Letnan Jenderal (Purn.) Haji Kanjeng Pangeran Harjo Soerjo Wirjohadipoetro (24 Maret 1917 – 31 Agustus 2022)[1][2][3][4] adalah seorang perwira tinggi keuangan di TNI Angkatan Darat dan pebisnis. Semasa hidupnya, ia menjadi direktur utama perusahaan PT Hotel Indonesia Internasional dan Bank Windu Kencana, Mandala Airlines, dan Duta Nusantara. Ia juga dikenal sebagai Ketua Tim Pemeriksa Keuangan Negara (Pekuneg) yang dibentuk oleh Soeharto pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965.[4]
Masa kecil dan pendidikan
Soerjo Wirjohadipoetro lahir pada tanggal 24 Maret 1917[a] di Semampir, Kota, Kediri,[5][6][7] sebagai anak ke-2 dari 6 orang bersaudara. Ayahnya Soerjo merupakan seorang wedana yang sering berpindah-pindah tempat dinas karena penugasan dari pemerintah.[6]
Soerjo mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar di Trenggalek dan lulus pada tahun 1932. Ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Lanjutan Pertama di Kediri dan berhasil menamatkannya pada tahun 1936.[7] Setelah itu, Soerjo pergi ke Batavia dan mengikuti pendidikan kejuruan di Middelbare Handels School (Sekolah Menengah Ekonomi) dan kemudian mengikuti kursus notaris singkat di Semarang setelah menamatkan pendidikannya pada tahun 1939.[5]
Usai berkarier dalam birokrasi, Soerjo bergabung dengan organisasi paramiliter Pembela Tanah Air (PETA). Ia menempuh pendidikan militer di Renseitai, sebuah akademi militer yang didirikan oleh tentara Jepang. Soerjo ditempatkan sebagai Keiri Shodanco (perwira keuangan) di Kediri setelah menamatkan pendidikan militernya. Setelah PETA dibubarkan, Soerjo bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat dan ditempatkan di Markas Besar Badan Keamanan Rakyat Surabaya sebagai Kepala Keuangan. Ia kemudian dipindahkan ke Divisi VI yang terletak di Kediri dan menjabat berturut-turut sebagai sebagai Kepala Intendans dan Pembantu Inspektur. Setelah menjalani tugas di Divisi VI, Soerjo ditempatkan di Markas Besar Komando Djawa di Yogyakarta dan kembali menjabat sebagai Kepala Keuangan.[8]
Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir, Soerjo sempat menjabat sebagai Kepala Keuangan Kementerian Pertahanan sebelum dipindahtugaskan menjadi Kepala Dinas Administrasi Angkatan Darat (DAMAD).[8] Selama menjabat sebagai Kepala DAMAD, Soerjo memprakarsai pembentukan Sekolah Kader Administrasi Militer “A” (SKAM “A”) dan Sekolah Kader Administrasi Militer “B” (SKAM “B”). Sekolah ini didirikan di seluruh wilayah Tentara dan Teritorium (sekarang Kodam). SKAM kemudian berubah menjadi Pusat Pendidikan Administrasi Militer pada tanggal 1 Mei 1954.[9] Setelah mengakhiri masa jabatannya sebagai Kepala DAMAD, ia kembali ke Markas Besar Angkatan Darat sebagai Asisten Keuangan Kepala Staf Angkatan Darat.[7]
Soerjo mengikuti kursus pendidikan keuangan lanjutan[8] di Sekolah Komando dan Staf Umum Amerika Serikat dan lulus pada tahun 1955.[7] Beberapa tahun kemudian, Soerjo kembali menempuh pendidikan militer lanjutan dengan mengikuti Kursus C III Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).[8] Ia kemudian ditugaskan sebagai seorang perwira menengah yang diperbantukan pada Deputi Menteri Keamanan Nasional/Kepala Staf Angkatan Darat Wilayah[8] setelah menyelesaikan kursus di Seskoad pada tahun 1961.[7] Ia memperoleh izin untuk mengenakan Tanda Kemampuan Staf dan Komando sebagai tanda kualifikasi Seskoad pada tanggal 11 Januari 1963.[10]
