Sejarah astrologi mengkaji perkembangan astrologi dari masa ke masa dalam berbagai kebudayaan di berbagai belahan dunia. Astrologi merupakan suatu jenis kegiatan ramal-meramal terhadap bumi dan manusia berdasarkan berbagai pengamatan serta intrepertasi dari benda-benda langit seperti bintang dan konstelasinya, Matahari, Bulan, dan planet-planet.[1] Penggiat astrologi mempercayai bahwa dengan memahami pengaruh planet-planet dan berbagai bintang terhadap peristiwa yang terjadi di Bumi mereka dapat memperkirakan dan mempengaruhi takdir atau jalan hidup dari suatu individu, kelompok, bahkan negara. Meskipun dalam kajian sejarah astrologi dulunya sempat dianggap sebagai bagian dari sains, saat ini praktik-praktik astrologi dinilai sama sekali bertentangan terhadap kaidah-kaidah ilmiah keilmuan modern.[1][2]
Praktik-praktik astrologi dapat terlacak di berbagai kelompok masyarakat atau kebudayaan dalam berbagai periode waktu. Astrologi memiliki asal-usul sejak zaman prasejarah dan terus berkembang hingga ke zaman modern, yang mana bisa dimengerti melalui kajian etnoastronomi–astronomi yang dipraktikan dalam masyarakat.[1] Dalam kebudayaan Barat, yang mana astrologi disini berasal dari peradaban Mesopotamia dan kemudian berkembang pada peradaban Yunani Kuno, telah mengalami berbagai pengkajian oleh peneliti-peneliti terkait. Namun, terdapat pula tradisi astrologi yang berkembang pada kebudayaan masyarakat India yang tetap bertahan selama 2.000 tahun. Selain itu, sistem astrologi yang cukup kompleks juga dikembangkan oleh kebudayaan Tiongkok dan Mesoamerika, ketika saat itu seluruh masyarakat tengah mencari keterkaitan aspek sosial-religius terhadap makna dari benda-benda langit dan pergerakannya[1][2]
Kemunculan awal
Astrologi dalam pengertian yang luas merupakan pencarian makna langit yang dilakukan oleh manusia— pencarian ini bertujuan untuk memahami keterkaitan benda-benda dan fenomena di langit terhadap sifat manusia baik secara umum maupun mendetail.[3] Terdapat gagasan yang menyatakan bahwa astrologi mulai dipelajari di saat kehidupan manusia telah menyadari kemudian menghitung dan mencatat bahwasannya peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi seperti contohnya perubahan musim dapat di prediksi dengan menggunakan siklus astronomis tertentu.[1][2]
Bukti tertua praktik-praktik ini berupa berbagai jejak atau guratan yang tertera di tulang-tulang dan dinding-dinding gua, yang mana menunjukan bahwa perubahan fase bulan telah dikenal oleh manusia setidaknya pada 25.000 tahun yang lalu.[4] Ini merupakan langkah awal sebelum manusia dapt menghubungkan bulan dengan fenomena pasang-surut air laut atau menggunakannya sebagai patokan kalender dalam kebudayaan mereka. Dengan berkembangya teknologi pertanian pada zaman Neolitikum, masyarakat pada masa ini juga telah menyadari pentingnya pengetahuan terhadap konstelasi-konstelasi bintang tertentu untuk memprediksi perubahan musim atau banjir yang dapat mempengaruhi produktivitas pertanian mereka.[1][2] Kemudian di akhir abad ke-30 SM, peradaban-peradaban manusia telah mengembangkan pemahaman yang cukup kompleks terkait benda-benda dan fenomena di langit, dan mereka juga telah melibatkan ini dalam kepercayaan mereka— dapat terlihat dari kuil-kuil atau pemakaman peninggalan mereka yang memiliki orientasi tertentu terhadap pergerakan matahari atau bintang-bintang tertentu.[1][2][5]
Terdapat berbagai bukti yang menunjukan bahwa referensi astrologi tertua dalam bentuk tertulis berasal dari periode ini, terutama yang berasal di Mesopotamia.[5] Dari kuineform peninggalan Bangsa Mesopotamia yang diperkirakan dibuat pada pemerintahan raja Sargon (2334-2279 SM) ditemukan catatan mendetail mengenai hasil observasi Venus di periode tersebut, dan juga terdapat kalimat-kalimat yang menghubungkan hasil ini sebagai suatu pertanda untuk kekuasaan Sargon. Selain itu terdapat juga catatan berupa pertanda astrologi yang dikaitkan dengan pemilihan raja, contohnya adalah saat raja Gudea dari Lagash naik tahta sebagai pemimpin Bangsa Sumeria (2144-2124 SM).[2][5] Catatan ini menggambarkan bagaimana dewa-dewa memberi petunjuk kepada Gudea dalam mimpinya, suatu konstelasi bintang yang paling baik untuk menjadi arah orientasi dari kuil-kuil peribadatan. Bukti-bukti di periode selanjutnya (1950-1651 SM) menunjukan bahwa penggunaan astrologi paling awal sebagai suatu sistem pengetahuan terintegrasi dan telah memiliki kajian yang sistematik diatributkan pada dinasti-dinasti di peradaban Mesopotamia kuno.[1][2]
Astrologi di peradaban lampau
Mesopotamia
Daerah Mesopotamia sering kali disebut sebagai tempat lahirnya peradaban manusia, dikarenakan banyak dari gagasan dan teknologi dari peradaban kuno di daerah ini yang kemudian diadopsi ke dalam peradaban modern.[6] Pada tulisan-tulisan di kuneiform (sejenis prasasti) yang ditemukan, diketahui bahwa sejak akhir abad ke-30 SM, peradaban di Mesopotamia telah mengidentifikasi dan membuat daftar yang berisi nama "bintang" dan konstelasinya di langit.[7] Bintang dalam pengertian kebudayaan Mesopotamia adalah segala objek tampak yang ada di langit termasuk planet, komet, meteor, ataupun bintang dan konstelasinya. Dari berbagai kajian arkeoastronomi, benda-benda langit diketahui mempunyai peran yang sangat penting dalam tradisi Mesopotamia terutama untuk yang berkaitan dengan kepercayaan dan ritual peribadataan masyarakat.[8] Salah satu tradisi peninggalan peradaban Mesopotamia yang paling terkenal adalah tradisi ramal-meramal atau pembacaan pertanda dengan merujuk fenomena-fenomena yang terjadi di langit. Tradisi ini juga diperkirakan telah muncul bersamaan dengan saat catatan-catatan mengenai pengamatan bintang dibuat, yakni di awal abad ke-30 SM dan kemudian menjadi cikal-bakal astrologi oleh masyarakat modern. Saat ini, terdapat ratusan peninggalan kuneiform yang menjelaskan berbagai pertanda atau ramalan yang dapat disimpulkan dari pengamatan benda-benda langit.[5]
