Simpang Susun Semanggi atau dahulu lebih dikenal dengan nama Jembatan Semanggi adalah simpang susun yang berbentuk daun semanggi yang berada di persimpangan antara Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Indonesia. Jembatan ini dinamakan "Semanggi" karena bentuknya yang menyerupai daun semanggi dan juga wilayah pembangunannya dahulu merupakan daerah rawa yang dipenuhi semanggi. Proyek ini mulai dibangun pada tahun 1961, pada masa pemerintahan PresidenSoekarno dan Menteri Pekerjaan Umum pada saat itu, yakni Ir. Sutami.[1]
Pada tahun 2016, dua jembatan layang persimpangan tambahan yang merupakan hasil rancangan Jodi Firmansyah dibangun. Dua jembatan layang tambahan tersebut memiliki panjang 796 meter yang menghubungkan arus lalu lintas dari arah Grogol menuju ke Senayan dan dari arah Cawang menuju ke Jalan Jenderal Sudirman, sehingga jika dilihat dari atas, maka akan membentuk lingkaran. Pembangunan dua jembatan layang baru tersebut diresmikan oleh PresidenJoko Widodo pada tanggal 17 Agustus2017, bertepatan pada HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI.[2]
Sejarah
1961-1962
Kawasan Simpang Susun Semanggi sebelumnya merupakan daerah rawa-rawa yang dipenuhi oleh pohon semanggi. Sejak awal 1960-an, sejalan dengan persiapan penyelenggaraan Pesta Olahraga Asia 1962 dan visi Soekarno untuk menjadikan Jakarta sebagai "mercusuar" dari bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang baru dan kuat,[3][4][5] maka dibangunlah Jalan Jenderal Sudirman yang menghubungkan kawasan Medan Merdeka dengan kawasan Kebayoran Baru sebagai kota mandiri modern pertama di Indonesia.[butuh rujukan]Selain Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto juga dibangun untuk menghubungkan kawasan Cawang di sebelah timur dengan Grogol di sebelah Barat.
Agar arus lalu lintas di persimpangan Jalan Sudirman dan Gatot Subroto dapat ditampung dengan baik, maka dibangunlah sebuah simpang susun yang berbentuk daun semanggi, sesuai dengan kondisi kawasan persimpangan yang sebelumnya merupakan rawa-rawa yang ditumbuhi pohon semanggi. Proposal pembangunan simpang susun tersebut dipresentasikan oleh Wakil Menteri Tata Kota dan Konstruksi Indonesia, David Gee Cheng, dan Menteri Pekerjaan Umum Sutami kepada Presiden Soekarno untuk penilaian konstruksi. Setelah itu, Cheng dan Sutami berdebat satu sama lain tentang usulan mereka, dengan Soekarno mengamati mereka. Soekarno kemudian memilih usulan Sutami sebagai cetak biru pertukaran itu.[6] Pembangunan simpang susun tersebut selesai dan diresmikan pada tahun 1962, dan dikenal oleh hampir seluruh masyarakat Jakarta sebagai "Jembatan Semanggi". Biaya pembangunan Jembatan Semanggi pada saat itu mencapai Rp16,9 Miliar, yang berasal dari pinjaman dari Jepang. Pekerjaan konstruksi melibatkan 120 orang dan menyertakan 4 tenaga konsultan dari Jepang serta seorang insinyur dari Inggris. Pada saat itu Jembatan Semanggi mampu menampung volume kendaraan hingga 20 ribu mobil penumpang per harinya.[7]
1987-1989
Pada tahun 1987, Jembatan Semanggi mengalami modifikasi untuk menampung arus lalu lintas yang semakin padat. Dilakukan pembangunan dua struktur jembatan baru yang digunakan untuk arus lalu lintas Jalan Gatot Subroto, menggantikan struktur jembatan eksisting yang dialih fungsi menjadi jalan utama (Main Road)Jalan Tol Lingkar Dalam Jakarta ruas Cawang-Grogol, sehingga empat jalan lingkaran yang membentuk daun semanggi harus dibongkar dan diperkecil. Jembatan Semanggi yang telah dimodifikasi ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 10 November 1989.[7]
2016-2017
Pada tahun 2016, Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama mencanangkan proyek "Revitalisasi Jembatan Semanggi". Proyek tersebut merupakan modifikasi kedua dari Jembatan Semanggi setelah modifikasi pertama pada tahun 1987. Modifikasi tersebut adalah pembangunan dua jembatan layang atau ramp baru yang membentuk lingkaran. Dua ramp tersebut adalah dari arah Cawang menuju ke arah Bundaran HI/Monas dan dari arah Grogol menuju Senayan/Kebayoran Baru.[8][9] Pembangunan dua jembatan layang baru tersebut dimulai pada Agustus 2016,[butuh rujukan]dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp360 miliar, dibiayai dari dana kompensasi atas kelebihan koefisien luas bangunan (KLB) dari PT Mitra Panca Persada, salah satu anak perusahaan asal Jepang, Mori Building Company.[10][11][12] Pembangunan dua ramp baru tersebut mulai diujicoba pada 28 Juli 2017[13] dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Agustus 2017, bertepatan pada HUT ke-72 Proklamasi Kemerdekaan RI.[2] Sejak itulah, istilah Simpang Susun Semanggi mulai digunakan.
