Soekadio
Kolonel Inf. (Purn.) Drs. Soekadijo Tjitro Handojo; EYD: Sukadio Citro Handoyo atau Soekadio (20 Juni 1925 – 13 Oktober 1982)[1] adalah Penjabat Gubernur Kalimantan Timur periode 1966 hingga 1967. Dia juga merupakan mantan anggota DPR RI Fraksi Golongan Karya selama 3 periode, yakni mulai tahun 1977 hingga 1982.[2] Sebelum menjadi pejabat gubernur, Soekadio bertugas di Kodam VII/Brawijaya, sebelum pindah ke Kodam IX/Mulawarman dan dipercaya menjadi pejabat sementara Pangdam IX/Mulawarman pada tahun 1965, menggantikan Brigjen Soemitro yang dipindahtugaskan ke Jakarta. Karir militer dan politikSoekadio awalnya seorang perwira di Kodam VII/Brawijaya, sebelum dipindahtugaskan ke Kodam IX/Mulawarman. Dia kemudian menjadi pejabat sementara Pangdam IX/Mulawarman pada tahun 1965, menggantikan Brigjen Soemitro yang diangkat menjadi Asisten Operasi pada Mabad (Markas Besar Angkatan Darat) di Jakarta. Sebagai perwira dari Kodam Brawijaya, dia dapat dengan mudah menjaga kesetiaan para perwira Kodam Mulawarman pasca peristiwa Gerakan 30 September, yang sebagian besar perwiranya memang berasal dari Kodam tersebut. Soekadio kemudian secara resmi digantikan oleh Brigjen Mung Parhadimulyo yang ditunjuk untuk menjadi Pangdam yang baru.[3] Soekadio kemudian ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Kalimantan Timur pada tanggal 22 September 1966, menggantikan Gubernur Abdoel Moeis Hassan oleh Menteri Dalam Negeri Basuki Rahmat.[4] Meski demikian, pada kenyataannya, Soekadio sudah memegang kendali politik sejak September 1965 sebagai Kepala Staf Kodam IX/Mulawarman (Kasdam Mulawarman).[5] Dia memberi keleluasaan kepada mahasiswa dan pelajar dari KAMI dan KAPPI untuk mengadakan demonstrasi dan aksi massa. Selain karena sikap Mung yang bersimpati dengan para mahasiswa, dia juga melakukan hal ini untuk menyaingi Gubernur Abdoel Moeis Hassan dan PNI yang terpusat di Samarinda, serta berambisi untuk memperoleh kursi gubernur.[6] Sekalipun memperoleh dukungan dari Pangdam IX/Mulawarman, Brigjen Mung Parhadimulyo, dan seluruh jajaran Kodam tersebut, kedudukan politik Soekadio lemah karena sebelumnya menjadi Kasdam pada masa Kolonel Soehario Padmodiwirio yang tidak populer di kalangan etnis Banjar. Karenanya, ia dengan cepat ditentang oleh masyarakat Banjar, baik di Samarinda maupun di Jawa. Mereka yang berada di Jawa bergerak melalui organisasi KPMKT (Keluarga Mahasiswa Pelajar Kalimantan Timur). PNI menjadi satu-satunya organisasi yang didominasi etnis Banjar yang tidak menentangnya.[4] Sebagai tandingannya, mereka mengajukan Kolonel Abdoel Wahab Sjahranie, seorang perwira beretnis Banjar yang saat itu bertugas di Kasad di Jakarta. Mereka tidak menginginkan seorang gubernur beretnis Jawa, yang dirasa akan merugikan mereka seperti yang dilakukan oleh Soehario saat menjabat sebagai Pangdam. Adapun bagi pemerintah, Sjahranie merupakan kandidat yang lebih menarik karena koneksinya yang lebih kuat dengan pemerintah pusat sekaligus statusnya sebagai "putra daerah", sekalipun dia berasal dari Kalimantan Selatan.[4] Akibatnya, Soekadio gagal meraih kursi gubernur. Selaku penjabat gubernur, dia diharuskan untuk menyelesaikan pemilihan calon kepala daerah Kalimantan Timur yang baru dalam kurun waktu tiga bulan.[7] Dengan terpilihnya Kolonel Abdoel Wahab Sjahranie sebagai Gubernur Kalimantan Timur yang baru, maka sejak 21 Juni 1967, Soekadio berhenti menjadi Penjabat Gubernur Kaltim.[8] KeluargaDia menikah dengan Sri Haryani dan hanya mempunyai seorang anak bernama Bambang Suhartono. Dia memiliki tiga orang cucu. KematianSoekadio meninggal di usia 57 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pukul 06.00 WIB, 13 Oktober 1982 setelah menjalani perawatan intensif selama seminggu. Dia wafat dikarenakan menderita penyakit diabetes. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Nasional Kalibata, Jakarta Selatan, Jakarta. Referensi
Daftar Pustaka
|