Umbu Landu Paranggi
Umbu Wulang Landu Paranggi (10 Agustus 1943 – 6 April 2021) adalah seniman Indonesia berasal dari Sumba yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia sejak 1960-an. Ia lebih dikenal sebagai sosok "di belakang layar" yang mendorong para penyair muda untuk menjadi sastrawan[1]. Melalui komunitas Persada Studi Klub di Malioboro, Umbu menjalankan peran sebagai mentor sekaligus guru yang membimbing kelompok penyair dan seniman muda tahun 1970-an di Yogyakarta, seperti Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan Ebiet G. Ade.[2][3][4][5] Pada tahun 1978 ia pindah ke Bali[1] . Di sana ia mengasuh rubrik Apresiasi di Bali Post dan membimbing generasi muda penulis seperti Wayan Jengki Sunarta, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Cokorda Sawitri, Oka Rusmini, dan lain-lain. Sembari membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi (JKP) di Bali, Umbu masih membantu komunitas Rumahlebah Yogyakarta melahirkan jurnal antologi Ruang Puisi dengan duduk di dewan redaksi bersama Raudal Tanjung Banua, Frans Nadjira, dan Nur Wahida Idris. Umbu meninggal di Sanur, Bali, akibat COVID-19 pada 6 April 2021.[6] Sebelum dimakamkan secara tetap dan permanen di tanah kelahirannya, Sumba, jenazah Umbu dimakamkan sementara di Taman Pemakaman Kristen Mumbul Kabupaten Badung, Senin, 12 April 2021, setelah diantarkan ke ruang sunyi melalui liturgi peribadatan Kristiani dan upacara kurukudu, sebuah ritual adat Sumba, Nusa Tenggara Timur. PendidikanUmbu Landu Paranggi menempuh studi di SMA BOPKRI Yogyakarta. Ia menerima gelar Sarjana Sosiatri dari Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Gadjah Mada dan juga Sarjana Hukum dari Universitas Janabadra, Yogyakarta. Kehidupan di YogyakartaUmbu dilahirkan di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. Ia merantau ke Pulau Jawa untuk meneruskan sekolah di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Di sekolah tersebut, Umbu tertarik untuk menulis sastra setelah bertemu dengan seorang guru Bahasa Inggris yang memberinya inspirasi, Lasiyah Soetanto, yang kelak menjadi Menteri Negara Peranan Wanita (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan) pertama di Indonesia. Pada tahun 1970-an Umbu membentuk Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas penyair, sastrawan, seniman yang berpusat di Malioboro Yogyakarta. PSK dikenal sebagai salah satu komunitas sastra yang sangat mempengaruhi perjalanan sastrawan-sastrawan besar di Indonesia. Umbu dipercaya mengasuh rubrik puisi dan sastra di Mingguan Pelopor Yogya. Walau dijuluki sebagai "Presiden Malioboro", ia hidup menjauhi polemik, popularitas, dan sorotan publik. Ia sering ditemukan menggelandang sambil membawa kantung plastik berisi kertas-kertas, yang tidak lain adalah naskah-naskah puisi koleksinya. Orang-orang menyebutnya "pohon rindang" yang menaungi bahkan telah membuahkan banyak sastrawan kelas atas, tetapi ia sendiri menyebut dirinya sebagai "pupuk" saja. Kehidupan di BaliSejak tinggal di Bali dari tahun 1978, kehidupan Umbu tidak banyak berubah. Ia tetap bergerilya mendorong anak-anak muda melakukan aktivitas kesenian dan kesastraan. Umbu bekerjasama dengan sastrawan lokal dan guru SMP-SMA untuk menghidupkan sastra berbasis remaja. Hasil gerilyanya berhasil memunculkan banyak sanggar dan teater di Denpasar serta banyak penyair baru.[1] Kehidupan PribadiDalam tradisi masyarakat Sumba, Umbu adalah panggilan untuk laki-laki keturunan bangsawan, dan Rambu adalah panggilan untuk perempuan keturunan bangsawan. Dari pernikahannya dengan Rambu Hana Hunggu Ndami yang telah berpulang, Umbu memiliki tiga anak: Umbu Domu Wulang Maramba Andang, Rambu Anarara Wulang Paranggi, dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi (seorang pejuang lingkungan hidup yang dikenal aktif sebagai Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur). Umbu juga dikaruniai empat cucu. PenghargaanPada tahun 2018, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia memberikan Penghargaan Anugerah Budaya kepada Umbu Landu Wulang Paranggi untuk kategori seniman modern. Tahun 2019, Umbu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta atas "pencapaian sepanjang hayat" di bidang humaniora melalui pengabdiannya di bidang kesusasteraan, yang diterima dengan diwakilkan putranya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.[7] Pada tahun yang sama, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, melalui Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, memberikan Penghargaan Pengabdian pada Dunia Sastra 2019 kepada Umbu yang telah mendedikasikan dirinya untuk perkembangan kesusastraan modern Indonesia. Pada tahun 2020, ia menerima Penghargaan Bali Jani Nugraha dari Festival Seni Bali Jani atas jasanya dalam pengembangan ekosistem seni modern di bidang sastra.[8] Pada tahun yang sama, Umbu juga menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020 kategori ‘Pencipta, Pelopor, dan Pembaru’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada tahun 2021, komponis Ananda Sukarlan membuat musik dari beberapa puisi Umbu dan diperdanakan oleh soprano lulusan Hungaria, Alice Cahya Putri, di konser video berlokasi di Labuan Bajo, berjudul "Ananda Sukarlan : Matahari Terbenam di Timur" di kanal YouTube "Budaya Saya" Referensi
|