Kyai Ronggo Ngabehi Soero Pernollo (1720 – 1776), atau Surapernala, nama lahir Han Tjien Kong, adalah seorang bangsawan Tionghoa-Jawa, pejabat pemerintah dan sekutu Perusahaan Hindia Timur Belanda.[1][2][3][4][5][6][7] Dia mendirikan aliran Muslim sesepuh dari keluarga Han dari Lasem, sebuah aliran yang menjadi bagian dari priyayi, atau aritstokrasi, dan menunjukkan keistimewaannya tersendiri dalam sejarah Jawa Timur.[6]
Han Tjien Kong lahir pada tahun 1720 di Lasem, sebuah kota pelabuhan di Jawa Tengah, sebagai putra dari Han Siong Kong (1672 – 1743), seorang migran Tiongkok dari garis keturunan kuno, dan ibu yang tidak disebutkan namanya dari setidaknya keturunan pribumi sebagian.[2][6] Dia memiliki empat saudara laki-laki, termasuk sang adik Han Bwee Kong, Kapitan Cina (1727 – 1778).[2][6] Han Tjien Kong berpindah ke agama Islam pada waktu yang tidak diketahui, dan kemudian mengambil nama Jawa Soero Pernollo.[1][2][3][6]
Suatu waktu pada pertengahan abad ke-18, Soero Pernollo pindah ke Jawa Timur, yang saat itu masih menjadi daerah perbatasan yang diperebutkan oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda, Kesultanan Mataram, dan wilayah kerajaan Bali dari Mengwi.[3][4][6] Dia masuk dinas Hendrik Breton, seorang pejabat senior Kompeni. Breton memegang jabatan Residen Rembang, dan dipromosikan pada 1763 menjadi Opperhofd van den Osthoek, atau 'Kepala Tinggi Tapal Kuda, Jawa Timur', sebelum akhirnya dia diangkat pada tahun 1768 menjadi Raad van Indië yang berpengaruh.[6] Sepanjang masa ini, Soero Pernollo merupakan tangan kanan Breton, awaknya sebagai gezaghebber, atau pengawas dari tiga kapal dagang, kemudian sebagai syahbandar Surabaya, entrepôt perdagangan terpenting di Jawa Timur.[6]
Selama konsolidasi kekuasaan Belanda di Tapal Kuda, Jawa Timur, Soero Pernollo diangkat sebagai politiehoofd, atau kepala polisi, dari Besuki dan Panarukan pada 1764 dengan gelar kebangsawaan Jawa Ngabehi.[3][4][6][7] Dengan jabatan ini, dia memainkan peran penting sebagai sumber intelijen militer bagi Kompeni selama Perang Belanda-Blambangan dari 1767 hingga 1768.[3] Berkat pengaruhnya, adik laki-lakinya, Kapitan Han Bwee Kong, akhirnya berhasil memperoleh sewa untuk kabupaten Besuki pada 1768, dan Panarukan pada 1777.[6]
Soero Pernollo meninggal dunia pada 1776, namun dua putranya, Adipati Soero Adinegoro dan Raden Soero Adiwikromo, keduanya menonjol sebagai pejabat pemerintah, khususnya selama Jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda (1806 – 1815).[1][3][6] Salah satu putrinya menikahi sesama sekutu dari Perusahaan Hindia Timur Belanda, Pakunataningrat I, Sultan dari Sumenep (memerintah 1812 - 1854).[5][6] Para keturunan mereka terus memainkan peran penting dalam administrasi pemerintahan kolonial di Jawa Timur.[1][5][6]
Referensi
- ^ a b c d Zhuang, Wubin (2011). Chinese Muslims in Indonesia (edisi ke-1st). Singapore: Select Publishing. ISBN 9814022683. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b c d Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 79. ISBN 9799101255. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b c d e f Margana, Sri (2007). Java's last frontier : the struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813. Leiden: TANAP. hlm. 210–236. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b c Rochkyatmo, Amir (2002). Babad Basuki: suntingan teks dan terjemahan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 59, 109. ISBN 9796852896. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b c Salmon, Claudine (1997). "La communauté chinoise de Surabaya. Essai d'histoire, des origines à la crise de 1930". Archipel. 53 (1): 121–206. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b c d e f g h i j k l m Salmon, Claudine (1991). "The Han family of East-Java. Entrepreneurship and politics. 18th - 19th Century". Archipel. 41: 53–87. Diakses tanggal 17 February 2016.
- ^ a b Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, Vol. 13. Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1864. hlm. 263. Diakses tanggal 17 February 2016.