Wayang Kulit Cirebon adalah salah satu ragam wayang kulit yang ada di wilayah Nusantara, termasuk di dalamnya negara-negara Asia Tenggara. Di wilayah yang terdiri dari banyak pulau dan beraneka ragam etnis. Jenis gaya wayang kulit begitu melimpah ditemui, misalnya di beraneka jenis wayang kulit di pulau Jawa, wayang narta di Bali, wayang sasak di Lombok, wayang Melayu di Terengganu, Malaysia hingga wayang Nang Yai dan Nang Thalung di Thailand.
Berdasarkan penelitian Matthew Isaac Cohen (profesor Sinematografi) dari Royal Holloway University of London yang dipaparkan pada acara bedah buku Seni Tatah dan Sungging Wayang Kulit Cirebon di Institut Studi Islam Fahmina, menurut beliau perkembangan wayang kulit di Cirebon dari masa Hindu-Budha ke masa Islam di wilayah kesultanan Cirebon merupakan bentuk diplomasi dakwah, wayang kulit Cirebon akrab diperkenalkan oleh para ulama dan para penguasa lokal (bahasa Cirebon: gegeden) yang telah memeluk ajaran Islam sebagai media dakwah. Wayang kulit Cirebon juga digunakan sebagai simbol agama dan media untuk bercerita tentang kebiasaan sehari-hari.[1]
Latar belakang
Pengaruh agama Hindu dan Budha dari India sangat kuat di kawasan nusantara, beragam kisah berasal dari Hindu dan Budha pun lazim di pertunjukan sebagai bagian dari cerita pergelaran wayang kulit, seperti epik Ramayana dan Mahabarata.
Perkembangan wayang dari masa Hindu Budha ke masa Islam di nusantara, terutama di wilayah pulau Jawa termasuk di wilayah Kesultanan Cirebon, merupakan sebuah bentuk dari diplomasi dakwah yang dilakukan oleh para ulama-ulama dan pihak penguasa lokal yang telah memeluk ajaran Islam. Sebut saja Sunan Kalijaga yang berusaha keras mendiplomasikan antara seni wayang berbau non-Islam dengan seni wayang yang bernapaskan ajaran Islam. Berkat ajaran mereka, seni wayang kulit oleh sebagian pihak dimaknai mengandung ajaran Islam dalam setiap aspeknya, meskipun masih berkisah tentang epik-epik dari agama Hindu dan Budha. Para ulama-ulama tersebut seolah memang telah siap untuk menjaga kesinambungan dengan masa lalu dan menggunakan pemahaman dan unsur-unsur budaya pra-Islam ke dalam konteks Islam.[2]
Kesinambungan unsur-unsur non-Islam dengan unsur agama Islam pun dapat dengan mudah ditemui pada pergelaran wayang kulit Cirebon, seperti contohnya sosok wayang Buta Liyong yang merupakan unsur kebudayaan cina yang diserap dalam pagelaran Wayang kulit Cirebon dan pengenaan jubah serta topi pada sosok wayang Drona yang merupakan pengaruh dari budaya Timur Tengah, tetapi jika memfokuskan kepada jenis kesenian yang disebut sebagai wayang kulit Cirebon maka wayang kulit Cirebon merupakan jenis kesenian wayang dengan wilayah inti penyebarannya yang sangat terbatas, wilayah inti penyebaran wayang kulit Cirebon hampir sama dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Cirebon dan wilayah budaya orang Cirebon yakni dibatasi wilayah suku Betawi di barat, suku Sunda atau dalam bahasa Cirebon disebut Wang Gunung di selatan dan suku Jawa atau dalam bahasa Cirebon disebut Wang Wetan di timur.