Bukti-bukti peninggalan lain yang berupa catatan sejarah mengenai pembacaan pertanda astrologi secara komprehensif dan sistematis diberi nama Enuma Anu Enlil. Catatan ini berasal dari kurun abad ke-16 dan terdiri dari 70 tablet kuneiform yang menjelaskan sekitar 7.000 pertanda yang dapat diamati di langit.[2][8] Pada masa ini penggunaan ilmu astrologi hanya untuk hal-hal yang bersifat aplikatif seperti untuk meramal musim, cuaca atau yang berkaitan dengan politik. Pada abad ke-7 SM aplikasi dari astrologi di peradaban Mesopotamia semakin meluas, terdapat simbol-simbol astrologi yang merepresentasikan aktivitas-aktivitas masyarakat yang dilakukan berdasarkan musim seperti bertani, berburu dan menangkap ikan, atau mempersiapkan cadangan air untuk musim kemarau.[8] Hal ini kemudian berlanjut dan pada abad ke-4 SM, perkembangan metode matematis membuat peradaban Mesopotamia telah mampu memprediksi pergerakan planet dengan akurasi tertentu yang mana kemudian membuat bermunculannya catatan-catatan yang lebih mendetail mengenai pergerakan benda-benda langit.[2][8]
Astrologi yang berkembang pada peradaban Mesopotamia didasarkan pada keperluan ramal-meramal.[1][8] Terdapat kumpulan lebih dari 32 kuineform berbentuk hati yang berasal dari kurun tahun 1875 SM, dan berisi tentang kaidah yang sama tentang bagaimana suatu pertanda di langit dapat diinterpretasikan. Jejak dan berbagai tanda yang kemudian ditemukan pada hati hewan kurban diinterpretasikan sebagai simbol-simbol yang berkaitan dengan pesan para dewa kepada raja.[8]
Para dewa juga dipercaya mentransformasikan bentuk mereka ke dalam suatu benda-benda langit baik planet, bulan, ataupun bintang sesuai gambarannya masing-masing. Suatu pertanda buruk juga melekat pada planet-planet tertentu yang mana planet-planet tersebut dianggap sebagai indikasi ketidakpuasan atau kemarahan dewa-dewa yang digambarkan oleh planet tersebut[1][8] Indikasi yang diintepretasikan tersebut membuat kebudayaan Mesopotamia memiliki ritual atau cara tertentu untuk membuat senang para dewa. Ritual-ritual ini dilakukan agar kemarahan para dewa tersebut tidak berdampak banyak terhadap raja dan juga kerajaannya. Sebuah catatan astronomi menunjukan bahwa raja Esarhaddon menganggap gerhana bulan yang terjadi pada bulan Januari 673 SM merupakan suatu petunjuk tentang bagaimana upacara penggantian raja dilakukan. digabungkan dengan kepercayaan penuh terhadap hal-hal magis dan pertanda lainnya[8]
Mesir pada era Helenistik
Pada tahun 525 SM, Mesir ditaklukan oleh Bangsa Persia dan diyakini setelah itu terdapat banyak pengaruh terhadap astrologi Bangsa Mesir yang diberikan oleh astrologi kebudayaan Mesopotamia. Pengaruh dari kebudayaan Mesopotamia dicontohkan pada dua simbolisasi dalam zodiak bangsa Mesir–zodiak Libra dan Scorpio pada zodiak Dendera bangsa Mesir.[1][9]
Setelah pendudukan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, Mesir berada dibawah kekuasaan dan pengaruh Bangsa Yunano. Kota Alexandria merupakan kota yang dicetuskan oleh Iskandar Agung setelah penaklukan tersebut pada abad ke-3 hingga ke-2 SM.[1][10] Kota Alexandria di Mesir ini yang kemudian menjadi tempat bercampurnya astrologi Mesir dengan astrologi yang berasal dari periode akhir kebudayaan Mesopotamia.[10] Astrologi Mesir kemudian memasukan berbagai konsep yang terdapat pada kebudayaan Mesopotamia seperti pentingnya pengaruh planet, konsep tripolisitas, dan pengaruh gerhana. Bersama dengan ini, Bangsa Mesir menggabungkan konsep pembagian zodiak kedalam 36 segmen (decan) pada suatu lingkaran langit, dan memberi penekanan terhadap konstelasi bintang yang dominan, sistem dewa-dewa Yunani yang berkaitan dengan planet, pertanda dari pemerintahan, dan empat elemen utama (air, udara, tanah, api).[1][10]
Dekan merupakan suatu sistem pengukuran waktu yang didari pengamatan konstelasi bintang. Sistem ini dimulai oleh terbitnya konstelasi Sirius. Terbitnya suatu dekan tertentu di langit digunakan untuk membagi waktu (jam) pada suatu malam. Terbitnya suatu konstelasi bintang sesaat sebelum terbitnya matahari dianggap sebagai jam terakhir dari suatu malam. Setiap tahunnya, konstelasi-konstelasi bintang ini terbit sesaat sebelum matahari terbit selama sepuluh hari. Saat konstelasi-konstelasi ini menjadi bagian dari zodiak peradaban Helenistik (323-30 SM; selatan Eropa-Timur Tengah), setiap dekan dihubungkand engan 10 zodiak-zodiak tersebut. Catatan sejarah dari abad ke-2 SM memprediksi posisi dari suatu planet berdasarkan pertanda zodiak disaat terbitnya dekan tertentu, terutama konstelasi Sirius.[11] Salah satu gagasan yang paling penting dan kemudian menjadi basis astrologi modern adalah pengembangan horoskop astrologi oleh Ptolemeus yang saat itu tinggal di Alexandria, Mesir.[1][11]
