Wabi-sabiDalam estetika tradisional Jepang, wabi-sabi (Jepang: 侘寂) merupakan sebuah pandangan dunia yang terpusat pada penerimaan terhadap kefanaan dan ketidaksempurnaan. Estetika tersebut kadang-kadang dijelaskan sebagai salah satu keindahan yang tak sempurna, tak kekal, dan tak lengkap. Prinsip wabi-sabi pertama kali muncul pada masa Dinasti Song, dan dipopulerkan oleh Sen no Rikyū pada zaman Muromachi. Rikyū adalah orang pertama yang menerapkan estetika wabi-sabi dalam berbagai bentuk kesenian Jepang, seperti upacara minum teh Jepang serta ikebana (kesenian merangkai bunga). Estetika wabi-sabi berlandaskan filosofi Zen, yang dibawa ke Jepang oleh biksu Zen Eisai pada abad ke-12. Kegiatan upacara minum teh menjadi salah satu elemen terpenting dalam wabi-sabi. Upacara ini pertama kali diformalisasikan pada zaman Kamakura, dan disebarkan oleh Ikkyū dan dipopulerkan oleh Sen no Rikyū. DefinisiDalam pengertian yang paling sederhana, wabi-sabi adalah sebuah kesenian dan filosofi Jepang yang digunakan untuk mencari keindahan dalam ketidaksempurnaan dunia dan menerimanya, serta menerima siklus alami dari pertumbuhan, kematian, dan pembusukan.[1][2] Makna kata wabi (侘 ) dan sabi (寂 ) sendiri memiliki keambiguan yang membuatnya sulit untuk dijelaskan. Kata wabi (侘 ) berasal dari kata kerja wabu, yang berarti merana, dan kata sifatnya, wabishii (侘しい ), digunakan untuk menggambarkan rasa sedih dan kemiskinan.[3][4] Kata tersebut juga dapat berarti sederhana, tidak materialistis, dan rendah hati.[5] Kata sabi (寂 ) mempunyai arti seperti pergerakan alami, dan pengertian bahwa keindahan tidak selamanya ada. Definisi kata sabi berubah seiring waktu, dari arti kunonya, yaitu ketandusan atau kehancuran menjadi bertumbuh tua.[6] Salah satu penggunaan kata sabi (寂 ) yang pertama kali adalah oleh penyair Fujiwara no Toshinari, yang menggunakannya untuk menggambarkan rasa kesepian atau kesedihan.[3][7] Menurut Leonard Koren, wabi-sabi dapat dideskripsikan sebagai karakteristik yang paling mencolok dan khas dalam keindahan tradisional Jepang dan menempati posisi yang kira-kira sama dalam jangkauan nilai estetika Jepang, seperti halnya dengan pandangan peradaban Yunani Kuno tentang keindahan dan kesempurnaan Dunia Barat.[8] Menurut Richard Powell, wabi-sabi berarti memelihara semua yang autentik dengan mengakui tiga realitas sederhana: tidak ada yang abadi, tidak ada yang selesai, dan tidak ada yang sempurna.[9] SejarahSejarah wabi-sabi bermula dari buah pemikiran Zen Buddhisme, yang berakar dari kepercayaan Taoisme. Perkembangan wabi-sabi dipercayai bermula dari zaman Dinasti Song, ketika aspek-aspek kesenian pada zaman tersebut mulai condong pada prinsip estetika wabi-sabi.[11] Pada saat itu juga, jenis lukisan literati atau wen-jen hua mulai bermunculan. Pelukis-pelukis tersebut berasal dari akademi Sekolah Selatan Lukisan Tionghoa, yang seringkali bertentangan dengan para pelukis dari Sekolah Utara, dikarenakan gaya lukisan mereka yang lebih sederhana. Keringkasan karya seni tersebut menjadi ciri khas yang menetapkan bentuk estetika wabi-sabi nantinya.[10] Teh pertama kali ditanam di Jepang oleh biksu Zen Eisai, yang membawanya dari Tiongkok pada zaman Kamakura.[12] Pada zaman itu juga, kegiatan upacara minum teh di Jepang diperkenalkan oleh Nanpo Shomyo, atau yang dikenal sebagai Daiō.[12] Terdapat banyak biksu lainnya yang menjadi ahli dalam upacara tersebut; salah satunya adalah Ikkyū, yang mengajarkan prosedur dan peraturan upacara minum teh kepada muridnya Murata Shukō.[12][13][14] Shukō pun mengajarkannya kepada Ashikaga Yoshimasa, shogun pada masa itu, yang juga merupakan seorang pendukung kesenian Jepang.[12] Pada saat itu, peralatan-peralatan yang digunakan untuk upacara teh berasal dari Tiongkok, yang terlihat indah dan bernilai mahal. Shukō, yang merupakan ahli dalam upacara minum teh, tidak menyukai peralatan tersebut dan lebih memilih untuk menggunakan peralatan yang terlihat sederhana walaupun kurang terlihat mencolok dan menakjubkan.[15] Ini membuat upacara minum teh wabi-sabi lebih alami dan sederhana.[16] Upacara minum teh semakin dipopulerkan pada Zaman Muromachi, ketika kondisi politik di Jepang sedang tidak stabil.[17] Pada zaman itu juga, budaya minum teh di Jepang mulai diapresiasi oleh orang-orang di luar lingkungan Zen, terutama dalam kalangan kelas samurai.[18] Sen no Rikyū, seorang biksu Zen yang menetap di Kuil Daitoku-ji selama beberapa tahun, menjadi tokoh terpenting dalam perkembangan kegiatan upacara teh.[19] Rikyū menjadi kepala upacara minum teh untuk Toyotomi Hideyoshi, seorang samurai yang dekat dengannya.[19][20] Ia merancang berbagai ruang minum teh menggunakan bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti bambu, gelagah, tanah liat, dan kayu, karena ia merasa tujuan Zen adalah untuk menyucikan jiwa seseorang dengan menjadi satu dengan alam.[21] Ide arsitektural ruang minum teh Rikyū terinspirasi dari desain sederhana kuil-kuil Zen.[22] PenerapanTerdapat tujuh prinsip Zen yang digunakan untuk mencapai estetika wabi-sabi: asimetri (不均斉 , fukinsei), kesederhanaan (簡素 , kanso), keagungan (考古 , kōko), kealamian (自然 , shizen), kebebasan (脱俗 , datsuzoku), ketenteraman (静寂 , seijaku).[24][25][26] Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam berbagai penerapan estetika kesenian wabi-sabi, di antaranya:
Lihat juga
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Bacaan lanjutanBuku
Jurnal
|