Wanua Manurung
Wanua Manurung merupakan salah satu kawasan paling penting dalam sejarah lahirnya kerajaan Luwu, sekaligus menjadi kerajaan tertua di Pulau Sulawesi. Saat ini, Wanua Manurung masuk dalam wilayah teritorial Kabupaten Luwu timur, Sulawesi selatan. Nama nya pun kini berubah menjadi menjadi Desa Manurung Sejarah singkatDalam buku I Lagaligo, Wanua Manurung dapat diartikan sebagai tempat lahirnya awal peradaban dan berakhirnya mitos tentang adanya perkawinan silang antara kerajaan bumi dan kerajaan langit Berawal dari cerita rakyat tentang Sawerigading yang merupakan seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia, Wanua Manurung adalah kawasan penting dalam catatan perjalanan tokoh tersebut. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung[1]. Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu:
Fakta sejarah memberi pandangan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng dan Wajo yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan Lontara Panguriseng, di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigading, Batara Lattu’ dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah, tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi. Nilai budayaTerlepas dari makna relijius yang terkait dengan nama daera ini, Wanua Manurung juga memberi pesan dalam nilai budaya yang dilestarikan masyarakat daerah bugis sampai saat ini Dalam cerita masyarakat Bugis, Wanua Manurung memiliki beberapa nilai budaya antara lain nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di bumi (mulatau) yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosial dapat diuraikan sebagai berikut:
Tokoh legenda
Putra daerah
Lihat pulaPranala luar
Referensi
|