Romawi-Yunani
Penaklukan wilayah Asia oleh Iskandar Agung membuka jalan bagi peradaban Yunani untuk mengelaborasikan gagasan dan tradisi mereka terhadap gagasan lain yang berasal dari Suriah, Mesopotamia, dan Asia Tengah.[12] Peradaban Yunani kemudian mempelajari bahasa dan huruf yang terdapat pada kuineform sebagai bagian dari transmisi kebudayaan tersebut. Pada kurun tahun 280 SM, Brossus, seorang pendeta dari kota Babylon, melakukan perjalanan ke Pulau Kos di Yunani untuk mengajarkan astrologi dan kebudayaan Babilonia kepada masyarakat Yunani.[13] Pada abad pertama sebelum Masehi, terdapat dua jenis astrologi yang berkembang di Yunani, salah satu jenis membutuhkan pemahaman terhadap horoskop untuk mengetahui detail akurat dari masa lalu, saat ini, dan masa depan, sementara yang satunya lagi bersifat sangat magis dan mengedepankan kuasa dewa-dewi yang ditunjukan dalam pertanda-pertanda yang muncul di langit.[14] Namun, pembagian-pembagian ini tidak bersifat eksklusif dan bisa jadi saling beririsan, jenis astrologi pertama bertujuan untuk mencari informasi tentang suatu kehidupan, sementara jenis kedua lebih menaruh perhatian pada suatu transformasi yang bersifat pesonal di mana astrologi dianggap sebagai suatu jenis komunikasi terhadap dewa-dewa.[1]
Seperti wilayah lainnya di bagian selatan Eropa, astrologi pada peradaban Romawi kuno sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani.[15] Diantara kebudayaan Romawi dan Yunani, kebudayaan Babilonia mengidentifikasi astrologi merupakan suatu ilmu ramal meramal yang menggunakan planet-planet dan bintang sebagai pertanda. Ahli astrologi menjadi bagian penting dari kekaisaran Romawi pada masa itu. Kaisar Tiberuis misalnya, ia memiliki ramalan tentan takdir dan jalan hidupnya semenjak lahir, semasa hidupnya ia juga dikelilingi oleh ahli astrologi seperti Thrasyllus dari Mendes. Menurut Juvenal (pujangga pada masa ini), "terdapat orang-orang yang bahkan tidak dapat tampil di depan umum, makan, ataupun mandi, jika tanpa berkonsultasi terlebih dahulu terhadap ahli astrologi'. Namun sebaliknya, Claudius lebiih mempercayai augury yaitu peramalan yang didasarkan terhadap pertanda dari pergerakan dan kelakuan burung-burung, ataupun pergerakan hewan lainnya. Claudius secara bersamaan juga melarang ahli astrologi untuk beraktivitas di Roma pada saat itu.[1]
Peradaban Islam klasik
Astrologi mulai masuk dalam kajian para pemikir Islam ketika jatuhnya kota Alexandria kepada Bangsa Arab pada abad ke-7 Masehi, dan juga sejak berdirinya Kesultanan Abbasiyah pada abad ke-8 Masehi. Khalifah kedua dari kesultanan ini, Muhammad Al-Mansur mendirikan kota Baghdad sebagai pusat pembelajaran, termasuk di dalamnya terdapat perpustakaan sebagai pusat terjebahan yang dikenal juga sebagai Bayat al-Hikma "Rumah Kebijaksanaan", yang mana perpustakaan ini menerima banyak karya-karya astrologi dari periode Helenistik Eropa dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab.[16] Salah satu penerjemah awal diantaranya Mashallah ibn Athari, yang membantu memilih waktu pendirian kota Baghdad, dan Sahl ibn Bishr, yang karya-karyanya kemudian memberi pengaruh langsung terhadap ahli astrologi Eropa seperti Guido Bonatti pada abad ke-13 Masehi, dan William Lilly pada abad ke-17 Masehi. Literatur-literatur pengetahuan peradaban Islam klasik mulai dibawa masuk ke dalam kebudayaan Eropa pada abad ke-12 Masehi dan kemudian memberi pengaruh besar terhadap revolusi ilmiah yang terjadi di Eropa.[16]
Diantara nama-nama ahli astrologi dalam kebudayaan Arab, salah satu yang paling terkenal adalah Abu Maʿshar, dengan karyanya yang berjudul Kitāb al‐mudkhal al‐kabīr yang kemudian menjadi salah satu risalah astronomi terkenal di Eropa. Selain itu, nama Al-Khwarizmi tidak hanya dikenal sebagai ahli matematika, ia juga dikenal sebagai ahli astronomi, astrologi, dan geografi.[16]
Selama perkembangan sains dalam peradaban Islam klasik, beberapa praktik-praktik astrologi mendapat banyak pertentangan dari kalangan ilmuwan dan cendikiawan Islam, seperti oleh Al-Farabi, Ibn Haytham, dan Ibnu Sina. Kritik-kritik mereka berpendapat bahwa metode yang digunakan oleh ahli astrologi hanya melalui konjektur dan tidak berdasarkan fakta-fakta empiris, serta dari kalangan cendikiawan Islam ortodoks yang mengkritik bahwasanya hanya Tuhan yang mengetahui dan dapat memprediksi masa depan secara pasti. Namun, kritik-kritik ini lebih cenderung diarahkan kepada cabang astrologi dengan metodenya yang berusaha untuk memprediksi nasib atau masa depan berdasarkan suatu horoskop. Cabang astrologi lainnya seperti astrolgi medis dan astrologi cuaca masih dipandang sebagai ilmu yang sah pada masa itu.[16]
Sebagai contoh pandangan Ibnu Sina dalam bukunya Resāla fī ebṭāl aḥkām al-nojūm "Sanggahan terhadap astrologi", Ibnu Sina menentang praktik-praktik astrologi yang mengklaim dapat memprediksi nasib atau masa depan manusia berdasarkan posisi planet dan bintang-bintang. Namun, Ibnu Sina tetap mempercayai bahwa posisi bintang-bintang dan planet dapat memberikan pengaruh ke bumi termasuk kepada manusia, tetapi hal ini terjadi secara deterministik atau dapat dijelaskan dengan ilmu alam ketimbang ramalan-ramalan yang bersifat magis.[16]
