Sebagaimana umumnya surau di Minangkabau, keberadaan surau ini dikhususkan sebagai pusat pendidikan non-formal setempat. Letaknya berdampingan dengan Masjid Al-Ula yang menyelenggarakan salat jemaah dan berbatasan dengan jalan raya di sebelah utara.[2] Dengan material terbuat dari jenis kayu surian, konstruksinya tidak mengalami kerusakan berarti walaupun beberapa kali dilanda gempa besar dan angin kencang.
Surau ini ditetapkan sebagai cagar budaya di bawah pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Batusangkar dan menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Tanah Datar.[3]
Sejarah
Surau Lubuk Bauk merupakan surau kaum dari Suku Jambak. Tanahnya diwakafkan oleh Datuk Bandaro Panjang.[4]
Sekitar tahun 1926, Buya Hamka pernah menuntut ilmu agama di surau ini kepada Syekh Harun Toboh asal Nagari Sunua, muird dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi .[5] Syekh Harun Toboh wafat pada 1959 dan dimakamkan tak jauh dari surau.[6]
Bangunan
Berdenah bujur sangkar, surau ini terbuat dari kayu surian dengan luas 154 meter persegi dan tinggi 13 meter.[7][1] Terdapat 30 tiang kayu penyangga berbentuk segi delapan yang menopang bangunan dan saling terhubung dengan sistem pasak. Lantai satu memiliki denah berukuran 13 x 13 meter. Letaknya ditinggikan sekitar 1,4 meter dari permukaan tanah, membentuk kolong. Kolong bangunan ditutup membentuk lengkungan-lengkungan yang pada bagian atasnya dihiasi ukiran berpola tanaman sulur-suluran.[8]
Mihrab dibuat menjorok keluar berukuran 4 x 2,5 meter dinaungi atap gonjong, bentuk atap yang terdapat pada rumah gadang. Pada setiap sisi ruangan, terdapat jendela, kecuali pada mihrab.[9]
Pintu masuk terletak di timur sejajar dengan mihrab. Di atas pintu (ambang pintu) terdapat tulisan basmalah yang dibuat dengan teknik ukir dan di belakangnya ditutup dengan bilah papan. Pada sebelah kanan pintu, terdapat tangga yang mengubungkan ke lantai dua. Lantai ini berdenah 10 × 7,50 meter. Di tengah-tengah ruangan lantai dua, terdapat tiang dengan tangga melingkar untuk ke lantai tiga, yang memiliki denah lebih sempit berukuran 3,50 × 3,50 meter.[9]
Berada di pinggir jalan raya Batusangkar—Padang, bangunan surau terletak lebih rendah sekitar 1 meter dari jalan raya. Dalam kompleks bangunan, terdapat tiga kolam atau disebut luhak dalam bahasa setempat yang dulunya difungsikan untuk wudu.[9] Selain itu, terdapat bangunan mirip rangkiang yang digunakan untuk menaruh beduk.
Atap
Atap bangunan terbuat dari seng, bersusun tiga. Tingkat pertama dan kedua berbentuk limas dengan permukaan cekung, sedangkan tingkat ketiga berupa atap berdenah silang dengan gonjong di empat sisinya. Terdapat semacam baluster di antara atap lantai satu dan lantai dua.[9]
Pada bagian puncak, terdapat elemen berupa semacam gardu, berdenah segi delapan berdinding kayu dengan jendela-jendela semu yang diberi kaca di setiap sisinya. Struktur ini berfungsi sebagai minaret, yang dapat dinaiki melalui tangga spiral di lantai dua. Atap mineret dibuat bersusun membentuk kerucut dengan bentuk susunan buah labu dihiasi kelopak daun mirip padmanaba pada bangunan Hindu. Eksterior berupa ukiran Minang melekat pada dinding minaret berupa pola tumbuhan pakis yang didominasi warna merah, kuning, dan hijau.[9][1][10][11]
Penggunaan
Di Minangkabau, masjid merupakan salah satu syarat berdirinya permukiman atau nagari. Setiap suku yang menghuni nagari biasanya memiliki surau. Oleh sebab itu, banyak masjid dan surau di Minangkabau yang letaknya berdampingan. Keberadaan surau umumnya dikhususkan sebagai pusat pendidikan non-formal.[2]
Surau Lubuk Bauk berdiri berdampingan dengan Masjidil Ula yang didirikan sekitar tahun 1980. Saat ini, pemakaian surau terbatas untuk tempat belajar mengaji anak-anak atau tempat pertemuan bagi masyarakat setempat. Di ruang mengaji, terdapat sejumlah papan panjang (reha) yang ditata melingkar menghadap ke papan tulis.[1]
^Hadniwati Hasibuan, dkk. 1996. Hasil Pemugaran dan Temuan Benda Cagar Budaya PJP I. Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
^ abcdeYulianto Sumalyo. 2006. Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.