Menurut para budayawan cirebon, salah satunya adalah Ki Dalang Matthew atau lengkapnya Matthew Isaac Cohen, dalam sebuah catatan kuno cirebon yang diperkirakan berasal dari tahun 1607, telah dideskripsikan sebuah pagelaran wayang kulit cirebon dengan Suluk Wujil yang menyerati pagelarannya, pegelaran itu mengangkat sebuah cerita yang telah dikenal secara luas, yakni cerita Kresna Duta, lakon ini dimainkan oleh Dalang Sari di mana di antara para penontonnya ada Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Sejarah
Asal usul
Para budayawan cirebon sepakat bahwa eksistensi wayang kulit cirebon bermula dari kedatangan Sunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari sembilan wali atau biasa disebut Wali Sanga dalam bahasa Cirebon di mana Sunan Gunung Jati atau Sunan Jati sebagai ketuanya. Datangnya Sunan Kalijaga ke wilayah Cirebon bertujuan untuk menyebarkan dakwah islam dan media yang digunakan oleh Sunan Kalijaga pada waktu itu di antaranya adalah Wayang Kulit. Dalam budaya Cirebon terutama dalam budaya pedalangannya, Sunan Kalijaga dipercaya pada waktu itu disebut sebagai Ki Sunan Dalang Panggung, tetapi dalam versi yang lain Ki Sunan Dalang Panggung ini dipercaya sebagai Syekh Siti Jenar dan bukannya Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga ini pula yang memperkenalkan Suluk atau Syair 'Malang Sumirang yang merupakan suluk khas Cirebon.
Suluk Malang Sumirang
Dosa gung alit tan den singgahi
ujar kupur kapir kang den ambah
wus liwung pasikepane
tan andulu dinulu
tan angrasa tan angrasani
wus tan ana pinaran
pan jatining suwung
ing suwunge iku ana
ing anane iku surasa sajati
wus tan ana rinasa
Pan dudu rasa karaseng lathi
dudu rasane apa pa lawan
dudu rasa kang ginawe
dudu rasaning guyu
dudu rasa kang angrasani
rasa dudu rarasan
kang rasa amengku
sakehing rasa karasa
rasa jati tan karasa jiwa jisim
rasa mulya wisesa
Kang wus tumeka ing rasa jati
sembahyanging tan mawas nalika
luwir banyu mili jatine
tan ana jatinipun
mona muni turu atangi
saosiking sarira
pujine lumintu
rahina wengi tan pegat
puji iku rahina wengi sireki
akeh dadi brahala
Pengunguningsun duk lare cilik
nora Selam dening asembahyang
tan Selam dening pangangge
tan Selam dening saum
nora Selam dening nastiti
tan Selam dening tapa
nora dening laku
tan Selam dening aksara
nora Selam yen anut aksara iki
tininggal nora esah
Selame ika kadi punendi
kang ingaranan Selam punika
dening punapa Selame
pan ing kapir iku
nora dening mangan bawi
yadyan asembahyanga
yen durung aweruh
ing sejatining wong Selam
midera anglikasan amontang manting
jatine kapir kawak
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
dosa besar kecil tak diketahui bilang dengan topik kufur dan kafir sudah kacau pandangannya tak melihat-lihat tak merasa dibicarakan sudah tak jelas arah memang sungguh kosong dalam kekosongan itu ada dalam adanya itu rasa sejati sudah tak dibicarakan memang bukan rasa yang dirasakan bukan rasa apa-apa bukan rasa yang dibuat bukan rasa ketawa bukan rasa yang merasakan rasa bukan pembicaraan rasa itu meliputi segala rasa yang terasa rasa jati tak terasa badan raga rasa mulia terkuasai yang sudah sampai rasa jati sembahyangnya tak melihat itu seperti air mengalir sejati tiada sejatinya bicara tidur bangun segala geraknya berdoa selalu siang malam tak henti memuji itu siang malam banyak jadi berhala pendengaranku saat masih kecil bukan Islam tanpa tertib bukan Islam tanpa tertib bukan Islam tanpa bertapa
bukan tanpa laku bukan Islam tanpa aksara bukan Islam tanpa aksara ini ditinggal tidak sah Islamnya itu seperti apa yang disebut Islam itu karena apa Islamnya memang orang kafir itu bukan karena makan babi meski sembahyang kalau belum tahu pada kesejatian Islam keliling kesana kemari sebenarnya kafir kawakan
Perkembangan masa Kesultanan Cirebon
Manuskrip-manuskrip pewayangan cirebon pada zaman dahulu banyak beredar dikalangan bangsawan keraton cirebon dan para peminat sastra. pagelaran wayang kulit cirebon di kalangan keraton cirebon mengalami penurunan pada akhir abad ke-19 dikarenakan masalah terbatasnya dana untuk pagelaran wayang kulit cirebon, tetapi penyebabnya bukan hanya soal dana saja, mulai redupnya unsur-unsur tradisional cirebon dan bangkitnya pola-pola pengajaran barat model eropa termasuk didalamnya mulai maraknya pertunjukan-pertunjukan budaya barat dan semakin disukainya sepak bola dikalangan para bangsawan cirebon terutama yang hidup di wilayah Kuta Raja atau yang sekarang sebut sebagai Kota Cirebon juga menjadi penyebab menurunnya ketertarikan akan wayang kulit cirebon pada masa itu.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Kuta Raja, perkembangan wayang kulit cirebon di wilayah pedesaan yang agraris maupun di perkampungan nelayan masih memegang peranan yang sangat penting sebagai sebuah bagian tak terpisahkan dari sebuah perayaan adat. oleh masyarakat pedesaan dan perkampungan nelayan ini wayang kulit digelar untuk melengkapi berbagai ritual agama Islam, misalnya sunatan dan pernikahan serta untuk melengkapi berbagai acara adat setempat seperti festifal panen padi atau dalam bahasa Cirebon disebut Mapag, Ruwatan Desa serta Nadran.