Eropa abad pertengahan-renaisans
Di saat astrologi dan ilmu-ilmu lainnya sedang berkembang pesat di wilayah Asia—seperti pada kebudayaan India, Persia, dan Islam klasik—pasca runtuhnya kekaisaran Romawi, astrologi dunia Barat di periode yang sama mengalami kemunduran dikarenakan hilangnya sumber-sumber ilmu astronomi yang berasal dari peradaban Yunani dan juga akbiat hukuman yang diberikan oleh Gereja pada praktik-praktik astronomi yang bertentangan. Hingga kemudian terjemahan dari karya-karya berbahasa Arab mulai memasuki peradaban Eropa melalui Spanyol pada abad ke-10 hingga abad ke-12 Masehi, di mana peristiwa transmisi ilmu pengetahuan ini menyebabkan keilmuan di peradaban Eropa "mengalami dorongan hebat".[17]
Memasuki abad ke-13, astrologi telah menjadi bagian dari keseharian praktik-praktik medis di Eropa. Tabib-tabib menggabungkan metode pengobatan Galenus bersama dengan pengamatan bintang-bintang. Memasuki tahun 1500-an, ahli fisika di wilayah Eropa diharuskan untuk menghitung terlebih dahulu posisi bulan sebelum melakukan tindakan medis yang rumit seperti operasi atau yang menangani pendarahan.[17]
Karya-karya berpengaruh pada abad ke-13 Eropa termasuk diantaranya yang ditulis oleh pendeta Inggris, Johannes de Sacrobosco dan ahli astrologi Italia, Guido Bonatti. Bonatti menyediakan layanan astrologinya secara umum kepada pemerintahan kota Firenze, Siena, dan Forli, sekaligus bertindak sebagai penasihat Federick II, Tahta Suci Roma. Buku astrologinya yang berjudul Liber Astronoiae (Buku astronomi) ditulis pada tahun 1277, dan mendapat reputasi sebagai "buku paling penting pada bidang astrologi yang terbit dalam bahasa Latin pada abad ke-13". Sementara itu salah satu penulis pada abad pertengahan di Eropa menggambarkan Guido Bonatti sebagai penghuni neraka yang selalu melihat kebelakang dalam bukunya sebagai hukuman akibat kegiatan ramal-meramalnya.[17]
Pada era Renaisans, ahli astrologi lapangan akan melengkapi penggunaan data-data horoskop mereka dengan pengamatan dan penemuan astronomis. Banyak dari praktisi-praktisi astrologi yang saat kemudian menjadi sosok dibalik penjungkirbalikan gagasan-gagasan astronomi kuno seperti Tycho Brahe, Galileo Galilei, dan Johaness Kepler. Di akhir era Renaisans, astrologi mulai kehilangan tempatnya di bidang ilmu pengetahuan. Dengan jatuhnya fisika Aristotelian karena diganti oleh fisika Newtonian, dan juga terdapat penolakan terhadap gagasan pembagian alam bawah-alam atas pada teori geosentris sebelumnya yang mana menjadi dasar ilmu astrologi. Kemudian memasuki abad ke-18, ketertarikan kalangan intelektual terhadap astrologi hampir sepenuhnya tidak ditemukan.[17]
India
Dalam kebudayaan masyarakat India, astrologi atau jyotisha, adalah bagian dari "vedanga", salah satu cabang "pengetahuan" yang dibutuhkan untuk memaham literatur-literatur Weda yang dianggap sakral. Tradisi astrologi telah mengakar dalam kebudayaan India dan terus bertahan sejak literatur-literatur astrologi horoskopis peradaban Yunani kuno digabungkan dengan pandangan astrologi Hindu pada milena pertama tahun Masehi.[18] Literatur utama yang dikaitkan dengan astrologi kebudayaan masyarakat India yang paling terkenal diantaranya Bṛhat Parāśara Horāśāstra dan Sārāvalī yang ditulis oleh Kalyāṇavarma. Horāśāstra adalah kumpulan karya-karya yang membentuk 71 bab, yang mana volume pertama dari buku ini (bab 1-51) memiliki penanggalan pada kurun abad ke-7 hingga awal abad ke-8 Masehi, dan volume ke-2 memiliki penanggalan pada akhir abad ke-8 Masehi.[19] Sementara Sārāvalī memiliki penanggalan sekitar kurun tahun 800-an Masehi. Terjemahan bahasa Inggris dari literatur-literatur ini diterbitkan oleh N.N. Krishna Rau dan V.B. Choudhari pada tahun 1961 dan 1963.[18][20]
Penggambaran dari astrologi kebudayaan masyarakat India tidak hanya berguna sebagai deskripsi penciptaan alam semesta, tetapi terpisah dari hal tersebut, astrologi juga menjadi bagian dari kebudayaan masyarakatnya.Terdapat pula proses lanjut dari interpretasi astrologi dalam kebudayaan India, yang mana masyarakat kebudayaan ini harus menerima apapun informasi atau prediksi yang diberikan oleh astrologi.[18][20] Pertanda-pertanda yang berkaitan dengan kejadian di masa depan yang diberikan oleh konfigurasi-konfigurasi astrologis tertentu dari konstelasi bintang atau planet-planet dapat memberikan petunjuk tentang ritual tertentu, meditasi, peribadatan, atau azimat yang harus dilakukan dan dikenakan untuk menghindari masalah di masa depan. Dengan petunjuk ahli astrologi, masyarakat India akan mendatangi suatu kuil tertentu, kemudian melakukan meditasi di depannya,membawa persembahan berupa bunga-bunga, menyiram air atau susu diatasnya, dan membakar dupa dengan harapan agar asap dupa membawa doa-doa mereka ke surga.[18]
Tiongkok
Astrologi kebudayaan Tiongkok memiliki kaitan erat dengan konsep filsafat yang berkembang di daerah tersebut (konsep tiga keharmonisan: langit, bumi, dan manusia) seperti penggunaan konsep yin dan yang, lima elemen atau fase (air, api, tanah, logam, dan kayu), 10 Batang langit, 12 Cabang Bumi, dan shichen (時辰 pembagian jam kebudayaan Tiongkok; 1 hari = 12 sichen). Penggunaan awal dari sistem astrologi Tiongkok lebih diutamakan untuk kepentingan politis, menghubungkan fenomena langit dengan fenomena tak biasa di masyarakat, mengidentifikasi pertanda-pertanda buruk, dan penentuan hari-hari suci atau penting.[21]
