Thio Thiam Tjong
Thio Thiam Tjong (lahir pada tanggal 4 April 1896 – meninggal pada tanggal 19 September 1969)[1] dulu adalah seorang politisi, pemimpin komunitas, dan pebisnis asal Indonesia yang karir publiknya membentang mulai akhir era kolonial hingga awal dekade kemerdekaan.[2][3][4][5] Pada tahun 1928, Thio menjadi salah satu pendiri dari Chung Hwa Hui, sebuah partai politik Tionghoa Indonesia. Thio lalu menjadi presiden dari penerus partai tersebut, yakni Persatoean Tionghoa, yang dibentuk pada tahun 1948, dan kemudian diubah namanya menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia pada tahun 1950.[2][3] Karir awal dan latar belakang keluargaThio lahir pada tahun 1896 di Semarang, Jawa Tengah pada pasangan suami istri yang berasal dari keluarga terpandang.[2][3][6] Ayahnya, pebisnis kaya Thio Sing Liong (1871–1940), adalah seorang Tionghoa Peranakan generasi ketiga dan pendiri dari Handel Maatschappij Thio Sing Liong, sebuah perusahaan ekspor-impor terkemuka.[4] Sementara itu, ibunya, Tan Tien Nio, berasal dari kelompok ‘Cabang Atas’ sebagai cucu dari Tan Ing Kie, Kapitan tituler Cina (1835–1895).[6][4] Melalui ibunya, Thio pun merupakan keturunan langsung dari Tan Yok Sing, Kapitan Cina Semarang (1737–1800) di bawah VOC.[6][4] Tan Yok Sing datang ke Hindia Belanda pada pertengahan dekade 1700-an sebagai keturunan dari keluarga Tan (Chen dalam bahasa Mandarin) asal Zhangzhou, Fujian. Seperti sebagian besar orang di kelas sosialnya, Thio mengenyam pendidikan berbasis bahasa Belanda di Semarang. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di sebuah Hogere Burgerschool (HBS) di Leiden, Belanda.[2][3] Ia lalu berkuliah teknik di Universitas Teknologi Delft, tetapi kemudian keluar dari kampus tersebut pada tahun 1922 untuk bergabung ke perusahaan milik ayahnya.[2][3] Setelah ayahnya pensiun pada tahun 1933, Thio pun mengambil alih perusahaan tersebut dan mengembangkannya.[2][3] Thio juga menjadi anggota dewan direksi dari sejumlah perusahaan lain.[2][3] Kehidupan publikThio muncul sebagai seorang pemimpin komunitas pada akhir dekade 1920-an, dan memainkan peran penting dalam Kongres Chung Hwa tahun 1927, yang kemudian mengarah pada pembentukan asosiasi politik Chung Hwa Hui (CHH) pada tahun 1928.[7][8] CHH lalu dikritik oleh sayap kiri sebagai 'Packard Club', yakni sebutan untuk kepentingan dari perusahaan-perusahaan milik Tionghoa pada masa kolonial, terutama konglomerat Kian Gwan, yang dimiliki oleh ipar Thio, yakni keluarga Oei.[8] Pada dekade 1930-an, Thio menjadi anggota dewan pusat CHH yang dipimpin oleh H. H. Kan, serta menjadi presiden dari cabang CHH di Semarang.[7][8][2][3] Mulai tahun 1930 hingga 1934, Thio menjabat sebagai Chairman Siang Hwee, atau Kamar Dagang Tionghoa, di Semarang.[2][3] Ia juga menjabat sebagai anggota Provincialen Raad van Midden-Java atau Dewan Provinsi Jawa Tengah.[2][3] Sebelum invasi Jepang ke Hindia Belanda selama Perang Dunia II, Thio memimpin sebuah kelompok anti-Jepang.[2][3] Sehingga selama sebagian besar pendudukan Jepang mulai tahun 1943 hingga 1945, Thio pun ditahan bersama pemimpin politik lain di Cimahi.[2][3] Ia menghabiskan waktunya di sana dengan mempelajari bahasa Mandarin, dan menjadi pemimpin informal bagi para tahanan yang berlatar belakang Tionghoa.[2][3] Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Sukarno dan Hatta pun memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi proklamasi kemerdekaan tersebut tidak diakui oleh otoritas Belanda maupun oleh Sekutu.[9][10] Saat Belanda kembali ke Hindia Belanda pada bulan Maret 1946, Thio ditunjuk sebagai Penasehat pada Kabinet Darurat NICA yang dipimpin oleh temannya, yakni H. van Mook, Plt. Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[11][9][10] Walaupun terlibat dalam visi van Mook untuk membentuk Republik Indonesia Serikat, Thio berupaya tidak mengkritik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan Hatta.[9][10] Pada tahun 1947, Thio menikahi Goei Lee Ging, sesama keturunan Cabang Atas. Goei adalah keturunan langsung dari Goei Poen Kong, Letnan Cina (1765–1806).[12][6] Mertua Thio adalah Goei Khek Ho dan Oei Bok Nio, yang menikah sebagai bagian dari pernikahan ganda yang juga melibatkan saudari dan saudara mereka masing-masing, yakni Goei Bing-nio dan Oei Tiong Ham, Mayor Cina.[6] Sehingga istri Thio adalah keponakan ipar dari Mayor Oei Tiong Ham, dan sepupu pertama dari anak Oei Tiong Ham, yakni Oei Tjong-lan dan Oei Hui-lan, atau lebih dikenal sebagai Madame Wellington Koo.[6] Pada tahun 1948, Thio menjadi Presiden dari Persatoean Tionghoa (PT), sebuah komunitas dan organisasi politik Tionghoa Indonesia yang dibentuk pada tahun 1948 menjelang berakhirnya Revolusi Indonesia (1945–1949).[13][9][10][3] Revolusi tersebut meliputi perang kemerdekaan melawan NICA dan revolusi sosial melawan elit pro-Belanda.[13][9][10][3] PT, yang dianggap sebagai penerus CHH, bertujuan untuk mewakili aspirasi politik dari komunitas Tionghoa Indonesia pada akhir revolusi dan penyerahan kekuasaan dari NICA ke otoritas Indonesia.[9][13][10] Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, di bawah kepemimpinan Thio, PT ditransformasi menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) pada tahun 1950.[13][9][10] Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia, pun menganggap PT dan PDTI sebagai organisasi yang elitis dan tidak dapat berurusan dengan pribumi Indonesia.[8][10] Pasca era kolonial, asosiasi PDTI dengan CHH membuatnya kesulitan. Keterlibatan Thio di organisasi politik pra-revolusi juga membuatnya tidak dapat memainkan peran signifikan di kancah politik Indonesia pasca-revolusi.[8][9][13][10] Thio Thiam Tjong akhirnya meninggal dalam pengasingannya di Belanda pada tanggal 22 September 1969. Hingga meninggal, Thio belum memiliki anak.[2][3] Referensi
|