A Vindication of the Rights of Woman: with Strictures on Political and Moral Subjects atau "Sebuah Pembelaan atas Hak-hak Perempuan: Kritik terhadap Masalah-masalah Politik dan Moral" (1792), adalah karya filsafat proto-feminis Inggris abad ke-18 Mary Wollstonecraft (catatan: judul tersebut selanjutnya disebut Rights of Woman). Dalam tulisan tersebut, Wollstonecraft menanggapi para ahli teori pendidikan dan politik pada masa itu yang percaya bahwa perempuan tidak perlu menerima pendidikanrasional. Menurutnya, pendidikan penting juga bagi perempuan sesuai dengan peran mereka dalam membesarkan anak dan posisinya dapat bertindak sebagai "pendamping" yang terhormat bagi suami mereka. Wollstonecraft memperjuangkan bahwa sebagai manusia, perempuan harus memperoleh hak-hak dasar yang sama seperti kaum laki-laki. Memperlakukan mereka sebatas perhiasan atau properti bagi laki-laki hanyalah tindakan yang melemahkan landasan moralmasyarakat.
Wollstonecraft terdorong menulis Rights of Woman setelah membaca laporan Charles Maurice de Talleyrand-Périgord tahun 1791 kepada Majelis Nasional Prancis, yang menyatakan bahwa perempuan cukup sekadar menerima pendidikan kerumahtanggaan saja. Dia menyebut hal ini sebagai standar ganda dan menuduh kaum laki-laki mendorong perempuan agar lebih mengedepankan emosi semata. Wollstonecraft segera menyelesaikan buku ini sebagai tanggapan langsung terhadap laporan tersebut dan bermaksud menulis volume kedua yang lebih mendalam, tetapi keburu tutup usia.
Sementara Wollstonecraft memang menyerukan kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan terutama moralitas, dia tidak secara eksplisit menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Pernyataannya yang ambigu mengenai kesetaraan gender menyebabkan Wollstonecraft sulit digolongkan sebagai feminis modern; kata itu sendiri tidak muncul sampai beberapa dekade setelah kematiannya.
Anggapan bahwa Rights of Woman tidak diterima dengan baik, tampaknya disebabkan kesalahpahaman masa kini bahwa Wollstonecraft merupakan sosok yang hina semasa hidupnya seperti yang terjadi pada saat penerbitan Memoirs of the Author of A Vindication of the Rights (1798) karya William Godwin. Rights of Woman secara umum disambut baik sejak pertama kali terbit pada tahun 1792. Penulis biografi Emily W. Sunstein menyebutnya "buku ini barangkali merupakan karya paling orisinal pada abad itu".[1] Tulisan tersebut berdampak signifikan pada gerakan menuntut hak-hak perempuan abad ke-19, khususnya dalam Konvensi Seneca Falls tahun 1848 yang mencetuskan Declaration of Sentiments. Deklarasi tersebut mendasari tujuan-tujuan gerakan hak pilih bagi perempuan di Amerika Serikat.
Latar belakang sejarah
A Vindication of the Rights of Woman ditulis dengan latar belakang gejolak Revolusi Prancis dan perdebatan yang muncul di Inggris. Dalam semaraknya perang pamflet yang ganas, dikenal sebagai Kontroversi Revolusi, komentator politik Inggris membahas berbagai topik mulai dari pemerintahan perwakilan, hak asasi manusia, hingga pemisahan agama dan negara; beberapa dari masalah ini muncul di Prancis terlebih dahulu. Wollstonecraft pertama kali terlibat polemik pada tahun 1790 ketika menulis A Vindication of the Rights of Men atau Pembelaan Hak-hak Laki-laki yang merupakan tanggapan terhadap Reflections on the Revolution in France (1790) karya Edmund Burke.[2]
Dalam Reflections, Burke mengkritik pandangan pemikir dan penulis Inggris yang menyambut baik permulaan Revolusi Prancis. Sementara mereka melihat revolusi yang serupa dengan Revolusi Agung Inggris tahun 1688 yang membatasi kekuasaan monarki; Burke berpendapat bahwa analogi sejarah yang tepat adalah Perang Saudara Inggris (1642-1651) di mana Charles I dieksekusi pada tahun 1649. Dia memandang Revolusi Prancis sebagai penggulingan dengan kekerasan terhadap pemerintah yang sah. Dalam Reflections ia berpendapat bahwa warga negara tidak memiliki hak untuk memberontak melawan pemerintah sebagai produk peradaban yang notabene hasil dari konsensus sosial dan politik; tradisi tidak dapat terus-menerus ditentang—karena akan menghasilkan anarki. Salah satu argumen kunci dalam Rights of Men yang terbit enam minggu setelah Reflections Burke adalah, bahwa hak tidak dapat diberikan atas dasar tradisi. Hak menurut Wollstonecraft harus diberikan sebagai sesuatu yang masuk akal dan adil, terlepas dari apa pun dasar mereka dalam tradisi.[3]
Marilah kita meningkatkan harkat perempuan, bukan untuk mendambakan keuntungan-keuntungan yang disangkal oleh Konstitusi, tetapi untuk mengetahui dan menghargai hal-hal yang dijaminnya... Laki-laki ditakdirkan untuk hidup di panggung dunia. Pendidikan publik cocok bagi mereka sebagai permulaan untuk menghadirkan seluruh kehidupan di hadapannya: hanya proporsinya saja yang berbeda. Bagi perempuan, rumah orang tua adalah tempat yang lebih baik untuk pendidikan; mereka sebaiknya membiasakan diri dalam kehidupan yang tenang dan tersendiri daripada mempelajari banyak hal yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Tanggapan Wollstonecraft dalam Rights of Woman untuk Talleyrand:
Setelah membaca dengan senang hati sebuah pamflet yang baru-baru ini Anda terbitkan, saya persembahkan volume ini untuk Anda; untuk mengajak Anda mempertimbangkan kembali topik ini, dan secara matang menimbang apa yang telah saya sampaikan mengenai peningkatan derajat penghormatan hak-hak wanita dan pendidikan nasional.[6]
Rights of Woman merupakan kelanjutan argumen Wollstonecraft dalam Rights of Men. Seperti judulnya, dalam Rights of Men dia menyoroti hak-hak laki-laki Inggris abad ke-18, sementara pada Rights of Woman dia mempertanyakan hak-hak semu yang diberikan kepada perempuan. Dia tidak mengkhususkan argumennya untuk wanita abad ke-18 atau wanita Inggris. Bab pertama dari Rights of Woman (The rights and involved duties of mankind considered) membahas masalah hak-hak kodrati dan mempertanyakan siapa yang memiliki hak-hak asasi tersebut dan apa dasarnya. Dia menjawab bahwa karena hak kodrati adalah pemberian Tuhan maka penolakan sebagian pihak atas hak-hak sebagian pihak yang lain adalah dosa.[7] Dengan demikian, Rights of Woman tidak hanya melibatkan peristiwa-peristiwa tertentu di Prancis dan di Inggris, tetapi juga pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar yang diajukan para filsuf politik seperti John Locke dan Jean-Jacques Rousseau.[8]
Tema
Buku Rights of Woman adalah esai panjang (hampir 87.000 kata) yang memperkenalkan semua topik utama di bab pembuka dan kemudian berulang kali kembali ke topik tersebut dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Buku ini juga menggabungkan argumen rasional dengan retorikasensibilitas (kepekaan) yang kuat. Wollstonecraft tidak menggunakan argumentasi formal atau gaya prosa logis yang umum digunakan dalam penulisan filsafat abad ke-18.[9]
Pada abad ke-18, sensibilitas adalah fenomena fisik yang melekat pada seperangkat keyakinan moral tertentu. Dokter dan ahli anatomi percaya bahwa semakin sensitif saraf seseorang, semakin terpengaruh secara emosional oleh lingkungan sekitarnya. Karena perempuan dianggap memiliki saraf yang lebih tajam daripada laki-laki, diyakini juga bahwa wanita lebih emosional daripada pria.[10] Emosi berlebihan yang terkait dengan kepekaan juga secara teoretis menghasilkan etika belas kasih: mereka yang peka dapat dengan mudah bersimpati dengan penderitaan manusia. Mengenai hal itu, sejarawan memuji wacana kepekaan dan mereka yang mempromosikannya sebagai upaya peningkatan kemanusiaan, seperti gerakan untuk menghapuskan perdagangan budak.[11] Akan tetapi kepekaan juga melumpuhkan mereka yang memilikinya terlalu banyak; sebagaimana dijelaskan G. J. Barker-Benfield bahwa "kehalusan saraf bawaan juga teridentifikasi dengan penderitaan yang lebih besar, kelemahan, dan kerentanan terhadap gangguan".[10]
Pada saat Wollstonecraft menulis Rights of Woman, wacana kepekaan sedang mendapat kecaman terus menerus selama beberapa tahun.[12] Kepekaan, yang awalnya menjanjikan kebersamaan individu-individu melalui simpati, kemudian justru dipandang sebagai "sangat separatis". Novel, drama, dan puisi yang menggunakan bahasa kepekaan menegaskan hak individu, kebebasan seksual, dan hubungan keluarga yang tidak lazim hanya berdasarkan perasaan semata-mata. Lebih jauh lagi, seperti yang dikatakan Janet Todd, pakar sensibilitas lainnya, "bagi banyak orang di Inggris, kultus sensibilitas tampaknya telah membuat negara menjadi feminin, memberi perempuan keunggulan yang tidak semestinya, dan mengebiri laki-laki."[13]
Pendidikan rasional
Salah satu argumen utama Wollstonecraft dalam Rights of Woman adalah bahwa perempuan harus dididik secara rasional untuk memberi mereka kesempatan berkontribusi pada masyarakat. Pada abad ke-18, sering diasumsikan oleh para filsuf pendidikan dan penulis buku pedoman berperilaku, yang mungkin dianggap sebagai buku bantuan-diri awal,[14] bahwa perempuan tidak mampu berpikir rasional atau abstrak. Perempuan diyakini terlalu rentan terhadap kepekaan dan terlalu rapuh untuk bisa berpikir jernih. Wollstonecraft, bersama dengan reformis perempuan lainnya seperti Catharine Macaulay dan Hester Chapone, menyatakan bahwa perempuan memang mampu berpikir rasional dan layak untuk dididik. Dia mengemukakan hal ini dalam buku pedoman perilaku yang dia tulis, Thoughts on the Education of Daughters (1787), dalam buku anak-anaknya, Original Stories from Real Life (1788), serta dalam Rights of Woman.[15]
