Sitok Srengenge (lahir 22 Agustus 1965) yang punya nama asli Sunarto, adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia yang juga mendalami seni teater dan telah menghasilkan banyak karya tulis. Ia dikenal sebagai seorang penyair serta penulis novel dan esai.[1] Karya-karyanya banyak dimuat di media massa Indonesia maupun luar negeri seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Australia. Menurut Janet de Neefe,[2] meskipun puisi-puisinya banyak berisi mengenai kondisi umat manusia, fokus utamanya adalah tema cinta. Beberapa karya puisi Sitok juga diaransemen oleh Ubiet menjadi musik puisi yang dinyanyikan oleh Hedi Yunus.
Setelah setahun ikut W.S. Rendra, Sitok mendapat beasiswa dari Bengkel Teater Rendra. Ia mendapatkan beasiswa sampai kuliah selesai di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Negeri Jakarta. Pada sore harinya, Sitok ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.[1] Sitok Srengenge juga terdaftar sebagai alumni International Writing Program University of Iowa, Amerika Serikat dan Intenational Writing Program Hong Kong Baptist University.[1]
Aktivitas
Sitok Srengenge telah mengikuti berbagai festival sastra internasional.[1] Ia memperoleh dukungan dari Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat untuk partisipasinya di IWP.[3] Semenjak tahun 1997, Sitok telah berpartisipasi dalam berbagai even di Eropa, diantaranya Rotterdam International Poetry Reading dan Winternachten Festival di Belanda, the Poetry Society di Inggris, dan Melbourne's Next Wave Festival di Australia.[4]
Karya-karya Sitok telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.[1] Karyanya yang berjudul Secrets Need Words diterbitkan pada tahun 2001 (editor Harry Aveling) oleh the Ohio University Press. Selain itu, juga ada beberapa karya dalam bahasa Inggris lain seperti the Nonsens Poetry anthology dan berbagai puisi serta antologi fiksi pendek lainnya di Indonesia.[3] Namun, karena kesulitan dalam penerjemahan, beberapa karyanya yang ditranslasikan mengalami penurunan kualitas sastra. Misalnya pada “Kidung Kabung Sekubang Kedung” yang dialihbahasakan menjadi “Requiem for a Lake”, penerjemahnya yang bernama Amal mengaku gagal dalam mempertahankan rima serta rasa yang ditimbulkan dari karya yang asli. Selain itu, bahasa Inggris memiliki tenses yang membedakan waktu kejadian suatu peristiwa (masa lampau, sekarang, atau masa depan) yang menambah kerumitan dalam penerjemahan.[2]
Selain aktif bermain teater, Sitok juga pernah menjadi pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ).[1] Ia menjadi guru literatur pada Eksotika Karmawiggangga dan editor Jurnal Kultur Kalam.[3] Sitok juga merupakan pendiri serta pengelola Penerbitan Katakita.[5] Beberapa komunitas yang ikut didirikan atau diikuti oleh Sitok Srengenge:[1] antara lain: Gorong-gorong Budaya, Teater Matahari, Komunitas Utan Kayu sebagai kurator teater,[3] dan Komunitas Salihara sebagai kurator bidang teater, tetapi pada tanggal 3 Desember 2013 Sitok Srengenge mengundurkan diri dari Salihara.[5]
Kasus
Pada bulan November 2013, Sitok dilaporkan ke polisi karena tuduhan eksploitasi seksual atau pemerkosaan terhadap seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sehingga mengakibatkan kehamilan.[6][7] Namun, keluarga Sitok sendiri menyangkal tuduhan perkosaan, melainkan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka.[8]
Pada 6 Oktober 2014, Sitok resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. Hal tersebut didasarkan pada pemeriksaan 11 saksi, termasuk saksi ahli. Polisi memerlukan keterangan dari beberapa saksi ahli untuk menguji pasal yang dikenakan. Saksi ahli yang diperiksa terdiri atas kriminolog, ahli hukum pidana, psikolog, psikiater, dan juga ahli antropologi.[9][10]
Karya
Antologi puisi
Persetubuhan Liar (kemudian diterbitkan ulang dengan judul: Kelenjar Bekisar Jantan)
Anak Jadah
Nonsens
Ambrosia
On Nothing (kompilasi dari empat buku puisi Ambrosia, Nonsens (Nonsense), Anak Jadah (Bastard), dan Persetubuhan Liar (Wild Coupling))[2][11]
Trilogi Tripitakata (himpunan tiga buku puisi dari tahun-tahun awal kepenyairan Sitok Srengenge: (1) Kelenjar Bekisar Jantan dan Stanza Hijau Muda, yang adalah metamorfosis dari Persetubuhan Liar menjadi Kelenjar Bekisar Jantan, ditambah sejumlah puisi sezaman; (2) Anak Badai dan Amsal Puisi Banal, jelmaan Anak Jadah setelah ditambah puisi-puisi sezaman; (3) Gembala Waktu dan Madah Pereda Rindu, memuat puisi-puisi yang ditulis Sitok pada masa SMA dan kuliah.) [12]
Novel
Menggarami Burung Terbang
Trilogi Kutil (terbit bersambung di harian Suara Merdeka)
Esai
Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil
Teater
Sebagai aktor Sitok berperan dalam beberapa repertoar yang disutradarai Rendra, antara lain: Panembahan Reso, Hamlet, Buku Harian Seorang Penipu, Selamatan Anak Cucu Sulaiman. Sitok juga bermain pertunjukan karya sutrada lain, seperti Jam Berapa Sekarang? (Ikranagara), Pesta Terakhir (Ratna Sarumpaet), Karna (Goenawan Mohammad), bermonolog keliling bersama grup ansambel dari Belanda membawakan naskah Baron von Munchhausen, serta berperan sebagai Rahwana dalam konser Mahacinta Rahwana (Sujiwo Tejo di Jakarta) dan Surabaya (2013).
Sebagai sutradara, Sitok pernah menggarap beberapa lakon, di antaranya: Perampok (Friedrich Schiller), Allah Jang Palsoe (Kwee Tek Hoay), Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), dan Surti dan Tiga Sawunggaling (Goenawan Mohamad).
Sebagai penulis naskah, Sitok menghasilkan karya Blewah atau Kabur Kanginan, Perempuan di Titik Nol (saduran atas novel Nawal el Saadawi), Sembilan Puluh Menit yang Hilang Darimu (dipentaskan oleh Teater Satu, Lampung).
Komposisi musik dan lagu
Puisi-puisi Sitok Srengenge yang digubah menjadi komposisi musik dan lagu dalam berbagai genre, di antaranya adalah:[1]
Sun (album komposisi musik kontemporer Piet Han, Belanda)
Singing Srengege (album jazz Jan Cornall, Australia)[13]
Gedicht Gezogen (album jazz Denise Jannah, Belanda-Suriname)
Keroncong Tenggara dan Komposisi Delapan Cinta (artsong Dian HP dan Ubiet)