Kebudayaan Tiongkok menggunakan pembagian sistem konstelasi yang berbeda dari zodiak di Asia Barat ataupun di Eropa, kebudayaan Tiongkok membagi langit menjadi Tiga Batasan (三垣 sān yuán), dan 28 Rumah Besar (二十八宿 èrshíbā xiù) yang kemudian masuk ke dalam 12 zodiak atau shio.[22] Zodiak kebudayaan Tiongkok disimbolkan oleh 12 jenis hewan dan diyakini setiap shio merepresentasikan 12 kepribadian yang berbeda pula. Perhitungan shio ini didasarkan oleh siklus tahun, perubahan fase bulan, dan sichen. Zodiak Tiongkok secara tradisional umumnya dimulai dari zodiak/shio Tikus dan kemudian secara siklik diikuti oleh 11 shio hewan lainnya yaitu: Kerbau, Harimau, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam Jago, Anjing, dan Babi.[23][24] Suatu sistem peramalan terkait masa depan dan nasib dari seseorang dibangun oleh masyarakat kebudayaan Tiongkok berdasarkan, tanggal lahir, musim pada tanggal lahir tersebut, dan waktu kelahiran (dalam sichen) masih sering dipakai di dalam kebudayaan Tiongkok modern. Peramalan ini pun tidak bergantung pada pengamatan bintang secara langsung.[25]
Terdapat berbagai cerita atau legenda tentang asal mula shio dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa.[26] Sebaliknya bukti-bukti faktual tentang asal mula shio ini cenderung sulit ditemukan.[27] Diketahui dari ornamen yang ditemukan pada gerabah-gerabah peninggalan era Dinasti Tang bahwa hewan-hewan yang saat ini termasuk dalam keduabelas shio tersebut telah populer pada masa itu. Namun, ditemukan pula bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa hewan-hewan ini telah muncul lebih awal yakni pada Periode Negara Perang, di mana saat itu wilayah Tiongkok terbagi dalam beberapa faksi tertentu dan terlibat pertempuran untuk saling menguasai faksi lainnya.[24][27]
Terdapat tulisan-tulisan yang menyatakan bahwa keduabelas shio ini dibawa ke Tiongkok melalui Jalur Sutra, sama halnya dengan rute masuknya ajaran Buddha dari India ke Tiongkok.[27] Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa kepercayaan terhadap zodiak ini malah yang mempengaruhi ajaran Buddha dan berasal langsung dari tradisi kebudayaan Tiongkok yang saat itu telah mengenal planet Jupiter sebagai acuan, dikarenakan orbitnya yang mengelilingi bumi (dalam pandangan geosentris) memakan waktu selama 12 tahun. Pun ada juga argumen yang menyatakan bahwa penggunaan nama-nama hewan ini pada zodiak kebudayaan masyarakat Tionghoa berasal dari suku nomaden kuno yang kemudian mengembangkan kalender berdasarkan hewan-hewan yang biasa mereka buru.[27]
Peradaban Maya
Masyarakat Maya memiliki hubungan yang unik dengan berbagai benda-benda langit seperti Matahari, Bulan, planet-planet, konstelasi bintang, dan bahkan galaksi Bima Sakti. Untuk mengidentifikasi konsep astrologi bangsa Maya, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu kaitan atau peran benda-benda langit tersebut dalam kebudayaan dan kepercayaan Bangsa Maya.[28]
Dalam kebudayaan Maya, Matahari adalah salah satu benda langit paling penting.[29][30] Matahari disimbolisasikan dalam beberapa jenis hewan seperti, burung makau merah, burung kolibri, dan puma.[30][31] Dewa Matahari dalam kepercayaan Maya bernama Kinich Ahau. Kinich Ahau merupakan salah satu dewa terkuat dalam kepercayaan Maya dan dikaitkan dengan Itzamna, salah satu sosok pencipta dalam kepercayaan Maya.[30] Kinich Ahau akan bersinar sepanjang hari sebelum berubah bentuk menjadi jaguar di malam hari untuk melewati XibalbaI, nama dari dunia bawah dalam kepercayaan Maya.[32]
Bulan dalam kebudayaan masyarakat Maya hampir memiliki peran yang sama pentingnya dengan Matahari.[30][33] Umumnya Bulan diidentikan dengan unsur feminin dalam kebudayaan Maya, meskipun terdapat juga penggambaran maskulin dari bulan dalam peninggalan-peninggalan seni di Meksiko tengah bahkan terdapat juga penggambaran yang menggambarkan Bulan memiliki unsur maskulin dan feminin sekaligus. Penggambaran feminin dari Bulan adalah Dewi Ix Chel yang juga merupakan istri dari sosok pencipta Itzamna.[29][34] Dewi Ix Chel sering kali dihubungkan dengan aktivitas yang biasanya dilakukan atau hanya terjadi pada kaum wanita seperti menenun, memintal, dan melahirkan. Sementara itu, penggambaran maskulin Bulan dalam kebudayaan masyarakat maya berkaitan dengan peran laki-laki dalam masyarakat seperti bermain bola, atau kependetaan. Seperti matahari dan planet-planet, dinasti Maya juga sering kali mengklaim bahwa mereka merupakan titisan dari bulan.[33][34] Dalam kebudayaan masyarakat Maya, dalam bahasan etnografis, bulan juga dikaitkan dengan pertanian jagung, dan keterkaitan ini dibuktikan dengan gambar-gambar yang ditemukan pada peradaban Maya klasik yang menunjukan bahwa kemunculan bulan bersamaan dengan aspek feminin dan maskulin dari dewa-dewa pertanian jagung. Pada peradaban Maya klasik, Dewi Bulan dalam kepercayaan masyarakat maya sering kali digambarkan sebagai sosok yang muda. Ahli astronomi pada peradaban Maya kuno juga telah mampu menganalisis dan memprediksi pergerakan bulan dengan sangat akurat seperti perubahan fasenya dan terjadinya gerhana bulan.[34]
