Srengseng Sawah adalah sebuah kelurahan di KecamatanJagakarsa, Jakarta Selatan. Dengan luas keseluruhan sekitar 675 hektare, Srengseng Sawah merupakan kelurahan yang terluas di Kecamatan Jagakarsa; yakni meliputi sekitar 27% area kecamatan tersebut.[1]:6
Informasi umum
Kelurahan Srengseng Sawah di sebelah barat dibatasi oleh Jalan Mohamad Kahfi II; di sebelah timur dibatasi Jalan Raya Lenteng Agung dan aliran Sungai Ciliwung; serta di sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kota Depok, Jawa Barat.[2] Wilayah ini terbagi atas 19 RW (Rukun Warga) dan 156 RT (Rukun Tetangga).[1]:20
Penduduk Srengseng Sawah pada tahun 2016 tercatat sejumlah 73.493 jiwa, terdiri dari 37.185 orang laki-laki dan 36.308 orang perempuan. Rata-rata kepadatan penduduknya adalah sekitar 109 orang perhektare,[1]:29-30 paling rendah di Kecamatan Jagakarsa. Kelurahan ini memiliki lahan pertanian yang paling luas dibandingkan kelurahan yang lain dalam kecamatan, yakni 116 hektare.[1]:88
Dahulu Srengseng Sawah disebut Srengseng saja, tanpa kata sawah. Orang Belanda VOC menyebutnya Sringsing atau Seringsing. Dalam catatan College van Heemraden (lembaga yang mengatur wilayah Ommelanden, yakni wilayah sekitar di luar benteng kota Batavia) tahun 1720, daerah Seringsing ini disebut-sebut sebagai lokasi empat buah penggilingan tebu—untuk memproduksi gula—milik Cornelis Chastelein.[3]:113
Nama srengseng (dari bahasa Sunda, sarèngsèng)[4] diambil dari nama semacam pandan kecil yang daunnya berduri-duri di pinggirnya, Pandanus caricosus Kurz alias Benstonea kurzii Callm. & Buerki.[5]:335 Daunnya bisa dianyam untuk dijadikan tikar atau topi kasar (tudung).[6][7]
Pada tahun 1674 kawasan Srengseng tercatat sebagai milik Karim, anak seorang KapitanJawa bernama Citragladak. Kemudian jatuh ke tangan Cornelis Chastelein, tuan tanah kaya raya yang antara lain memiliki tanah partikelir Depok. Di Srengseng ia mempunyai sebuah rumah peristirahatan.[8]
Pada masa kolonial, pernah terdapat Leprosarium di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Putera (Depe). Akan tetapi, pada awal dekade 1950-an, tempat penampungan penderita kusta tersebut dipindah ke Kampung Sewan, Neglasari, yang pada kemudian hari dikenal sebagai Rumah Sakit Kusta Sitanala. Di atas lahan eks Leprosarium tersebut, saat ini berdiri Klinik Pratama Desa Putera.
Lain-lain
Srengseng mempunyai tempat wisata yang bernama Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Dan akan menyusul Setu Mangga Bolong yang hingga saat ini sedang dalam tahap pengerjaan.
Ada rencana dari dinas terkait untuk membagi dua Kelurahan Srengseng Sawah ini. Yaitu Kelurahan Perkampungan budaya Betawi dan Kelurahan Srengseng Sawah. Hingga saat ini pembagian kelurahan Srengseng Sawah itu sendiri mendapat hambatan karena dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2004 tentang Perluasan Wilayah, sebuah kelurahan baru harus mempunyai jumlah penduduk minimal 30 ribu jiwa. Sementara itu, jumlah warga di Pekampungan Budaya Betawi hanya berjumlah 9.900 jiwa. Aturan jumlah penduduk ini bisa diabaikan jika ada keinginan masyarakat untuk membentuk kelurahan baru.
^Niemejer, H. (2012). Batavia: masyarakat kolonial Abad XVII. Jakarta: Masup Jakarta. xiv+449 hlm. ISBN 978-602-96256-7-7.
^Filet, G.J. (1888). Plantkundig woordenboek voor Nederlandsch Indië: met korte aanwijzingen van het geneeskundig- en huishoudelijk gebruik der planten, en vermelding der verschillende inlandsche wetenschappelijke benamingen.p.264. Amsterdam: J.H. de Bussy.
^Callmander, M.W., P.P. Lowry II, F. Forest, D.S. Devey, H. Beentje & S. Buerki. (2012). "Benstonea Callm. & Buerki (Pandanaceae): characterization, circumscription, and distribution of a new genus of screw-pines, with a synopsis of accepted species". Candollea67(2): 323-345.
^Hasskarl, J.K. (1845). Aanteekeningen over het nut, door de bewoners van Java aan eenige planten van dat eiland toegeschreven. p. 49 (no. 351) Amsterdam:J. Müller, 1845.
^Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna IndonesiaI: 119. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (sebagai Pandanus caricosus Kurz. Versi berbahasa Belanda-1922- I: 63)
^Haan, F. de, (1935). Oud Batavia. (Tweede, herziene druk):340. Bandung:A.C. Nix &co.