2019-sekarang
Sejak tahun 2019, pengembangan Simpang Susun Semanggi difokuskan untuk memfasilitasi pejalan kaki dan pesepeda. Seiring dengan proyek revitalisasi trotoar di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman, dibangun sebuah spot budaya di kolong Simpang Susun Semanggi, tepatnya di area jalan kecil yang diperuntukan untuk Sepeda Motor.[14]
Agar Jakarta menjadi lebih ramah bagi pesepada, pada Agustus 2022, dibangun jalur sepeda baru di Simpang Susun Semanggi yang dibuat terpisah dengan jalan kendaraan bermotor. Jalur sepeda baru tersebut dibangun membelah taman Semanggi sehingga terowongan khusus sepeda dibangun di bawah empat ramp eksisting yang berbentuk daun semanggi.[15][16][17][18] Pekerjaan tersebut tidak hanya dibuat untuk pesepeda saja, sejumlah fasilitas juga ditambahkan di Taman Semanggi, seperti toilet, spot budaya, bicycle lounge, dan jalan khusus pejalan kaki (pedestrian path),[19] sehingga Taman Semanggi menjadi sebuah taman terbuka bagi masyarakat, terutama pejalan kaki dan pesepeda. Penambahan fasilitas tersebut diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pada 12 Oktober 2022.[20][21]
Filosofi
Bentuk daun semanggi dipilih oleh Soekarno karena dianggap sebagai simbol persatuan bangsa. Empat bagian daun menyerupai suku-suku yang ada di Indonesia, kemudian disatukan menjadi satu kesatuan daun yang utuh. Daun semanggi juga diibaratkan “suh” atau pengikat sapu lidi. Batang lidi yang disatukan oleh “suh” akan menjadi kokoh.[1]
Alur
Sebelum 2017
Simpang Susun Semanggi terdiri dari sepuluh ramp, terdiri dari delapan ramp eksisting dan dua ramp tambahan. Delapan ramp eksisiting tersebut terdiri dari empat ramp lurus dan empat ramp melengkung yang membentuk daun semanggi. Empat garis tersebut menghubungkan:
Dari arah Senayan/Kebayoran Baru menuju Grogol
Dari arah Grogol menuju Bundaran HI/Monas
Dari arah Bundaran HI/Monas menuju Cawang
Dari arah Cawang menuju Senayan/Kebayoran Baru
Selain garis lurus, terdapat empat ramp lainnya yang membentuk daun semanggi, yakni:
Dari arah Cawang menuju ke Bundaran HI/Monas
Dari arah Bundaran HI/Monas menuju Grogol
Dari arah Senayan/Kebayoran Baru menuju Cawang
Dari arah Grogol menuju Senayan/Kebayoran Baru
Setelah 2017
Sementara dua ramp tambahan menghubungkan dari arah Cawang menuju Bundaran HI/Monas dan dari arah Tomang Grogol menuju Senayan/Kebayoran Baru, sehingga empat ramp eksisting yang membentuk daun Semanggi hanya dapat digunakan untuk kendaraan berputar dari arah Slipi/Grogol kembali ke arah Slipi/Grogol dan dari arah Cawang kembali ke Cawang serta gerakan belok kanan dari Senayan/Kebayoran Baru menuju Cawang dan dari Bundaran HI/Monas menuju Slipi-Tomang.[8][10]
Tragedi Semanggi adalah aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat terhadap pelaksanaan Sidang Istimewa MPR RI yang dilakukan di kawasan Simpang Susun Semanggi. Peristiwa tersebut berakhir ricuh dan memakan korban jiwa. Peristiwa tersebut terjadi dua kali, yakni Tragedi Semanggi 1 yang terjadi pada 11-13 November 1998 dan Tragedi Semanggi 2 24 September 1999.
Tragedi Semanggi 1
Pada 11-13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat RI mengadakan sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Tragedi Semanggi 1 telah menewaskan sekitar 17 warga spil.
Tragedi Semanggi 2
Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa. Pada saat itu ada pihak yang mendesak pemerintahan B. J. Habibie untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya. Selain itu, Tragedi Semanggi 2 juga menyebabkan 11 orang lainnya tewas dan 217 orang mengalami luka-luka.