Venus adalah salah satu planet yang sangat penting bagi peradaban Maya.[34][35] Venus digunakan sebagai acuan dari salah satu jenis kalender mereka dan juga pergerakannya dihubungkan dengan berbagai pertanda. Venus merupakan perlambang dari ritual perang, pertempuran hebat dan penghancuran total.[36] Ditemukan berbagai simbol planet Venus yang terpampang bersama simbol ular langit atau perwujudan manusia dari ular langit tersebut yang diberinama Quetzalcoatl.[37] Pada wilayah kerajaan Maya kuno di Meksiko tengah, Dewa Angin yang merupakan bagian dari Venus diberi nama Eheacatl-Quetzalcoatl, dan diyakini bersemayam di kuil-kuil pemujaan yang berbentuk bulat. Dari Kodex Dresden peninggalan Bangsa Maya, ditemukan lima variasi dari Bintang Fajar, namun lima variasi dari planet Venus ini hanya digambarkan oleh satu sosok dewa yaitu Tlauhuizcalpantecuhtli.[37] Setiap variasi dari penggambaran Tlauhuizcalpantecuhtli menunjukan Venus di berbagai musim yang berbeda. Penggambaran Venus lainnya pada periode klasik dari peradaban Maya ditemukan di reruntuhan Palenque.[37] Dari legenda lokal dapat diidentifikasi keterkaitan Venus dalam tritunggal dewa-dewa dalam kebudayaan Maya. Planet Venus dilambangkan sebagai sosok tertua dari tiga dewa-dewa ini, Jupiter adalah saudara tengah, dan Matahari merupakan sosok termuda. Planet-planet ini kemungkinan menjadi objek pemujaan pada kebudayaan Mesoamerika pra-Columbus. Monster yang menggambarkan planet Mars juga ditemukan di salah satu kodex peninggalan bangsa maya pascaklasik. Dalam peradaban klasik maya, Mars dilambangkan oleh seekor rusa langit. K'awil, yang dikenal sebagai sosok dewa garis keturunan bangsawan sering kali dikaitkan dengan ritual-ritual yang melibatkan planet Jupiter dan Saturnus. Ka'wil kemungkinan digambarkan di Meksiko bagian tengah sebagai Tezcatlipoca, dewa langit malam yang memiliki hubungan terhadap berbagai planet dan juga rasi bintang Ursa Mayor.[37]
Bangsa Maya mengenal Bima Sakti sebagai sebuah jalan, sungai, atau tempat peristirahatan arwah yang telah meninggal.[38][39] Namun, bukti-bukti sejarah juga menunjukan Bangsa Maya dengan kebudayaan yang lebih kontemporer memvisualisasikan Bima Sakti sebagai suatu ular raksasa, atau ditemukan juga ikonografi yang menggambarkan Bima Sakti sebagai reptil dari periode klasik Bangsa Maya (300-900 M). "Monster Kosmis" Bima Sakti ini merupakan simbolisasi dari dunia bawah pada peradaban Maya di mana monster ini tidak digambarkan sendiri sebagai suatu pita di langit melainkan bersama simbol-simbol lainnya seperti matahari, bulan, dan venus.[38][40] Sebuah pita langit sebagai simbolisasi monster kosmis ini juga muncul pada kodex-kodex peradaban Maya praklasik, seperti pada Kodex Dresden di mana dewa dari planet Venus dipasangkan dengan dewa pertambahan usia. Kodex praklasi lainnya adalah kodeks Paris yang menggambarkan zodiak Bangsa Maya terdiri dari 13 konstelasi bintang yang menggambarkan, menunjukan lima konstelasi dengan nama hewan yang terletak pada pita langit ini.[38]
Di antara zodiak-zodiak tersebut, zodiak dengan yang diberi nama "kura-kura" merujuk pada bintang-bintang di konstelasi Orion, zodiak dengan nama "ular derik" merujuk pada suatu konstelasi yang mencangkup konstelasi Pleiades di dalamnya. Terdapat juga zodiak "kalajengking" yang merujuk pada bintang-bintang di rasi Scorpio pada peradaban modern, di mana ini merupakan suatu kebetulan yang mengejutkan dan jarang terjadi. Zodiak-zodiak ini menyertai primbon Bangsa Maya yang terdiri dari 1820 hari dan terdiri dari 5 siklus setiap 364 hari, tiap siklusnya dibagi kedalam 28 hari, yang kemungkinan merujuk pada perubahan fase bulan.[38][40]
Oseania
Di wilayah Polinesia, ahli astronomi tradisional yang berasal dari masyarakat di kepulauan ini terbagi ke dalam dua jenis: Sang pengamat langit yang bertugas mengawasi langit untuk melihat pertanda, menyelaraskan kalender, mengatur ritual kepercayaan dan festival, dan satunya lagi adalah Sang penunjuk jalan yang bertugas sebagai ahli navigasi di laut yang menjalankan tugasnya dengan memanfaatkan berbagai pertanda termasuk benda-benda langit.[41] Di Selandia Baru, suku Maori mengenal suatu kedudukan dalam tingkatan sosial mereka yang diberi nama tohunga kokrangi, tugas dari tohunga kokorangi adalah mengamati langit, termasuk pengukuran posisi benda-benda langit dan memprediksi pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat.[41] Salah satu praktik kebudayaan yang dilakukan oleh suku Maori adalah pengamatan okultasi bulan– ketika bulan lewat secara langsung di depan sesuatu yang mereka anggap bintang–yang merupakan salah satu pembacaan pertanda terkait militer yang sulit. Sebagai contoh, jika bintang muncul kembali setelah bulan melewatinya, maka masyarakat Maori mengartikan bahwa akan terdapat benteng yang akan diduduki. Tohunga kokorangi akan terus mengawasi langit untuk mendapatkan pertanda serta mencoba berkomunikasi dengan ruh-ruh atau dewa-dewa yang ada di langit. Jika nantinya tohunga kokorangi melihat pertanda bahaya seperti contohnya komet, ia kemudian akan mengucapkan mantra tertentu untuk menetralisir ancaman dan melindungi.[41]
Astrologi di era modern
Kebudayaan Barat
