Han Kik Ko, Mayor Cina, Bupati Probolinggo (1766 – 1813), atau juga dikenal sebagai Han Tik Ko di literatur Eropa, dulu adalah seorang magnate, pejabat pemerintah, dan tuan tanah berlatar belakang Tionghoa Peranakan di Jawa Timur.[1][2][3][4][5] Saat ini, ia paling diingat sebagai pelopor industri gula di Jawa Timur, serta karena mengakuisisi dan memimpin Probolinggo.[1][3][4]
Latar belakang keluarga
Han Kik Ko Sia lahir di Surabaya pada tahun 1767, sebagai anak kelima dari dua belas bersaudara yang lahir pada Han Bwee Kong (1727–1778). Han Kik Ko merupakan cucu dari Han Siong Kong (1673–1743), pendiri keluarga Han dari Lasem.[1] Ayahnya, Han Bwee Kong, menjabat sebagai Kapitan Cina Surabaya.[2][6] Sebagai anak dari seorang pejabat Cina, Han Kik Ko pun mendapat gelar turunan 'Sia'.[7]
Pada awal abad ke-19, Han Kik Ko telah menjadi tuan tanah yang berpengaruh di Jawa Timur.[1][2] Ia memiliki tanah di pinggiran Surabaya, serta menyewa sebuah wilayah di Kraton, Pasuruan, yang terdiri dari 12 desa dan ditinggali oleh 2.538 orang penduduk.[1][2] Pada saat yang sama, ia juga ditunjuk sebagai Kapitan Cina Pasuruan.[1][2]
Han pun memainkan peran penting sebagai pelopor industri gula di Jawa Timur.[1][2]Pabrik gula tertua di Jawa Timur didirikan pada tahun 1799 di wilayah milik Han di Pasuruan.[1][2]
Daendels kemudian mempromosikan Han ke jabatan Mayor Cina, serta menjadikannya Bupati Probolinggo dengan gelarTumanggung.[1][3][5] Han pun memimpin langsung 150.000 orang penduduk di Probolinggo, sementara Mayor Han Chan Piet memimpin wilayah Besuki dan Panarukan melalui birokrasi Jawa tradisional, termasuk melalui anggota keluarga Han dari Lasem yang beragama Islam.[9]
Mayor Han Kik Ko kemudian menerapkan metode irigasi baru, meningkatkan penanaman padi, dan memperkenalkan penanaman komoditas baru di Probolinggo.[1][2] Han juga mendatangkan Suku Madura untuk meningkatkan jumlah penduduk Probolinggo.[1][2]
Namun, Han kemudian dituduh melakukan despotisme dalam memimpin Probolinggo.[1][2] Separuh dari total tanaman yang ditanam di Probolinggo wajib diserahkan ke Han.[4] Sementara sisanya wajib dijual ke Han dengan harga yang sangat murah.[4] Terdapat juga pajak untuk sejumlah hal lain.[4]
Pada tanggal 18 Mei 1813, terjadi sebuah pemberontakan yang kemudian disebut sebagai Kepruk Cina.[3][4] Pada saat itu, Mayor Han Kik Ko sedang menjamu pejabat Britania Raya yang sedang berkunjung. Para pemberontak lalu menangkap mereka semua.[3][4] Han dan sejumlah tamunya kemudian dibunuh oleh para pemberontak.[3][4]
Dampak
Sir Stamford Raffles, yang menggantikan Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, kemudian membeli kembali wilayah Probolinggo dari keturunan Han Kik Ko.[3][4] Sebagai gantinya, tiga orang anak Han Kik Ko mendapat bagi hasil seumur hidup dari pendapatan dari wilayah tersebut.[1][2]
Hubungan keluarga Han dari Lasem dengan wilayah Pasuruan dan Probolinggo pun tetap terjaga.[1][2] Empat orang anak dari Han Kik Ko tetap aktif di industri gula di Pasuruan, sementara sisanya juga tetap menjadi tokoh berpengaruh di sana.[1]Han Tjan Gwan, anak kedua dari Han Kik Ko, pun kembali ke Probolinggo dan menjabat sebagai Kapitan Cina di sana mulai tahun 1847 hingga 1860.[1]
Keturunan dari paman Han Kik Ko, Ngabehi Soero Pernollo, kemudian juga menjadi pejabat pemerintah di Probolinggo.[1][8] Cucu dari Soero Pernollo, yakni Raden Soetik, menjabat sebagai Bupati Probolinggo mulai tahun 1816 hingga 1818, sementara cicit dari Soero Pernollo, yakni Raden Karaman, menjabat sebagai Bupati Probolinggo pada tahun 1856.[1][8]
^ abcTandjung, Krisnina Maharani (2010). Traces of Sugar : The Legacy of Java's Sugar Industry (edisi ke-1st). Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia. ISBN9789791383080.