Pada pagelaran wayang kulit cirebon yang berhubungan dengan ritual agama Islam seperti sunatan dan pernikahan biasanya ditujukan untuk menghimpun para undangan dan dengan tujuan undangan yang datang akan menyumbang beras dan sebagian uang bagi yang disunat atau pengantin yang baru menikah.
Perkembangan masa modern
Pada masa modern desa-desa yang telah mendapatkan tayangan televisi, siaran radio serta telah beredar berbagai macam video dan cd di masyarakatnya, pagelaran wayang kulit cirebon masih dapat dilihat di desa-desa tersebut, walau mengalami penurunan pagelaran, tetapi rata-rata pagelaran yang dilakukan dalam setahun kira-kira sekitar 20-30 pagelaran wayang kulit cirebon.
Babad babad atau Suluk suluk kuno masih dapat didengar pada musim-musim pagelaran wayang kulit cirebon yang biasanya berada disekitar bulan Maret hingga November. Sementara pada masa lalu atau masa keemasan wayang kulit cirebon, suara-suara gemuruh dari pagelaran wayang kulit cirebon bisa didengar hampir setiap malam.
Sejak pertengahan abad ke 20 beberapa pihak praktisi pedalangan termasuk didalamnya para dalang-dalang Cirebon berusaha untuk mensiasati penurunan penonton karena lebih menyukai jenis hiburan asing dengan penggunaan teknologi modern seperti sistem suara, tata pencahayaan lampu, Pakeliran padat serta boneka wayang yang telah dimodifikasi agar dapat mengikuti pola cerita-cerita wayang yang baru atau disebut sebagai kanda anyar dalam bahasa Cirebon, seperti contoh karakter Denawa dalan Wayang kulit Cirebon milik Ki Dalang Mansyur dari Gegesik yang telah dimodifikasi agar dapat menampilkan adegan "terpenggal".
Langkah-langkah menggunakan unsur-unsur teknologi modern dan memodifikasi wayang kulit Cirebon merupakan sebuah upaya diplomasi dari para budayawan Cirebon untuk menghadapi budaya modern yang dirasa lebih populer, cara ini ditempuh oleh para budayawan Cirebon untuk menghindari konflik yang bisa merugikan posisi seni dan budaya tradisional Cirebon itu sendiri.
Kelompok pergelaran
.
Dalam wayang kulit Cirebon, kelompok pergelaran wayang kulit diketuai oleh dalang sendiri dengan diiringi sekitar 10 hingga 15 musisi, tetapi beberapa dalang wayang kulit cirebonan menyarankan bahwa tatanan kelompok musisi yang mengiringi pergelaran wayang kulit cirebonan sebaiknya berjumlah 17 orang, jumlah tujuh belas ini diambil unsur agama Islam yakni jumlah rokaat shalat wajib dalam sehari.
Alat-alat musik yang digunakan untuk tujuh belas orang musisi yang mengiringi pergelaran wayang kulit cirebon yakni:
Kendang
Gong
Saron
Gender
Kenong
Jengglong
Penerus (demung)
Gambang
Beri (simbal)
Kebluk (kempyang)
Klenang
Kemanak
Ketipung
Bedug
Bonang
Kemyang (bonang penerus)
Suling
Namun ada juga alat pengiring lainnya seperti, saron imbal atau yang biasa disebut sebagai kedua, ketuk, biol dan titil (peking), sehingga membuat jumlah ideal yang disebut tujuh belas tersebut hanya sebagai sebuah saran pergelaran saja karena pada praktiknya jumlah tujuh belas tersebut tidak selalu digunakan.