Pada kebudayaan Barat, beberapa pemimpin politik suatu negara terkadang melakukan konsultasi terhadap ahli astrologi. Sebagai contoh, Badan Intelejen Inggris (MI5) mempekerjakan Louis de Wohl sebagai penasihat astrologis setelah terdapat klaim yang menyatakan Adolf Hitler menggunakan kaidah-kaidah astrologi dalam menjalankan aksi militernya.[42] Namun faktanya, prediksi yang dilakukan Wohl sangat tidak akurat sehingga ia dengan segera dicap sebagai "tukang obat", pun kemudian ditemukan bukti bahwasannya Hitler menganggap astrologi merupakan hal "yang tidak masuk akal".[43] Contoh lainnya adalah yang dilakukan Ibu Negara Amerika Serikat, Nancy Reagan, yang secara rahasia menyewa Joan Quigley, seorang ahli astronogi, pasca percobaan pembunuhan yang dilakukan terhadap suaminya, Ronald Reagan oleh John Hinckley. Namun, karier Quigley berakhir pada tahun 1988 ketika pekerjaannya ini bocor ke publik Amerika Serikat.[44]
Pada tahun 1960-an terdapat lonjakan ketertarikan terhadap astrologi. Ahli sosiologi Marcello Truzzi menggambarkan bahwa terdapat tiga tahapanyang membuat orang percaya terhadap "Astrologi". Ia menemukan bahwasannya kebanyakan orang yang percaya astrologi tidak beranggapan bahwa astrologi memiliki penjelasan ilmiah atau kekuatan untuk memprediksi sesuatu. Kalangan ini merupakan kalangan yang secara tidak mendalam terlibat dalam ilmu astrologi dalam artian kalangan yang tak banyak mengerti metode-metode astrologi, kalangan yang hanya membaca prediksi astrologi pada kolom di surat kabat, dan juga kalangan yang mungkin mendapatkan manfaat dari "manajemen emosi dan kecemasan" dan "sistem kepercayaan yang secara kognitif melampau sains".[45] Kalangan kedua dari urutan tersebut merupakan kalangan yang telah mengidentifikasi horoskopnya sendiri dan mencari saran dan prediksi terhadap nasib mereka dari ahli astrologi. Kalangan ini biasanya berumur relatif muda, dan mendapat manfaat dari pengetahuan mereka terhadap astrologi yang kemudian menghasilkan kesimpulan koheren terhadap nasib mereka atau suatu kelompok. Kelompok ketiga dari urutan tersebut merupakan kelompok yang terlibat secara mendalam dan biasanya mereka memprediksi garis nasib mereka sendiri melalui horoskop yang mereka miliki. Kelompok ketiga ini juga biasanya menanggapi isu-isu astronomi secara serius, bahkan menganggapnya sakral, sementara dua kelompok sebelumnya cenderung menganggapi isu-isu ini dengan main-main atau tidak terlalu serius.[45]
Pada tahun 1953, ahli sosiologi, Theodor W. Adorno, melakukan kajian terhadap kolom astrologi di surat kabar kota Los Angeles sebagai bagian dari proyek pengujian kebudayaan masyarakat dalam suatu komunitas kapitalis.[46] Adorno meyakini bahwa astrologi populer, sebagai alat prediksi, selalu mengarahkan prediksi-prediksinya terhadap hal-hal yang umumnya diterima secara sosial dan membuat pendengarnya merasa nyaman—namun terdapat pula ahli astrologi yang melawan hal-hal tersebut sehingga berisiko kehilangan pekerjaan dan penghasilannya.[46] Adorno juga menyimpulkan bahwasannya astrologi adalah manifestasi berskala besar dari pemikiran irasional yang sistematis, di mana setiap individu secara harus diarahkan untuk mempercayai bahwa penulis dari kolom ramalan horoskop menujukan kolom tersebut khusus terhadap mereka.[47] Pada tahu 2005, survei yang dilakukan oleh Gallup dan juga pada surve yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2009% melaporkan setidaknya 25% masyarakat Amerika Serikat berusia dewasa mempercayai astrologi.[48][49]
India dan Jepang
Di India terdapat kepercayaan terhadap astrologi yang secara luas telah mengakar dalam kebudayaan mereka. Astrologi umumnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari, terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan dan pekerjaan. Politik di India juga dipengaruhi oleh astrologi, dan astrologi masih dianggap sebagai cabang pembelajaran dari Wedanga.[50][51] Pada 2001, terjadi perdebatan antara ilmuwan dan politikus india mengenai adanya proposal penggunaan anggaran negara untuk membiayai penelitian astrologi,[52] debat ini menghasilkan izin bagi universitas-universitas di India untuk mengajarkan materi kuliah yang berkaitan dengan astrologi Weda.[53] Pada 2011,pengadilan tinggi Mumbai menegaskan kembali posisi astrologi di India sebagai bagian dari sains ketika terdapat gugatan yang ingin menghapus bidang tersebut dari sains.[54]
Di Jepang, kepercayaan terhadap astrologi membawa perubahan dramatis terhadap tingkat kesuburan dan jumlah aborsi tiap tahunnya pada tahun Kuda Api. Penganut kepercayaan terhadap astrologi meyakini bahwasanya bayi perempuan yang lahir pada tahun hinoeuma tidak akan dapat menikah dan membawa nasib buruk kepada ayah dan suaminya. Pada tahun 1966, angka kelahiran bayi turun diatas 25% ketika kebanyakan orang tua memilih untuk menghindari stigma negatif tentang kelahiran bayi perempuan pada tahun hinoeuma.[55][56]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p "Astrology". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d e f g h i "Astrology - New World Encyclopedia". www.newworldencyclopedia.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Campion, Nicholas (2009-06-16). A History of Western Astrology Volume II: The Medieval and Modern Worlds (dalam bahasa English) (edisi ke-1 edition). London: Bloomsbury Academic. ISBN 9781441181299. Hlm 2 & 3.
