Catatan-catatan orang Belanda pada zaman VOC dan sesudahnya menunjukkan bahwa Sunur memgang peranan penting karena produksi garamnya. Tampaknya nagari ini sudah lama didatangi oleh orang-orang dari darek (Dataran Tinggi Minangkabau) yang datang ke kawasan pantai untuk membeli garam. Ketika Belanda menerapkan kebijakan monopoli perdagangan garam sejak abad ke-18, Sunur ikut terkena dampaknya. Untuk menjaga kestabilan harga, sering kali Kompeni memusnahkan produksi garam di Sunur dan sekitarnya yang dijalankan oleh regent setempat.[2] Selama Perang Padri, Sunur juga menjadi basis pertahanan terdepan dalam melawan Kompeni,[3] misalnya telah dijadikan semacam bumper oleh orang VII Koto untuk menahan serangan Belanda dari laut pada bulan November 1819.[1]
Wilayah
Pada awalnya Sunur dan Kurai Taji adalah satu nagari. Namun karena penduduk Kurai Taji makin banyak, maka Sunur memisahkan diri dari Kurai Taji dan menjadi nagari sendiri. Wilayah Nagari Sunur sekarang meliputi beberapa korong: Kampung Kandang-Koto Gadis, Koto Rajo-Koto Marapak-Kampung Aur, Kampung Tangah, Taluak Nibung, Tingkalak, Kampung Jambak, Pasar Baru, Pintir Kayu, Padang Kalam, Olo, Pakoktan, Kabun, Pautan Kabau, dan Kampung Lintang. Sebelumnya Korong Pasir Sunur yang terletak di tepi Samudera Indonesia juga termasuk ke wilayah nagari ini, tetapi sekarang masuk wilayah Kecamatan Pariaman Selatan.[1]
Kepemimpinan
Oleh karena Sunur adalah kawasan rantau bagian barat Minangkabau, dulu di nagari ini ada Raja Kecil yang bernama Maharajo Nando. Seiring dengan pergantian zaman, raja-raja kecil yang berkuasa di Sunur juga berganti dari satu keluarga ke keluarga lainnya. Eksistensi raja-raja kecil di pantai itu sangat tergantung kepada kepiawaian mereka membina hubungan dagang dengan para pendatang, semula dengan orang Aceh tetapi kemudian dengan orang Eropa, seperti Belanda dan Inggris.[4]
Menurut sebuah laporan dari tahun 1730 Nagari Sunur dipimpin oleh tiga orang: Orang Kaya Besar, Maharaja Nanda, dan Sri Maharaja. Pada 1760 struktur kepemimpinan itu berubah: satu orang hoofdregent yang dibantu oleh lima orang datuk.[5] Sangat mungkin pemimpinnya adalah Maharajo Nando. Hingga lebih dari dua dekade kemudian struktur kekuasaan seperti itu tampaknya tetap dipertahankan di Sunur yang membawahi lima dusun.[6][1]
Pada tahun 1835 Maharajo Nando, beserta 18 orang pemimpin lainnya di kawasan rantau Pariaman menyerahkan negerinya kepada Belanda. Pada tahun 1837 dilaporkan penduduk Sunur berjumlah sekitar 800 jiwa. Mereka dipimpin oleh seorang pemuncak yang dibantu oleh enam orang penghulu.[7] Sekarang, hampir 200 tahun kemudian, penduduk Sunur berjumlah 5000 jiwa lebih, belum termasuk mereka yang berada di rantau.[1]
Demografi
Penduduk Sunur yang tinggal agak jauh dari pantai bekerja sebagai petani. Nagari ini mempunyai areal persawahan cukup luas. Karena kondisi geografisnya itu, penduduk Sunur umumnya bekerja sebagai petani, pedagang beras dan nelayan. Namun, seperti orang Minangkabau pada umumnya, banyak orang Sunur pergi merantau ke berbagai kota di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri seperti Malaysia dan Belanda.[1]
Seperti kata pepatah Minangkabau, setiap nagari berayam gadang, yang dikenal sampai ke luar nagari itu. Silek Sunua adalah salah satu aliran silat Minangkabau yang terkenal di rantau barat Minangkabau. Di samping itu di Sunur dulunya hidup kesenian simarantang, uluambek, dan gandang tasa. Juga pernah ada grup musik gambus yang dipimpin oleh seorang putranya, Buya Awe.[1]
Agama
Orang Sunur adalah penganut Islam pembaruan, dalam arti mereka berseberangan dengan Tarekat Syattariyah yang berkembang di nagari tetangganya, seperti Ulakan dan nagari-nagari yang berkiblat kepadanya. Sebelumnya, Sunur lama berada di bawah otoritas Ulakan, seperti terefleksi dalam ungkapan adat setempat yang sampai kini masih terdengar dalam pasambahan: Salareh Sunur-Kuraitaji, Pauah Kamba jo Bintuang Tinggi, aka bajampu di Ulakan. Aliran pembaruan Islam bermula di Sunur pada awal abad ke-19 yang dibawa oleh Syekh Daud, putra Sunur sendiri.[8][9] Masjid Raya Sunur adalah salah satu masjid yang cukup megah. Namun masjid ini rusak berat akibat gempa pada bulan September 2009. Dalam reruntuhan tembok menaranya ditemukan tatahan batu bertuliskan 1886, tampaknya tarikh selesainya mesjid ini dibuat dulunya.[1]
Tokoh
Putra Sunur yang menonjol antara lain adalah Syekh Daud (1790-an—1855) yang mengarang dua syair yang terkenal pada tahun 1830-an, yaitu Syair Mekah dan Madinah dan Syair Sunur.[8] Sebagaimana dicatat oleh B.J.O. Schrieke (1973), Syair Rukun Haji, begitu terkenal di dunia Melayu pada abad ke-19 dan telah dijadikan landasan tekstual oleh kaum Islam pembaru di Minangkabau untuk menyerang pengikut Tarekat Syattariyah.[10] Belakangan, antara 1860-an 1880-an, syair ini dicetak sampai enam kali di Singapura dan telah dijadikan sebagai buku manasik haji pertama dari dunia Melayu yang menjadi pegangan para calon jemaah haji Nusantara yang akan pergi naik haji ke Mekkah.[1]
Putra Sunur lainnya adalah Pahlawan Nasional dan mantan wali kota Padang yang dibunuh Belanda yakni Bagindo Azizchan, yang sebenarnya juga berasal dari Sunur, sebab ibunya yang benama Djamilah berasal dari Sunur, sedangkan ayahnya, Bagindo Montok, berasal dari Kurai Taji.[11] Satu lagi putra Sunur yang cukup dikenal di Sumatera Barat adalah budayawan senior Bagindo Fahmi, yang sekarang bermukim di Padang. Itulah antara lain orang-orang Sunur yang relatif menonjol dan dikenal di luar nagarinya.[1]