Menyatakan dalam kata pengantarnya bahwa "argumen utama saya berdasar prinsip sederhana ini, bahwa jika [wanita] tidak dipersiapkan oleh pendidikan untuk menjadi pendamping laki-laki, dia akan menghentikan kemajuan pengetahuan dan kebajikan; karena kebenaran harus dimiliki oleh semua orang". Wollstonecraft berpendapat bahwa masyarakat akan merosot tanpa perempuan yang berpendidikan, terutama karena berkaitan dengan ibu sebagai pendidik utama anak-anak.[16] Dia mengaitkan masalah perempuan tidak terdidik dengan laki-laki dan "sistem pendidikan yang salah, dirangkum dari buku-buku yang ditulis tentang masalah ini oleh laki-laki yang [menganggap] perempuan sebatas makhluk berjenis kelamin wanita saja alih-alih sebagai manusia".[17] Perempuan mampu memiliki rasionalitas; tetapi yang tampak justru sebaliknya, karena laki-laki menolak mendidik dan mendorong mereka untuk bersikap murahan (Wollstonecraft menggambarkan perempuan konyol sebagai "piaraan" dan "mainan"[18]).[19]
Wollstonecraft mengkritik penulis buku pedoman perilaku seperti James Fordyce dan John Gregory serta filsuf pendidikan seperti Jean-Jacques Rousseau yang berpendapat bahwa perempuan tidak membutuhkan pendidikan rasional. (Rousseau terkenal berpendapat dalam Emile [1762] bahwa perempuan harus dididik untuk kesenangan laki-laki; Wollstonecraft, yang marah dengan argumen ini, menyerang tidak hanya atas pendapat itu tetapi juga Rousseau sendiri.[20] ) Pada kaum perempuan Wollstonecraft menulis, "mengajarkan sejak kecil bahwa kecantikan adalah kebanggaan perempuan, membuat pikiran terpaku pada tubuh, dan berkeliaran di sekitar sangkar emasnya, hanya berusaha menghiasi penjaranya".[21] Tersirat bahwa tanpa ideologi yang merusak ini (yang mendorong wanita muda untuk memusatkan perhatian mereka pada kecantikan dan pencapaian lahiriah) mereka dapat meraih pencapaian lebih banyak lagi. Istri bisa menjadi "pendamping" rasional dari suami mereka tetapi juga mampu mengejar karier jika mereka memilih demikian: "Perempuan tentu saja dapat mempelajari seni penyembuhan, dan menjadi dokter serta perawat. Dan kebidanan, kesusilaan tampaknya perlu banyak bagi mereka ... mereka mungkin juga belajar politik ... Berbagai jenis bisnis, mereka juga dapat mencapainya."[22]
Bagi Wollstonecraft, "pendidikan paling sempurna" adalah: "latihan pemahaman yang diperhitungkan dengan baik untuk memperkuat tubuh dan membentuk nurani; atau, dengan kata lain, memungkinkan individu untuk melekatkan kebiasaan-kebiasaan kebajikan yang akan membuatnya mandiri."[23] Selain argumen filosofisnya yang luas, Wollstonecraft memaparkan rancangan khusus pendidikan nasional untuk menyanggah Talleyrand. Dalam Bab 12 "On national education", dia mengusulkan agar anak-anak dikirim ke sekolah gratis serta diberikan beberapa pendidikan di rumah "untuk menginspirasi cinta akan rumah dan kesenangan rumah tangga". Dia juga berpendapat bahwa sekolah harus merupakan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan setara; berpendapat bahwa laki-laki dan wanita, yang pernikahannya adalah "perekat masyarakat", harus "dididik dengan model yang sama."[24]
Feminisme
Sejauh mana Rights of Woman merupakan teks feminis bisa diperdebatkan; karena definisi feminis sendiri berbeda-beda, menurut cendekiawan yang berbeda, dan telah sampai pada kesimpulan yang berbeda pula. Wollstonecraft tidak menyebut teksnya sebagai tulisan feminis karena istilah feminis dan feminisme tidak dikenal sampai tahun 1890-an.[26] Selain itu, tidak ada gerakan feminis untuk dibicarakan selama masa hidupnya. Meskipun demikian, Rights of Woman sering dianggap sebagai "ur-document (sumber otentik) feminisme liberal modern."[27] Dalam pengantar karya dasarnya tentang pemikiran Wollstonecraft, Barbara Taylor menulis:[28]
Menggambarkan [filosofi Wollstonecraft] sebagai feminis itu problematik, dan saya mengatakan ini hanya setelah mempertimbangkan banyak hal. Labelnya tentu saja bertentangan. . . Memperlakukan pandangan Wollstonecraft sebagai antisipasi argumen untuk feminis abad ke-19 dan ke-20 berarti mengorbankan atau mendistorsi beberapa elemen kuncinya. Contohnya, pengabaian terhadap keyakinan agama dan penggambaran keliru tentang dirinya sebagai seorang borjuisliberal yang terjadi akibat tergesernya radikalismeutopis yang diilhami agama oleh reformismesekuler partisan. Hal ini seperti asingnya proyek politik Wollstonecraft sebagai impian akan era kebahagiaan ilahiah yang universal dalam pandangan menurut kita. Namun yang lebih parah adalah pemaksaan citra politik heroik-individualis pada Wollstonecraft yang justru bertentangan dengan gagasan emansipasi perempuan yang dipicu persoalan etik. Ambisi utama Wollstonecraft untuk perempuan adalah bahwa mereka mendapatkan kebajikan, dan untuk tujuan inilah dia menghendaki kemerdekaan mereka.