Gaya Pedalangan
Dalam budaya cirebon tidak hanya dikenal satu gaya pedalangan saja, tetapi banyak sekali gaya-gaya pedalangan lokal yang ada di Cirebon biasanya mengikuti tanah budayanya masing-masing. Gaya pedalangan lokal ini terpusat di desa-desa atau tanah-tanah budaya yang masih teguh memegang adat istiadat setempat di mana para dalangnya kebanyakan berasal dari keluarga yang turun-temurun mewariskan keahlian pedalangannya kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan.
Wayang kulit Cirebon gaya Leran (Utara)
Salah satu gaya pedalangan dalam wayang kulit cirebon yang masih sangat terkenal hingga sekarang adalah gaya Utara di mana salah satunya adalah Wayang kulit Cirebon gaya Gegesik di mana gaya Gegesik ini tumbuh dan berkembang di tanah budaya Gegesik di utara kabupaten Cirebon yang merupakan sebuah pedesaan agraris, dalam era modern sekarang tanah budaya gegesik meliputi hampir semua desa kecamatan Gegesik dan Kaliwedi di kabupaten Cirebon.
Tanah budaya Gegesik dalam era modern setidaknya telah menyumbang dua belas dalang profesional yang aktif menggelar pertunjukan wayang kulit Cirebon gaya Gegesik, para musisi dari Gegesik yang biasa mengiringi para dalang juga dikenal akan tingkat profesionalisme mereka yang tinggi.
Gaya pedalangan lainnya yang cukup terkenal adalah gaya Selatan di mana salah satunya yang lebih dikenal adalah gaya Palimanan, Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan terpusat disekitar kecamatan Palimanan dan Gempol di kabupaten Cirebon yang merupakan kawasan industri.
Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan dikenal dengan ciri khasnya menggunakan tangga nada heptatonis atau pelog pada permainan gamelannya. Gaya Palimanan ini kontras dengan kebanyakan gaya pedalangan yang lebih memilih untuk menggunakan tangga nada pentatonis atau dikenal dengan nama Prawa dalam bahasa Cirebon.
Para dalang Wayang kulit Cirebon gaya Palimanan biasanya memainkan pagelaran wayang kulit cirebon dengan tema islami seperti pada lakon Semar lunga kaji (Semar berangkat haji). di mana cerita Semar lunga kaji mendeskripsikan usaha Semar untuk melakukan perjalanan haji ke mekah namun ditentang oleh saudaranya yang beragama Hindu yang disebut Batara Guru atau dikenal dengan nama Siwa di wilayah Asia selatan.
Dalang wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan
Ki Dalang Waryo (maestro pedalangan wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan, tari Topeng Cirebon gaya Palimanan sekaligus seorang ahli pembuat topeng Cirebon dan Wiyaga (penabuh gamelan) yang terkenal), putra dari maestro kesenian Cirebon Ki Empek sedang memegang Baladewa (Balarama kakak Krisna) gaya Cirebonan
Wayang kulit Cirebon gaya Wetanan (Timur)
m
Wilayah pedalangan yang tidak ikut ke kidul/selatan (gaya Palimanan) atau kaleran/ke utara (gaya Gegesik) pada wilayah kabupaten Indramayu serta kabupaten dan kota Cirebon disebutnya gaya Dermaga Wetan (jalan timur) karena mayoritas rumpun pedalangannya berada di sepanjang jalan timur kabupaten Cirebon, contohnya wayang kulit Cirebon gaya Sempangan dengan dalangnya yang terkenal adalah Ami Banowati, Wayang kulit Cirebon gaya Sempangan merupakan salah satu dari gaya wayang kulit Cirebon yang terancam punah dikarenakan kuranganya penerus-penerus muda yang mewarisi gaya pedalangannya.
Wilayah penyebaran Wayang kulit Cirebon gaya Dermaga Wetan ini terdiri dari daerah yang terpencar-pencar, tapi membentuk koloni pedalangan tersendiri. Wilayahnya terdiri dari:
Pada wilayah tersebut, Wayang kulit Cirebon dimainkan dengan gaya yang berbeda-beda tergantung kedekatan silsilah dalang dengan wilayah asalnya.