Menyusul terjadinya konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, Presiden Soekarno membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Soerjo diangkat sebagai Kepala Seksi Anggaran KOTI pada bulan Juli 1963. Setelah Soekarno digulingkan oleh Soeharto, KOTI direorganisasi oleh Soeharto menjadi KOTI Gaya Baru. Soerjo kemudian ditunjuk oleh Soeharto pada tanggal 22 November 1965 sebagai Ketua Gabungan 6 (G-6) dengan lingkup bidang Keuangan di KOTI Gaya Baru.[7]
Ia lebih dikenal pasca Peristiwa Gerakan 30 September 1965 sebagai Ketua Tim Pemeriksa Keuangan Negara (Pekuneg).[4]
Setelah menjalani berbagai penugasan di Angkatan Darat, Soerjo memasuki masa pra-pensiun pada bulan Mei 1974. Ia secara resmi pensiun dari militer pada akhir tahun 1974.[11]
Pemerintahan Presiden Soeharto
Hubungan dengan Soeharto dan pebisnis
Hubungan antara Soeharto dan Soerjo terbentuk pada awal tahun 1960an, ketika Soerjo bertugas di KOTI yang dipimpin oleh Soeharto. Selama masa ini, Soerjo mulai mengenal sejumlah pebisnis Tionghoa, seperti Sudono Salim dan Ong Sen Keng. Sudono sering sekali meminta bantuan Soerjo untuk membantunya jika ia kekurangan uang, sedangkan Soerjo membantu memperkenalkan Ong Sen Keng kepada Soeharto pada masa-masa awalnya menjadi presiden tahun 1966. Ketika pembukaan perdana dari Ramayana Bank yang dimiliki oleh Ong pada tahun 1970, Soerjo menghadiri acara tersebut dan membacakan pidato atas nama Soeharto. Meskipun demikian, antara tahun 1970 dan 1971, Ong dan Soerjo diduga terlibat dalam pengiriman pupuk fiktif dari Taiwan. Hubungannya dengan para pebisnis Tionghoa membuatnya dijuluki oleh akademisi Richard Borsuk dan Nancy Ching sebagai "Teman Semua Cukong".[12]
Selain dengan pebisnis Tionghoa, Soerjo juga menjalin hubungan dengan pejabat-pejabat militer nasional, seperti Letjen Ibnu Sutowo (Dirut Pertamina) dan Mayjen Achmad Tirtosudiro (Kepala Bulog). Salah satu hotel yang dibangun, yakni Hotel Hilton, dimiliki oleh keluarga Ibnu Sutowo. Hotel lainnya, yakni Hotel Mandarin, memiliki nama Sudono Salim sebagai salah satu pemilik saham mayoritas.[12] Sebaliknya, Soerjo juga duduk sebagai komisaris Bank Windu Kencana, bank milik Sudono Salim, ketika bank tersebut mengalami restukturisasi besar-besaran.[13]
Soerjo kemudian memperoleh kedudukan strategis setelah Soeharto menjabat sebagai Presiden Indonesia. Pada bulan April 1967,[14] Soerjo ditunjuk oleh Soeharto untuk mengepalai Tim Pemeriksaan Keuangan Negara (Pekuneg),[7] sebuah tim yang bertugas untuk mengawasi pembagian kembali aset-aset perusahaan yang disita oleh negara[12] dan memberantas praktik korupsi di lingkungan pemerintahan.[14] Sebagai Ketua Tim Pekuneg, Soerjo kemudian diminta oleh Soeharto untuk mengambilalih Hotel Indonesia dan kemudian ditunjuk sebagai Direktur Utama PT. Hotel Indonesia Internasional pada tanggal 2 Februari 1971 dengan masa jabatan enam bulan. Akan tetapi, Ia tidak dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan Hotel Indonesia dalam satu masa jabatan sehingga masa jabatannya diperpanjang sebanyak empat kali. Setelah itu, Menteri Keuangan mengambilalih pengelolaan Hotel Indonesia dan Soerjo beserta seluruh dewan direksi diberhentikan dari posisinya.[15]