Dalam Rights of Woman, Wollstonecraft tidak mengklaim kesetaraan gender dengan menggunakan argumen atau bahasa para feminis akhir abad ke-19 dan ke-20. Misalnya, daripada secara tegas menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara, Wollstonecraft berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan adalah sederajat di mata Tuhan, yang berarti mereka tunduk pada hukum moral yang sama.[29] Bagi Wollstonecraft, laki-laki dan perempuan setara dalam bidang-bidang kehidupan yang paling penting. Sementara ide seperti itu mungkin tidak tampak revolusioner bagi pembaca abad ke-21, tetapi implikasinya begitu revolusioner pada abad ke-18. Misalnya, tersirat bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus rendah hati [30] dan menghormati kesucian pernikahan.[31] Argumen Wollstonecraft mengungkap standar ganda yang terjadi pada akhir abad ke-18 dan karenanya menuntut agar laki-laki mematuhi kebajikan yang sama seperti yang dituntut pada perempuan.[27]
Namun, argumen Wollstonecraft untuk kesetaraan bertentangan dengan pernyataannya yang menghormati keunggulan kekuatan dan keberanian maskulin.[32] Pernyataan Wollstonecraft yang terkenal dan menunjukkan ambigu yaitu:[33]
Janganlah disimpulkan, bahwa saya ingin membalikkan urutan permasalahannya. Saya mengakui bahwa secara lahiriah tubuh, laki-laki tampaknya dirancang oleh Tuhan untuk mencapai tingkat kebajikan yang lebih tinggi. Saya berbicara secara kolektif tentang seluruh jenis kelamin; tetapi saya tidak melihat alasan tertentu untuk menyimpulkan bahwa kebajikan mereka harus berbeda dalam hal sifatnya. Bahkan, bagaimana mereka bisa, jika kebajikan hanya memiliki satu standar abadi? Karena itu, saya harus, jika saya bernalar secara konsekuen, dengan keras mempertahankan bahwa mereka memiliki petunjuk sederhana yang sama, seperti halnya keberadaan Tuhan.
Selain itu, Wollstonecraft meminta laki-laki—bukan perempuan—untuk memulai perubahan sosial dan politik seperti yang dia uraikan dalam Rights of Woman. Karena perempuan tidak berpendidikan, mereka tidak dapat mengubah situasi mereka sendiri dan oleh karena itu laki-laki harus datang membantunya.[34] Wollstonecraft menulis di bab terakhir "Of the Pernicious Effects Which Arise from the Unnatural Distinctions Established in Society":[35]
Saya ingin meyakinkan kaum laki-laki yang berpikir rasional tentang pentingnya beberapa pandangan saya; dan memenangkannya, agar mereka menimbang tanpa perasaan seluruh maksud pengamatan saya. – Saya meminta pengertian mereka; dan, sebagai sesama makhluk, mengklaim atas nama jenis kelamin saya, beberapa kecenderungan di hati mereka. Saya meminta mereka untuk membantu membebaskan pasangan mereka, membuatnya menjadi penolong yang mereka perlukan! Semoga kaum laki-laki dengan murah hati memutuskan rantai belenggu kita dan menerima persekutuan rasional alih-alih kepatuhan yang menjajah. Mereka akan mendapati kita sebagai putri yang lebih jeli, saudara perempuan yang lebih penuh kasih, istri yang lebih setia, ibu yang lebih penuh pertimbangan - dengan kata lain, warga negara yang lebih baik.