Dalang wayang Kulit Cirebon gaya Wetanan
Ki Dalang Pulana membawakan cerita Tulak Tanggul dengan gaya Wetanan (Sempangan) pada acara pagelaran wayang Kulit Cirebon di keraton Kacirebonan dalam rangkaian kegiatan bulan Muharram (bahasa Cirebon: Sura)
Gaya sunggingan (pewarnaan) pada wayang kulit Cirebon gaya kulonan terutama Cilamaya memiliki perbedaan yang tidak jauh dengan gaya sunggingan wayang kulit Cirebon gaya kidulan terutama Palimanan, menurut Waryo (budayawan Cirebon) hal tersebut dimungkinkan karena pada masa lalu para pedalang dan pengrajin wayang antar kedua wilayah saling bertukar dan saling melakukan pembelian wayang kulit cirebon.
Mapag Sri dan Wayang kulit Cirebon
Tahun 2014 tepatnya pada bulan Oktober menandai berakhirnya kekosongan tradisi syukuran panen atau yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah mapag sri yang selama kurang lebih lima puluh tahun hampir tidak pernah digelar di blok Cibango, desa Cilamaya, kecamatan Cilamaya Wetan, kabupaten Karawang. Tradisi ini juga disempurnakan dengan pagelaran wayang kulit cirebon gaya kulonan ( cilamaya ).
Menurut Aef Sudrajat yang merupakan ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Saluyu yang menggelar syukuran tersebut, kekosongan yang terjadi selama kurang lebih lima puluh tahun disebabkan oleh modernisasi dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk melestarikan tradisi syukuran.[3] Berkurangnya masyarakat yang melakukan tradisi syukuran mapag sri dimungkinkan terjadi dalam kondisi masyarakat yang mayoritas muslim dikarenakan dalam salah satu urutan prosesi tradisi mapag sri ada sebuah prosesi mengarak simbolisasi dewi sri untuk mengelilingi kampung yang oleh beberapa kalangan masyarakat muslim bagian ini dianggap tidak Islami walau bagian lain dalam prosesi syukuran mapag sri pada budaya Cirebon telah kental nuansa Islamnya. Beberapa masyarakat adat Cirebon telah mengganti simbolisasi dewi sri ini dengan sepasang pengantin padi seperti pada tradisi mapag sri di pesisir timur kabupaten Indramayu sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman.[4]
Pada masyarakat adat Cirebon di wilayah Cilamaya dan sekitarnya, tradisi syukuran mapag sri dimaknai sebagai wujud syukur kepada Allah swt menjelang musim panen, tradisi syukuran mapag sri merupakan bagian dari rangkaian tradisi panen, pascapanen dan menjelang tanam padi, pada masyarakat adat Cirebon di wilayah Cilamaya dan sekitarnya rangkaian tradisi selanjutnya setelah syukuran mapag sri adalah tradisi hajat bumi atau dalam bahasa setempat dikenal dengan istilah Babaritan yang dilakukan setelah prosesi panen dan kemudian tradisi mapag cai ( membawa air ) yang dilakukan menjelang musim tanam.
Menurut Aef Sudrajat prosesi Mapag Sri di wilayahnya dapat dilakukan dengan dukungan dari donatur dan sumbangan dari delapan kelompok tani yang tergabung di dalam Gapoktan pimpinannya, prosesi mapag sri disempurnakan dengan pagelaran wayang kulit cirebon gaya kulonan yang dipimpin oleh Ki Dalang Udama dari desa Rawa Meneng, kecamatan Blanakan, kabupaten Subang. Pagelaran wayang kulit cirebon gaya kulonan tersebut dipentaskan siang - malam di kompleks pemakaman sesepuh blok Cibango, oleh masyarakat sekitar prosesi pagelaran wayang kulit ini disebut "prosesi ngaruwat" atau selamatan guna memohon doa dari Allah swt agar dijauhkan dari bahaya, penyakit dan kesulitan. pada pagelaran wayang kulit cirebon yang menjadi pelengkap prosesi adat mapag sri, lakon wayang yang biasanya dipentaskan adalah lakon Sulanjana yang bercerita tentang asal muasalnya padi.
Set Wayang kulit Cirebon gaya Kulonan ( Cilamaya )
Bisma wicara pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan - 'ditatah oleh Arie Nugraha dan Ki Tasma Atmaja
Bambang Arasoma pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan yang disungging oleh Arie Nugraha ( lakon ini terdapat kerusakan pada ornamen Garuda Mungkur kecilnya yang terdapat diatas kepala )
Salya pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan - ditatah oleh Arie Nugraha dan Ki Tasma Atmaja.
Pangeran Duryodana pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan - karya Ki Ardi, disungging ulang oleh Ki Enang Sutria dan dibrom ulang oleh Arie Nugraha.
