebut, penyelesaian yang dirundingkan antara Ishaq dan Al-Mansur disepakati, dan banyak pemimpin pro-Umayyah kemudian diterima ke dalam jajaran Bani Abbasiyah.[20] Pemberontakan lainnya yang dipimpin oleh Aban bin Muawiyah, cucu dari Hisyam bin Abdul Malik, meletus pada musim panas tahun 751 di dekat Sumaysat dan memaksa Abdullah menghentikan serangan ke wilayah Bizantium untuk menumpasnya. Pendukung Umayyah lainnya, Abdush Shamad bin Muhammad bin Al-Hajjaj, cucu Al-Hajjaj bin Yusuf, berhasil lolos dari kekalahan dan ditangkap hingga tahun 755.[21]
Menuntut kekhalifahan
Meskipun pemberontakan pro-Umayyah selalu berulang kali terjadi di Al-Jazirah, selama beberapa tahun berikutnya Abdullah mampu mengamankan baiat bangsawan suku Suriah, dan sebagian besar provinsi tetap tenang. Ketika As-Saffah meninggal pada bulan Juni 754, Abdullah menjadi salah satu dari tiga orang terkuat di kekhalifahan bersama dengan Al-Mansur dan Abu Muslim yang saat itu menjadi gubernur wilayah timur.[22][23] As-Saffah meninggal dalam perjalanan ke Makkah, dan di ranjang kematiannya ia menunjuk Al-Mansur sebagai ahli warisnya. Pada saat itu, Abdullah sedang menyiapkan perang besar-besaran melawan Kekaisaran Bizantium, dan telah mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar untuk tujuan ini. Setelah menerima berita kematian As-Saffah, Abdullah memproklamasikan dirinya sebagai khalifah, dengan dalih bahwa As-Saffah telah menjanjikannya jabatan khalifah sebagai imbalan atas perannya dalam menjatuhkan Marwan bin Muhammad.[4][23][24]
Kebenaran klaim Abdullah dan tingkat legitimasi yang ia nikmati dibandingkan Al-Mansur sulit untuk dinilai mengingat banyaknya riwayat yang memusuhinya setelah kekalahannya, namun, seperti yang dikomentari oleh P. Cobb, "yang disepakati oleh semua pihak adalah bahwa jabatan khalifah setelah As-Saffah tidak dijamin secara pasti sebelum kematiannya", dan terdapat indikasi bahwa Abdullah "telah menganggap dirinya sebagai penerus yang jelas [...] dalam beberapa tahun sebelum kematian As-Saffah.[22] Abdullah mendapat dukungan luas di Suriah, baik dari pasukan asli Suriah–Al-Jazirah maupun elit Suriah yang berusaha mendapatkan kembali posisi istimewa yang mereka pegang di bawah pemerintahan Bani Umayyah, serta pasukan Khurasan yang berperan dalam Revolusi.[23][25]
Ketika pasukan Abdullah mulai bergerak ke Irak, Al-Mansur meminta dukungan Abu Muslim. Meskipun khalifah tidak mempercayai kekuatan Abu Muslim, fakta bahwa ia terkenal di kalangan prajurit pasukan Khurasan yang turut serta dalam Revolusi menjadikannya pilihan yang ideal untuk menghadapi Abdullah dan mengumpulkan sebagian besar prajurit Khurasan, yang merupakan pilar utama rezim, ke pihak khalifah.[23] Kedua pasukan bertemu di Nisibis pada bulan November 754. Pasukan Abdullah merasa ragu-ragu, karena pasukan Khurasan enggan melawan Abu Muslim. Menurut Zetterstéen, memang benar adanya karena Abdullah "dikatakan telah membunuh 17.000 orang Khurasan di pasukannya, karena dia takut mereka akan menolak berperang melawan Abu Muslim.[4] Penduduk Suriah masih membenci kekalahan mereka di tangan Abdullah di Pertempuran Zab. Hugh N. Kennedy mengatakan "Abdullah mencurigai adanya pengkhianatan dan melarikan diri sebelum pertempuran benar-benar meletus". Ia lalu mencari perlindungan di Bashrah, tempat saudaranya yang lain, Sulaiman bin Ali, menjadi gubernur.[4][26] Meskipun Al-Mansur baru saja meraih kemenangan, ia dengan cepat menggunakan kecerdikannya untuk menyingkirkan Abu Muslim yang kini menjadi saingannya. Beberapa bulan kemudian, Abu Muslim dibujuk untuk datang ke istana khalifah, tempat dia dibunuh.[27]
Abdullah tetap di Bashrah di bawah perlindungan saudaranya sampai saudaranya diberhentikan dua tahun kemudian.[4] Al-Mansur kemudian memberikan jaminan keamanan kepadanya dan memerintahkan bawahannya agar Abdullah dibawa ke Baghdad. Al-Mansur kemudian memenjarakannya dan rumah tempat dia dipenjara roboh lalu membunuhnya. Ia terkubur di bawah reruntuhan dan tahun kematiannya adalah 764.[2]
Saudaranya, Shalih, menggantikannya sebagai gubernur Suriah. Terlepas dari pemberontakan Abdullah, Shalih dan keluarganya menjadi penguasa utama Abbasiyah di Suriah selama setengah abad berikutnya.[8][28]
Keturunan
Abdullah bin Ali tercatat memiliki dua belas putra, di antaranya adalah Muhammad bin Abdullah yang merupakan sahabat Khalifah Al-Mahdi. Ia menikah dengan Raithah binti Abil Abbas As-Saffah, lalu Raithah menikah dengan Al-Mahdi.[29] Abdullah bin Ali mempunyai banyak keturunan dan tidak ada yang terkenal kecuali keturunan dari putranya, Isa bin Abdullah, yang bernama Harun bin Al-Abbas bin Isa bin Abdullah bin Ali yang merupakan perawi hadis dan meninggal di Madinah pada tahun 275 H (888 M).[29] Keturunan lainnya adalah Abu Ali Muhammad bin Isa,[a] yang dipanggil al-Bayadhi,[30] juga merupakan seorang perawi hadis.[29] Ia dibunuh oleh Qaramitah pada tahun 294 H (907 M).[30]
Catatan
^Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Abdullah bin Isa bin Abdullah bin Ali.[30]