Novel terakhir Wollstonecraft adalah Maria: or, The Wrongs of Woman (1798), sekuel fiksi dari Rights of Woman, yang dianggap sebagai karya feminisnya yang paling radikal.[36]
Kepekaan
Salah satu kritik pedas Wollstonecraft dalam Rights of Woman adalah terhadap sensibilitas palsu dan berlebihan, terutama pada wanita. Dia berpendapat bahwa wanita yang menyerah pada kepekaan, "terpesona oleh setiap embusan perasaan sesaat"; karena para wanita ini adalah "mangsa indra mereka", mereka tidak dapat berpikir secara rasional.[37] Faktanya, mereka tidak hanya merugikan diri mereka sendiri tetapi juga merusak semua peradaban: mereka bukanlah wanita yang dapat memperbaiki peradaban – mereka adalah wanita yang akan menghancurkannya. Tapi akal dan perasaan tidak independen menurut Wollstonecraft; sebaliknya, dia percaya bahwa mereka harus saling memberi tahu. Baginya nafsu menjadi dasar semua alasan.[38] Ini adalah tema yang akan dia kembalikan sepanjang karirnya, tetapi khususnya dalam novelnya Mary: A Fiction (1788) dan Maria: or, The Wrongs of Woman. Bagi filsuf Skotlandia abad ke-18, David Hume, nalar didominasi oleh nafsu. Dia berpendapat bahwa nafsu lebih berperan daripada nalar dalam mengatur perilaku manusia, dengan pernyataanya yang terkenal dalam A Treatise of Human Nature bahwa "Akal adalah, dan seharusnya hanya menjadi budak dari nafsu."[39]
Sebagai bagian dari argumennya bahwa perempuan tidak boleh terlalu dipengaruhi oleh perasaan dan emosi mereka, Wollstonecraft menekankan bahwa mereka tidak boleh dibatasi oleh tubuh atau diperbudak oleh perasaan seksual mereka.[40] Argumen khusus ini telah membuat banyak feminis modern menekankan bahwa Wollstonecraft sengaja menghindari hasrat seksual pada perempuan. Cora Kaplan berpendapat bahwa "serangan negatif dan preskriptif terhadap seksualitas perempuan" adalah "leitmotif (motif utama)" dari Rights of Woman.[41] Misalnya, Wollstonecraft menyarankan pembacanya untuk "dengan tenang membiarkan gairah mereda menjadi persahabatan" dalam pernikahan atas persetujuan bersama yang ideal (yaitu dalam pernikahan berdasarkan cinta yang berkembang seiring waktu).[42] Akan lebih baik, tulisnya, ketika "dua orang muda yang berbudi luhur menikah ... jika keadaan tertentu menghalangi gairah mereka".[43] Menurut Wollstonecraft, "cinta dan persahabatan tidak dapat hidup dalam dada yang sama".[43] Seperti yang dijelaskan Mary Poovey, "Wollstonecraft mengungkapkan ketakutannya bahwa hasrat perempuan mungkin sebenarnya menarik perhatian laki-laki mesum yang merendahkan, bahwa perempuan pantas memperoleh posisi subordinat itu. Hingga perempuan mampu melampaui hasrat dan jasadiah mereka, selamanya mereka akan menjadi sandera dalam tubuhnya sendiri."[44] Jika perempuan tidak tertarik pada seksualitas, mereka tidak dapat didominasi oleh laki-laki. Wollstonecraft khawatir bahwa perempuan termakan oleh "kebimbangan romantis", yaitu mereka hanya tertarik untuk melampiaskan nafsu saja.[45] Karena Rights of Woman menghilangkan seksualitas dari kehidupan seorang perempuan, Kaplan berpendapat, ia "mengungkapkan antagonisme yang keras terhadap seksualitas" sementara pada saat yang sama "melebih-lebihkan pentingnya sensualitas dalam kehidupan sehari-hari perempuan". Wollstonecraft begitu bertekad menghapus seksualitas dari gambarannya tentang perempuan ideal sehingga kemudian dia menutupinya dengan bersikeras bahwa itu tidak ada.[46] Namun seperti yang dikatakan Kaplan dan yang lainnya, Wollstonecraft mungkin terpaksa mengorbankan hal ini: "penting untuk diingat bahwa gagasan tentang perempuan sebagai makhluk yang mampu secara politik dan independen [telah] terkait secara fatal [selama abad ke-18] dengan praktik seksualitasnya yang tidak terkendali dan kejam."[47]
Republikanisme
Claudia Johnson, seorang peneliti Wollstonecraft terkemuka, menyebut Rights of Woman sebagai "sebuah manifesto republik".[48] Johnson berpendapat bahwa Wollstonecraft memperdengarkan kembali tradisi Persemakmuran abad ke-17 dan mencoba membangun kembali etos republik. Dalam versi Wollstonecraft, akan ada peran maskulin dan feminin yang kuat, namun terpisah bagi warga negara.[49] Menurut Johnson, Wollstonecraft "mengecam runtuhnya pembedaan seksual yang layak sebagai masalah utama pada masanya, dan sebagai konsekuensi menyedihkan dari sentimentalitas itu sendiri. Masalah yang merusak masyarakat dalam pandangannya adalah laki-laki yang menjadi feminin".[50] Jika laki-laki merasa bebas untuk mengadopsi baik posisi maskulin maupun posisi feminin yang sentimental, maka menurut pendapatnya, perempuan tidak punya pilihan posisi (peran) dalam masyarakat.[51] Oleh karena itu Johnson melihat Wollstonecraft sebagai kritikus, baik dalam Rights of Menmaupun Rights of Woman, dari "maskulinisasi kepekaan" dalam sejumlah kajian seperti karya Edmund Burke, Reflections on the Revolution in France.[52]