Gunungan Wayang kulit Cirebon gaya Kulonan ( Cilamaya ) dengan Kayon Windu, ditatah oleh Ki Tasma Atmaja dan disungging oleh Arie Nugraha
Jabang karya Arie Nugraha
Arjuna ( mangu ) - ditatah oleh Arie Nugraha dan Ki Tasma Atmaja
Begawan Sekutrem pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan karya Arie Nugraha
Betara Guru - ditatah oleh Arie Nugraha dan Ki Tasma Atmaja
Betara Narada pada Wayang kulit Cirebon gaya Kulonan karya Pak Usup
Betara Narada pada Wayang kulit Cirebon gaya Kulonan karya Arie Nugraha
Cungkring pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan
Semar ( Jamblang ) pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan, cempurit disungging oleh Arie Nugraha
Bagong Sunda - disungging oleh Arie Nugraha
Togog pada Wayang kulit Cirebon gaya kulonan
Bahasa pedalangan
Bahasa pengantar yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon bisa dibagi kedalam dua periode waktu, yakni sebelum era tahun 1980-an dan setelahnya. Pada periode sebelum era tahun 1980-an bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar pagelaran wayang kulit cirebon adalah bahasa Cirebon dengan beragam dialeknya, termasuk di antaranya bahasa Cirebon dialek Indramayu atau yang biasa disebut sebagai basa dermayon yang digunakan di wilayah budaya Indramayu. Namun setelah era tahun 1980-an bahasa yang digunakan pada pagelaran wayang kulit cirebon mulai mengalami pergeseran dari hanya menggunakan bahasa Cirebon menjadi dicampur dengan bahasa Indonesia namun dengan logat khas bahasa Cirebon.[5]
Babad dan Karakter
Pada wayang kulit cirebon penyebutan nama babad atau cerita dan karakter-karakter pewayangannya memiliki perbedaan jika dibandingkan dengan penyebutan babad pewayangan dalam pagelaran wayang kulit purwa gaya yogyakarta atau surakarta, sebagai contohnya Babad alas amer disebut sebagai Babad Wanamerta dalam pagelaran wayang kulit cirebon.
Penyebutan nama karakter pewayangannya juga memiliki perbedaan, di antaranya Kala Pracona dalam wayang kulit cirebon disebut sebagai Naga Pracana dan Kala Srenggi disebut sebagai Kala Jenggi.
Selain perbedaan penyebutan nama babad dan karakter pada Wayang kulit Cirebon, kesinambungan unsur pra-Islam dengan unsur agama Islam yang masuk ke wilayah budaya Cirebon pun masih dapat dilihat jelas pada bentuk visual karakter wayangnya, selain contoh Naga Liyong dan Guru Dorna (Drona) yang berjubah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada juga karakter lain yang merupakan wujud dari kesinambungan unsur pra-Islam dengan agama Islam, di antaranya Gunungan Jali atau Jaler pada pagelaran wayang kulit cirebon yang masih menampilkan wujud Ganesha sebagai pengaruh unsur agama Hindu yang merupakan salah satu unsur pra-Islam yang mewarnai wayang kulit cirebon.
Jika dibandingkan antara pembawaan bahasa babad yang digunakan pada wayang kulit purwa dengan wayang kulit cirebon, dialog yang dibawakan pada pagelaran wayang kulit cirebon lebih bernafaskan Islam.
Seni kriya
Wayang kulit cirebon sebenarnya masih serupa dengan wayang kulit purwa namun memiliki ciri khas tersendiri jika ditinjau dari sudut seni kriya, beberapa tokoh pewayangan cirebon dibuat cukup jauh berbeda dengan tatahan dan sunggingan wayang kulit purwa sebagai contoh karakter Rahwana atau Prabu Dasamuka pada Pewayangan Cirebon direfleksikan dengan kepala yang benar-benar berjumlah sepuluh dilihat dari sisi muka dan belakang karakter wayang.
Pegangan wayang kulit Cirebon (bahasa Cirebon: cempurit) memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan cempurit milik suku Jawa pada wayang kulit Jawa, cempurit pada wayang kulit Cirebon memiliki bentuk tungkul bawang atau biasa dikenal dengan nama bawangan terbuat dari tanduk kerbau dengan warna kemerahan sementara wayang Jawa memiliki bentuk berbeda dengan warna kekuningan[6]
Untuk karakter pewayangan yang menggunakan gelung, gelung pada wayang kulit cirebon tidak dibuat sampai menyentuh ubun-ubun karakter wayang sehingga membuat postur wayang kulit cirebon terlihat lebih langsing dan membuatnya mirip dengan Wayang kulit Bali.
