Han Chan Piet Sia lahir pada tahun 1759 di Surabaya, sebagai anak ketiga dari 12 bersaudara yang lahir pada Han Bwee Kong (1727 – 1778). Han Chan Piet merupakan cucu dari migran Tionghoa, Han Siong Kong (1672 – 1743), pendiri keluarga Han dari Lasem.[1][2][6] Ayahnya, Han Bwee Kong, menjabat sebagai Kapitan Cina Surabaya.[9] Han Bwee Kong juga merupakan Pachter dari wilayah Besuki (mulai tahun 1768) dan Panarukan (mulai tahun 1777).[1][2] Sebagai anak dari seorang pejabat Cina, Han Chan Piet pun mendapat gelar turunan 'Sia'.[9]
Han Chan Piet memulai karirnya sebagai birokrat saat ditunjuk sebagai wakil dari ayahnya di Surabaya, dengan gelar Letnan Cina.[1][2][3] Pada tahun 1778, ia menggantikan ayahnya sebagai Kapitan Cina Surabaya serta sebagai Pachter dari wilayah Besuki dan Panarukan.[1][2][3][6] Pada tahun 1796, VOC memberi hak eksklusif atas wilayah Besuki dan Panarukan kepada Han Chan Piet untuk seumur hidup.[1][5]
Pada tahun 1810 juga, Han Chan Piet mengundurkan diri dari jabatan Kapitan Cina Surabaya, agar dapat fokus menjadi tuan tanah dari wilayah Besuki dan Panarukan.[1] Birokrasi Jawa tradisional di dua wilayah tersebut tetap dipertahankan, tetapi harus bertanggung jawab kepadanya.[5] Mulai tahun 1794 hingga 1813, Raden Panderman, anak dari sepupunya, Adipati Soero Adinegoro, memimpin wilayah Besuki, awalnya sebagai Ronggo, dan kemudian sebagai Tumanggung mulai tahun 1804.[1][3][5][10] Pengunjung dari Prancis dan Britania Raya selama jeda kekuasaan pun memuji perkembangan pertanian dan ekonomi di Besuki dan Panarukan pada masa kepemimpinan Han Chan Piet, tetapi mengkritik pembentukan negara dalam negara di dua wilayah tersebut.[1][5][7][8] Pada saat yang sama, Mayor Han Chan Piet juga mengalami kesulitan dalam mengumpulkan cukup uang untuk disetor kepada pemerintah Hindia Belanda.[1][5][7][8]
Pada tahun 1813, adiknya, Han Kik Ko, Mayor Cina, yang telah membeli wilayah Probolinggo dan memimpin wilayah tersebut dengan cara yang despotik, terbunuh akibat pemberontakan yang kemudian disebut sebagai Kepruk Cina.[1][2][5][7] Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Stamford Raffles, yang memang tidak senang dengan penjualan tersebut, kemudian memutuskan untuk membeli kembali wilayah Probolinggo dari keturunan Han Kik Ko.[1][5][7] Karena dililit masalah keuangan, Mayor Han Chan Piet lalu memutuskan untuk menjual kembali wilayah Besuki dan Panarukan.[1][2][3][5][6]
Dampak
Pasca menjual wilayah Besuki dan Panarukan, Mayor Han Chan Piet kembali ke Karesidenan Surabaya, di mana ia memiliki dan menyewakan sejumlah aset, termasuk sekitar 30 pasar dan sebuah kebun di Semimi.[1][2] Ia kemudian juga membeli kebun di Manukan dan Petunjungan di pinggiran Surabaya.[1][2] Setelah ia meninggal pada tahun 1827, anaknya menggantikannya sebagai Kapitan dan Letnan Cina Surabaya, serta mewarisi aset-asetnya.[1][2][3][6]
Hubungan keluarga Han dari Lasem dengan wilayah Besuki dan Panarukan tetap dipertahankan oleh cabang Muslim dari keluarga tersebut, yang diturunkan dari sepupunya, Adipati Soero Adinegoro dan Raden Soero Adiwikromo.[1][3][10] Keturunan mereka tetap menjadi pejabat pemerintah di Tapal Kuda, terutama di Besuki.[1][3][5][10]