Dalam Rights of Woman, Wollstonecraft menganut versi republikanisme yang mencakup keyakinan untuk merobohkan semua gelar-gelar, termasuk monarki. Dia juga secara singkat menyarankan bahwa semua pria dan wanita harus terwakili dalam pemerintahan. Namun sebagian besar "kritik politiknya", seperti yang dijelaskan oleh Chris Jones, seorang cendekiawan peneliti Wollstonecraft, "terutama didominasi oleh masalah moralitas".[53] Definisinya tentang kebajikan berfokus pada kebahagiaan individu daripada, misalnya, kebaikan seluruh masyarakat.[53] Hal ini tercermin dalam penjelasannya tentang hak-hak kodrati. Karena hak pada dasarnya berasal dari Tuhan, Wollstonecraft menyatakan bahwa ada kewajiban yang mengikat terkait hak-hak itu, untuk setiap orang. Bagi Wollstonecraft, individu perlu diajari republikanisme dan kebajikan dalam keluarga; hubungan dalam rumah tangga dan ikatan keluarga sangat penting dalam pemahamannya tentang kohesi sosial dan patriotisme.[54]
Kelas
Dalam banyak hal Rights of Woman dipengaruhi oleh pandangan borjuis tentang dunia, seperti karya sebelumnya yaitu Rights of Men. Wollstonecraft menyampaikan teksnya untuk kelas menengah, yang dia sebut "kelas paling ideal". Dia juga kerap memuji kesopanan dan industri, kebajikan yang pada saat itu, yang diasosiasikan dengan kelas menengah.[55] Dari posisinya sebagai penulis kelas menengah yang memperdebatkan etos kelas menengah, Wollstonecraft juga menyerang golongan orang kaya, mengkritik mereka menggunakan argumen yang sama dengan yang dia gunakan terhadap wanita. Dia menyebut "kemurnian palsu, amoralitas, dan kesombongan" orang kaya, menyebut mereka "lemah, makhluk buatan, dibesarkan dalam cita-cita dan kasih sayang yang pasaran dalam golongan mereka, yang secara semena-mena merusak kebajikan paling dasar dan menyebarkan korupsi ke seluruh lapisan masyarakat".[56]
Kritik Wollstonecraft terhadap orang kaya tidak serta merta mencerminkan simpati terhadap orang miskin. Baginya, menjadi orang miskin adalah keberuntungan karena tidak akan pernah terjebak oleh jerat kekayaan: "Kebahagiaan adalah ketika orang memiliki kepedulian hidup yang diperjuangkan; karena perjuangan ini mencegah mereka menjadi mangsa dari kejahatan yang melemahkan, terutama dari kemalasan! "[57] Selain itu, dia berpendapat bahwa filantropi memiliki konsekuensi negatif karena, seperti yang dikatakan Jones, dia "melihatnya sebagai menopang ketidaksetaraan dalam masyarakat sembari menampilkan citra kebajikan bagi orang kaya".[58]
Dalam rancangan pendidikan nasionalnya, ia mempertahankan pembedaan kelas (dengan pengecualian untuk siswa yang cerdas), menyarankan bahwa: "Setelah usia sembilan tahun, anak perempuan dan laki-laki yang cenderung pada pekerjaan rumah tangga atau keahlian mekanik, harus dipindahkan ke sekolah yang berbeda dan menerima instruksi yang disesuaikan dengan tujuan setiap individu. Orang-orang muda yang memiliki kemampuan unggul, atau keberuntungan, sekarang saatnya mempelajari bahasa-bahasa mati dan hidup, unsur-unsur sains, dan melanjutkan studi tentang sejarah dan politik dalam skala yang lebih luas, yang tidak mengecualikan sastra yang santun."[59]
Retorika dan gaya
Dalam upaya mengarahkan harapan-harapan kultural penulis perempuan dan konvensi umum wacana politik dan filosofis, Wollstonecraft, seperti yang tersaji di sepanjang ouvre-nya, membangun perpaduan unik gaya maskulin dan feminin dalam Rights of Woman.[60] Dia menggunakan bahasa filsafat, mengacu pada karyanya sebagai "risalah" dengan "argumen" dan "prinsip".[60] Namun Wollstonecraft juga menggunakan nada pribadi, seperti kata "aku" dan "kamu", tanda pisah dan tanda seru, dan gaya referensi autobiografi untuk menciptakan suara feminin yang jelas dalam teks.[9]Rights of Woman lebih jauh memadukan genre-nya dengan menyatukan elemen-elemen buku perilaku, esai pendek, dan novel, genre-genre yang sering dikaitkan dengan wanita; sementara pada saat yang sama mengklaim bahwa genre-genre ini dapat digunakan untuk mendiskusikan topik-topik filosofis seperti masalah hak.[61]
Meskipun Wollstonecraft menentang sensibilitas yang berlebihan, retorika Rights of Woman terkadang memanas dan mencoba memprovokasi pembaca.[62] Banyak komentar emosional dalam buku itu ditujukan kepada Rousseau. Misalnya, setelah mengutip bagian panjang dari Emile (1762), Wollstonecraft dengan tajam menyatakan, "Saya tidak akan membuat komentar lain tentang bagian yang jenius ini, selain hanya untuk mengamati, bahwa itu adalah filsafat nafsu birahi."[63] Halaman berikutnya, setelah mendakwa rencana Rousseau ihwal pendidikan perempuan, dia menulis "Saya harus meringankan beban dengan membahas masalah lain."[64] Seruan singkat ini dimaksudkan untuk menarik pembaca ke sisi argumennya (diasumsikan bahwa pembaca akan setuju). Meskipun ia mengklaim menulis dengan gaya sederhana sehingga ide-idenya dapat menjangkau khalayak seluas mungkin,[65] tetapi ia sebenarnya menggabungkan bahasa risalah politik yang sederhana dan rasional dengan sensibilitas bahasa yang puitis dan penuh gairah untuk menunjukkan bahwa seseorang dapat menggabungkan rasionalitas dan kepekaan dalam diri yang sama.[66]