Wayang kulit cirebon jika dilihat dengan teliti memiliki ciri khas pada tatahan dan ukiran karakter wayangnya, motif khas cirebonan yang biasa digunakan pada tatahan dan ukiran pada wayang kulit cirebon biasanya adalah:
Tumpengan
Kepuh
Wringin
Prabon
Ron Jubahan
Ron Gajah Ngulis
Sumping Jubahan
Sumping Gajah Ngulih
Sumping Sekar Meloki
Wadasan
Sunggingan pada wayang kulit cirebon juga mengenal beberapa motif pewarnaan, di antaranya:
Sekabra
Rujak Wuni
Kembang Pari
Walang Kerik
Menyan Kobar
Mega mendung
selain tatahan, ukiran dan sunggingan yang khas pada karakter wayangnya, wayang kulit cirebon juga menyematkan beragam motif batik khas cirebon pada karakter wayang kulitnya.
Seni kaligrafi
Unsur-unsur dakwah Islam pada Wayang kulit Cirebon masih tampak jelas sebagai warisan para Wali Sanga. Para Wali menambahkan unsur ajaran Islam tanpa menghapuskan ajaran sebelumnya yang selain sudah terlampau mengakar pada masyarakat pribumi, juga berusaha untuk tetap melestarikan unsur-unsur positif universal di dalamnya yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sebagai contohnya dapat dilihat dari seni kaligrafi pada Gunungan Jali atau Jaler Wayang kulit Cirebon karya Rastika dari Gegesik, kabupaten Cirebon, di mana Gunungan tersebut bertahtakan aneka kaligrafi Arab berupa Tahlil, Syahadat dan Shalawat yang membentuk siluet dari sosok Ganesha.
Penggunaan kaligrafi Islam juga tidak hanya sebatas pada Gunungan Wayang kulit Cirebon saja. karakter Wayang kulit Cirebon yakni Cungkring atau lebih dikenal dengan nama Petruk pada kebudayaan Jawa, juga terlihat menggunakan kalung yang berlafazkan Allah serta karakter Bagal Buntung yang menggunakan kalung yang berlafazkan Muhammad.
Adat Masyarakat
Pada penerapannya di masyarakat, Wayang kulit Cirebon ditempatkan pada status tertentu yang berbeda di antara desa-desa yang masih memegang adat di wilayah budaya masyarakat Cirebon, ada yang menempatkan Wayang kulit Cirebon sebagai larangan adat yang artinya tidak boleh digelar atau dipertunjukan di wilayah tersebut dan ada juga yang menempatkan Wayang kulit Cirebon sebagai pelengkap adat yang artinya digelar sebagai bagian dari nilai-nilai adat setempat.
Adat wayang kulit di desa-desa Sukaraja
Pada wilayah desa-desa Sukaraja yang didalamnya meliputi ( Sukaraja kulon dan Sukaraja wetan) di kecamatan Jatiwangi, kabupaten Majalengka, wayang kulit ditempatkan sebagai larangan adat di mana larangan ini berasal dari sebuah cerita rakyat setempat yang dituturkan secara turun-temurun oleh masyarakat desa-desa Sukaraja.
Cerita rakyat yang dipertuturkan secara turun-temurun di kalangan masyarakat desa-desa Sukaraja adalah kisah tentang Ki Depok (yang makamnya berada di wilayah Sukaraja) dan istrinya yang merupakan seorang pesinden.