Pada bulan Agustus 1966, Presiden Soeharto membentuk Staf Pribadi (Spri) yang beranggotakan orang-orang yang paling ia dipercaya.[16] Nama Soerjo masuk ke dalam Spri sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan.[17][18][19]
Pada awal bulan Januari 1970, Mochtar Lubis dalam tulisannya di koran Indonesia Raya menyatakan bahwa Soerjo terlibat dalam penggelapan uang negara sebesar $711.000 dan mengakibatkan protes mahasiswa besar-besaran.[23] Pemerintah kemudian menyatakan pada bulan Februari bahwa uang yang digelapkan sudah disetor oleh Soerjo ke dalam kas negara.[24]
Beberapa bulan kemudian, pada bulan Juli 1970, Komisi Empat, sebuah lembaga antirasuah yang didirikan oleh Soeharto, mengeluarkan laporan penyelidikannya. Salah satu klausul dari laporan penyelidikan tersebut meminta Presiden untuk menindak Soerjo. Laporan Komisi Empat tersebut dibeberkan kepada pers dan diterbitkan oleh Koran Sinar Harapan.[25] Pada saat yang bersamaan, Mochtar kembali menulis di koran Indonesia Raya mengenai tindakan Soerjo yang mengantongi uang negara di rekeningnya sendiri dan mengenai hubungan Soerjo dengan seorang pria bernama David.[26]
Laporan Komisi Empat dan skandal Soerjo tersebut dianggap memalukan oleh Soeharto, namun ia menolak untuk mengambil tindakan tegas terhadap Soerjo.[25] Akibat tulisan-tulisannya tersebut, pada bulan Agustus 1970 Presiden Soeharto mengancam akan "menindak tegas" koran Indonesia Raya apabila terus menerus "membuat onar".[23]
Kendati pemberitaan mengenai dugaan keterlibatan Mochtar dalam korupsi dan hubungannya dengan David meredup, media luar negeri menangkap dan meneruskannya. Belakangan diketahui bahwa nama lengkap pria tersebut adalah Arnold David. Soeharto kemudian membantah tuduhan yang dilancarkan terhadap Soerjo, namun menyatakan bahwa ia akan menyelidiki kasus ini.[27]
Kehidupan pribadi
Soerjo merupakan penganut agama Islam, telah menikah, dan memiliki 6 anak.[5] Salah satu anaknya, Bambang Soerjantono "Tonny" Soerjo, merupakan pemilik Summa Surya Group[28] dan ditunjuk sebagai duta besar tidak resmi untuk menarik investasi asing oleh Presiden Abdurrahman Wahid.[29] Ia juga dikenal sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Islam Panglima Besar Jendral Soedirman.[30]
Soerjo memiliki hobi berolahraga dan berkebun.[5] Pada tahun 2017, Ia dianugerahi oleh MURI sebagai Purnawirawan TNI/Tokoh Angkatan 45 yang berhasil mencapai usia 100 tahun atau lebih.[31][32][33]
^Meskipun sumber-sumber kontemporer menulis tahun kelahirannya sebagai 1917, sumber-sumber lawas seperti buku Who's who in Indonesia: Biographies of Prominent Indonesian Personalities in All Fields (1971) oleh Rudolf Oebsger-Röder, Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1981) oleh Tempo, dan buku Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) (1988) oleh Harsya Wardhana Bachtiar menuliskan tahun kelahirannya sebagai 1919.
^Chaniago, J.R.; Basoan, Awad; Gazali, Zulfikar; Irsyam, Mahrus; Gonggong, Anhar (1987). Lembaga Tinggi Negara(PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 60.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)