Dalam usahanya menggambarkan kondisi perempuan dalam masyarakat secara gamblang, Wollstonecraft menggunakan beberapa analogi yang berbeda.[67] Dia sering membandingkan wanita dengan budak, dengan alasan bahwa ketidaktahuan dan ketidakberdayaan mereka menempatkan mereka pada posisi itu. Pada saat yang sama, dia juga membandingkan mereka dengan "tiran yang berubah-ubah" yang menggunakan kelicikan dan tipu daya untuk memanipulasi laki-laki di sekitar mereka. Pada satu titik, dia beralasan bahwa seorang wanita bisa menjadi budak atau tiran, yang dia gambarkan sebagai dua sisi mata uang yang sama.[68] Wollstonecraft juga membandingkan perempuan dengan tentara; seperti laki-laki militer, mereka dihargai hanya karena penampilan dan kepatuhan mereka. Dan seperti orang kaya, "kelembutan" perempuan telah "merendahkan kemanusiaan".[69]
Revisi
Wollstonecraft segera menyelesaikan buku ini untuk menanggapi Talleyrand pada momentum yang tengah berlangsung. Setelah menyelesaikannya, dia menulis kepada temannya, William Roscoe: "Saya tidak puas dengan diri saya sendiri karena tidak melakukan keadilan terhadap subjek. - Jangan curigai saya dengan kerendahan hati yang palsu - Saya bermaksud mengatakan bahwa seandainya saya membiarkan diri saya lebih banyak waktu, saya bisa menulis buku yang lebih baik, dalam setiap arti kata... Saya berniat untuk menyelesaikan jilid berikutnya sebelum saya cetak. Karena tidak menyenangkan jika Iblis datang untuk menutup lembaran sebelum buku itu ditulis." [70] Ketika Wollstonecraft merevisi Rights of Woman untuk edisi kedua, dia mengambil kesempatan tidak hanya untuk memperbaiki kesalahan ejaan dan tata bahasa yang kecil tetapi juga untuk memperkuat klaim feminis dari sisi argumennya.[71] Dia mengubah beberapa pernyataannya tentang perbedaan perempuan dan laki-laki untuk mencerminkan kesetaraan yang lebih besar antara kedua jenis kelamin.[72]
Wollstonecraft tidak pernah menulis bagian kedua dari Rights of Woman, meskipun William Godwin menerbitkan "Kisi-kisi" -nya, yang "terutama dirancang untuk dimasukkan dalam bagian kedua dari Vindication of Rights of Woman", dalam koleksi karya anumertanya.[73] Namun, dia sempat memulai karya novel Maria: or, The Wrongs of Woman, yang oleh sebagian besar cendekiawan dianggap sebagai sekuel fiksi dari Rights of Woman. Itu juga belum selesai pada saat kematiannya dan ikut termasuk dalam Posthumous Works yang diterbitkan oleh Godwin.[74]
Penerimaan dan warisan
Ketika pertama kali diterbitkan pada tahun 1792, Rights of Woman diulas dengan baik oleh Analytical Review, General Magazine, Literary Magazine, New York Magazine, dan Monthly Review, meskipun asumsinya karya itu menerima ulasan yang tidak bersahabat.[75] Peluncuran itu segera disusul rilis edisi kedua pada tahun 1792; beberapa edisi Amerika muncul, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Taylor menulis bahwa "penerbitanitu langsung sukses".[76] Selain itu, penulis lain seperti Mary Hays dan Mary Robinson secara khusus menyinggung teks Wollstonecraft dalam karya mereka sendiri. Hays mengutip Rights of Woman dalam novelnya Memoirs of Emma Courtney (1796) dan memodelkan karakter perempuannya mengikuti figur perempuan ideal ala Wollstonecraft.[77]
Meskipun kaum konservatif perempuan seperti Hannah More mengecam Wollstonecraft secara pribadi, mereka sebenarnya berbagi banyak nilai yang sama. Seperti yang telah ditunjukkan oleh Anne Mellor; More dan Wollstonecraft menginginkan sebuah masyarakat yang didirikan di atas "kebajikan Kristen dalam kebaikan rasional, kejujuran, kebajikan pribadi, pemenuhan tugas sosial, penghematan, ketenangan, dan kerja keras".[78] Selama awal 1790-an, banyak penulis dalam masyarakat Inggris terlibat dalam perdebatan sengit mengenai posisi perempuan dalam masyarakat. Sebagai contoh, penyair dan penulis esai yang disegani Anna Laetitia Barbauld dan Wollstonecraft berdebat berkali-kali. Barbauld menerbitkan beberapa puisi menanggapi karya Wollstonecraft dan Wollstonecraft mengomentarinya dalam catatan kaki untuk Rights of Woman.[79] Masalah itu juga memicu permusuhan langsung. Elizabeth Carter dari komunitas elit bluestocking tidak terkesan dengan gagasan kesetaraan.[80]Thomas Taylor, penerjemah Neoplatonis yang pernah menjadi tuan tanah keluarga Wollstonecraft pada akhir tahun 1770-an, dengan cepat menulis sebuah sindiran berjudul A Vindication of the Rights of Brutes: if women have rights, why not animals too?[80]