Diceritakan bahwa sang suami (Ki Depok) tidak mendapatkan perhatian dari sang istri dikarenakan sang istri selalu sibuk akibat jadwal panggungnya yang padat sebagai pesinden, sangat kesal akan perilaku istrinya yang kurang memperhatikan dirinya, Ki Depok mendatangi istrinya yang sedang nyinden lalu memarah-marahinya
Dikarenakan hal tersebut akhirnya sesepuh (orang-orang yang dituakan dan dihormati) di desa-desa Sukaraja ini memutuskan untuk melarang adanya pagelaran wayang kulit tersebut sampai sekarang.[7]
Pengembangan dan Konservasi
Popularitas wayang kulit Cirebon tidak seperti wayang kulit jawa semisal gaya Surakarta atau gaya Yogyakarta yang sering ditampilkan di Televisi dan diajarkan di pusat-pusat kebudayaan wayang kulit jawa. Wayang kulit Cirebon bisa dibilang tidak terlalu dikenal bahkan bagi para penggemar wayang sekalipun yang bermukim di luar pulau Jawa.[8]
Wayang kulit Cirebon tidak memiliki waktu pertunjukan yang tetap yang memudahkan para turis untuk dapat menikmatinya, kesenian wayang kulit Cirebon pun tidak diajarkan disebuah pusat-pusat kebudayaan seperti yang terjadi pada wayang kulit jawa dan wayang kulit Cirebon juga hampir tidak pernah ditayangkan di televisi nasional.
Kesenian wayang kulit Cirebon mulai banyak dikenal masyarakat internasional ketika penampilan Ki Dalang Taham atau dalam budaya cirebon dikenal dengan nama Mama Ta'am (red: Mama berarti Bapak dalam bahasa Cirebon) yang merupakan ayah dari seorang maestro tari topeng Cirebon gaya Tambi, Indramayu, yaitu ibu Wangi Indriya atau dalam budaya Cirebon dikenal dengan nama Mimi Wangi Indriya
Pada masa modern, frekuensi pagelaran wayang kulit Cirebon mengalami penurunan jika dibandingkan pada masa kesultanan Cirebon, pada masa kesultanan Cirebon, pagelaran wayang kulit Cirebon yang merupakan media dakwah Islam biasa dipertunjukkan pada berbagai acara di masyarakat adat Cirebon seperti mapag sri, barikan dan sedekah bumi, turunnya frekuensi pagelaran wayang kulit Cirebon menurut Raffan Hasyim (budayawan Cirebon) disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor ekonomi dan pendidikan,[9] bagi beberapa kalangan masyarakat mengadakan pagelaran wayang kulit Cirebon akan membutuhkan banyak dana ketimbang menggelar pentas seni lainnya semisal dangdut atau organ tunggal, hal ini dikarenakan banyaknya orang yang terlibat dalam sebuah pagelaran wayang kulit Cirebon seperti sinden, wiyaga (penabuh gamelan) dan sebagainya sehingga pertunjukan wayang kulit Cirebon dianggap sebagai sebuah pertunjukan yang mahal.
Menurut Raffan Hasyim (budayawan Cirebon) untuk menghindari punahnya wayang kulit Cirebon bisa dilakukan dengan membudayakan wayang kulit Cirebon di lingkungan keluarga dan masukan pelajaran muatan lokal tentang sastra dan wayang Cirebon.[9]
Wayang kulit Cirebon sebagai Duta diplomasi budaya
Wayang kulit Cirebon yang masih memegang kesinambungan antara masa pra-Islam dengan masa Islam dari bentuknya, ukirannya dan pemasukan unsur-unsur kaligrafinya dengan menjaga harmonisasi antara keduanya menjadikan Wayang kulit Cirebon tetap menjadi Duta diplomasi hingga kini, yaitu diplomasi yang mempertemukan dan menyatukan warisan leluhur, aneka budaya, kisah epik Hindu dan Budha dari India dengan ajaran Islam, bahkan dengan isu kontemporer, hiburan modern, media serta teknologi dengan seni kerajinan tradisional. Diplomasi yang mempertemukan berbagai kepentingan pula, yaitu kepentingan pelestarian budaya, dokumentasi sejarah, propaganda dan dominasi politik, penyebaran agama, pergaulan sosial serta perkembangan kesenian dan penerapan teknologi media.
Mohammad Isa Pramana Koesoemadinata dalam penelitiannya yang berjudul "Wayang Kulit Cirebon: Warisan Diplomasi Seni Budaya Nusantara" mengatakan bahwa:
Wayang kulit Cirebon merupakan refleksi keberhasilan diplomasi lintas budaya pada masa lalu dalam skala regional dan bisa menjadi proyeksi dari suatu alternatif diplomasi pada masa depan dalam skala global bahkan universal
Keberhasilan Wayang kulit Cirebon sebagai sebuah Diplomasi budaya juga direfleksikan oleh sejarah Cirebon yang pernah jaya sebagai Kesultanan yang berdiri di atas keberagaman budaya, etnis dan kepercayaan dengan wilayahnya yang berada di pesisir sesuai dengan asal katanya Caruban yang berarti Bersatu padu.