Setelah Wollstonecraft meninggal pada tahun 1797, suaminya William Godwin menerbitkan Memoirs of the Author of A Vindication of the Rights of Woman (1798). Dia mengungkapkan banyak tentang kehidupan pribadinya yang sebelumnya tidak diketahui publik: anak haramnya, hubungan cintanya, dan upayanya untuk bunuh diri. Sementara Godwin percaya dia menggambarkan istrinya dengan cinta, ketulusan, dan kasih sayang, pembaca kontemporer dikejutkan oleh gaya hidup Wollstonecraft yang tidak ortodoks dan tercela. Richard Polwhele menargetkannya secara khusus dalam puisi panjang anonimnya The Unsex'd Females (1798), sebuah reaksi defensif terhadap penegasan diri sastra wanita: "Hannah More adalah Kristus bagi Setan Wollstonecraft". Puisinya "terkenal" di antara para penanggap A Vindication.[81] Sebagian besar pengulas berkomentar bahwa secara artistik puisinya tidak inspiratif dan membosankan, meskipun beberapa publikasi konservatif memuji sikap kritisnya.[82]
Ide Wollstonecraft yang menjadi terkait dengan kisah hidupnya membuat penulis perempuan merasa risih untuk menyebutkan dia dalam karya mereka. Sebagai contoh yaitu Hays yang sebelumnya adalah teman dekat[83] dan pembela Wollstonecraft dan Rights of Woman-nya. Ia tidak memasukkan Wollstonecraft ke dalam daftar Illustrious and Celebrated Women yang diterbitkan tahun 1803.[84]Maria Edgeworth secara khusus menjauhkan diri dari Wollstonecraft dalam novelnya Belinda (1802); dia membuat karikatur Wollstonecraft sebagai feminis radikal dalam karakter Harriet Freke.[85] Tapi, seperti Jane Austen, dia tidak menolak ide Wollstonecraft. Baik Edgeworth maupun Austen berpendapat bahwa perempuan sangat penting dalam pembangunan bangsa; apalagi, mereka sepakat dengan gagasan pernikahan percobaan sebagai pilihan bagi perempuan yang rasional.[86]
Pandangan negatif terhadap Wollstonecraft bertahan selama lebih dari satu abad. Rights of Woman tidak dicetak ulang sampai pertengahan abad ke-19 dan masih mempertahankan aura reputasi buruk. George Eliot menanggapi bahwa "di beberapa tempat ada prasangka samar-samar terhadap Rights of Woman seperti yang umum terjadi dalam sebuah buku bermasalah, tetapi pembaca yang memahami akan terkejut menemukan bahwa itu sangat serius, sangat bermoral, dan lumayan berat".[87]
Seorang aktivis hak suara perempuan (suffragist), Millicent Garrett Fawcett, menulis pengantar edisi ke-100 Rights of Woman, membersihkan nama Wollstonecraft dan mengklaim dia sebagai pelopor perjuangan hak suara perempuan.[88] Sementara Rights of Woman mungkin telah membuka jalan bagi gerakan feminisme, aktivis feminis abad ke-20 cenderung menggunakan kisah hidup Wollstonecraft sebagai inspirasi alih-alih gagasan dalam teks karya tulisnya.[89] Gaya hidupnya yang bebas mempengaruhi mereka untuk mencoba "eksperimen baru dalam hidup" seperti yang disebut Virginia Woolf dalam esainya yang terkenal tentang Wollstonecraft.[90] Namun, ada beberapa bukti bahwa Rights of Woman juga mungkin mempengaruhi feminis saat ini. Ayaan Hirsi Ali, seorang feminis yang kritis terhadap perintah-perintah Islam tentang perempuan, mengutip Rights of Woman dalam otobiografinya Infidel bahwa ia "terinspirasi Mary Wollstonecraft, pemikir feminis perintis yang mengatakan kepada wanita bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama untuk menalar seperti laki-laki dan layak mendapatkan hak yang sama".[91] Miriam Schneir juga memasukkan teks ini dalam antologinya Feminism: The Essential Historical Writings, dengan memberinya label sebagai salah satu karya feminis yang penting.[92] Bukti lebih lanjut dari warisan abadi A Vindication Wollstonecraft dapat dilihat dengan referensi langsung dalam setting fiksi sejarah baru-baru ini. Misalnya, dalam The Silk Weaver (1998) yang berlatar belakang kehidupan penenun sutra di Dublin pada abad ke-18. Penulisnya, Gabrielle Warnock (1998), meminjam karakter salah satu perempuan sebagai narator gagasan 'Rights of Woman' bagi pembaca untuk merenungkan politik, moral, dan perasaannya.[93] Dalam Death comes to Pemberley (2011) berlatarbelakang tahun 1803, P.D.James memilih satu karakter laki-laki yang merujuk Rights of Woman ketika menegur karakter lain (Darcy) untuk menolak suara wanita dalam hal-hal yang menyangkut dirinya.[94]
^Adriana Craciun, Mary Wollstonecraft's a Vindication of the Rights of Woman: A Sourcebook (Routledge, 2002, 2).
^"Introduction". The Unsex'd Females. University of Virginia Electronic Texts Center. 1994.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
DeLucia, JoEllen. "A Vindication of the Rights of Woman". The Literary Encyclopedia, Volume 1.2.1.06: English Writing and Culture of the Romantic Period, 1789-1837, 2011.