- ^ Marshack, Alexander (1991-12-01). The Roots of Civilization: The Cognitive Beginnings of Man's First Art, Symbol and Notation (dalam bahasa English) (edisi ke-Revised, Expanded, Subsequent edition). Mount Kisco, NY: Moyer Bell Ltd. ISBN 9781559210416.
- ^ a b c d Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlm.1835
- ^ "Mesopotamia". Ancient History Encyclopedia. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Holden, James Herschel (1996-10-01). A History of Horoscopic Astrology (dalam bahasa English) (edisi ke-2nd edition). Tempe, Ariz: American Federation of Astrologers, Inc. ISBN 9780866904636. Hlmn. 1
- ^ a b c d e f g h Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlm. 1836-1839
- ^ Barton, Tamsyn (1994). Ancient Astrology (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9780415080668. Hlmn 24.
- ^ a b c Holden, James Herschel (1996-10-01). A History of Horoscopic Astrology (dalam bahasa English) (edisi ke-2nd edition). Tempe, Ariz: American Federation of Astrologers, Inc. ISBN 9780866904636. Hlmn. 11
- ^ a b Barton, Tamsyn (1994). Ancient Astrology (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9780415080668. Hlmn. 20
- ^ Campion, Nicholas (2009-06-16). A History of Western Astrology Volume II: The Medieval and Modern Worlds (dalam bahasa English) (edisi ke-1 edition). London: Bloomsbury Academic. ISBN 9781441181299. Hlmn. 173
- ^ Campion, Nicholas (2009-06-16). A History of Western Astrology Volume II: The Medieval and Modern Worlds (dalam bahasa English) (edisi ke-1 edition). London: Bloomsbury Academic. ISBN 9781441181299. Hlmn 173.
- ^ Campion, Nicholas (2009-06-16). A History of Western Astrology Volume II: The Medieval and Modern Worlds (dalam bahasa English) (edisi ke-1 edition). London: Bloomsbury Academic. ISBN 9781441181299. Hlmn 173-174
- ^ Barton, Tamsyn (1994). Ancient Astrology (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9780415080668. Hlmn. 32
- ^ a b c d e Sardar, Author: Marika. "Astronomy and Astrology in the Medieval Islamic World | Essay | Heilbrunn Timeline of Art History | The Metropolitan Museum of Art". The Met’s Heilbrunn Timeline of Art History. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d "UNESCO Astronomy and World Heritage Webportal - Show theme". www3.astronomicalheritage.net (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn 112-113.
- ^ Pingree, David (1981). A history of Indian literature. Vol. 6, Scientific and technical literature : Part 3 : Fasc. 4. Jyotiḥśāstra : astral and mathematical literature (dalam bahasa Inggris). Harrassowitz. ISBN 9783447021654. Hlm 81
- ^ a b "History Vedic Indian Astrology Hindu Astrology Branches of Astrology". shyamasundaradasa.com. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Kistemaker, Jacob; Xiaochun, Sun (1997-06-01). The Chinese Sky During the Han: Constellating Stars and Society (dalam bahasa English). Leiden New York Köln: Brill Academic Pub. ISBN 9789004107373. Hlmn 22, 85, & 176
- ^ Information, Reed Business (1980-06-26). New Scientist (dalam bahasa Inggris). Reed Business Information. Hlmn. 380-383
- ^ Lau, Theodora (2011-10-01). The Handbook of Chinese Horoscopes (dalam bahasa English) (edisi ke-7th edition edition). London, UK: Souvenir Press. ISBN 9780285640467. Hlmn. 2–8, 30–5, 60–4, 88–94, 118–24, 148–53, 178–84, 208–13, 238–44, 270–78, 306–12, 338–44.
- ^ a b Romero, Frances (2009-01-25). "The Chinese Zodiac". Time (dalam bahasa Inggris). ISSN 0040-781X. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Selin, Helaine (1997-07-31). Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Westen Cultures (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 9780792340669.
- ^ "The Great Race: The Origin of the Chinese Zodiac". www.pachamama.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-15. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d "What is the History of the Chinese Zodiac?". ThoughtCo. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn. 683-692
- ^ a b "The Maya, the Sun, the Moon and the Stars | Yucatan Today". yucatantoday.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d "How Does Ancient Mayan Astronomy Portray the Sun, Moon and Planets?". ThoughtCo. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn. 686
- ^ Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn. 686-687
- ^ a b "Was there a Shrine to the Moon Goddess Ix Chel on Cozumel Island?". ThoughtCo. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c d Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn 689-690
- ^ ZORICH, ZACH. "An Eye on Venus - Archaeology Magazine". www.archaeology.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "Have We Been Misreading a Crucial Maya Codex for Centuries?". 2016-08-23. Diakses tanggal 2017-12-12.
- ^ a b c d Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn. 684-685
- ^ a b c d Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn. 684
- ^ "Beginnings and Endings Of the Maya and the Milky Way, Powhatans and the Giant Hare, Prophecies and Time". www.history.org. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b "the world tree, milky way :mayankids::". www.mayankids.com. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b c Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy | Clive L.N. Ruggles | Springer (dalam bahasa Inggris). Hlmn 112.
- ^ "The Sydney Morning Herald - Google News Archive Search". news.google.com. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Norton-Taylor, Richard (2008-03-04). "Star turn: astrologer who became SOE's secret weapon against Hitler". The Guardian (dalam bahasa Inggris). ISSN 0261-3077. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "The Reagan Chart Watch". pqasb.pqarchiver.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-12-15. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ a b Truzzi, Marcello (1972-01-01). "The Occult Revival as Popular Culture: Some Random Observations on the Old and the Nouveau Witch". The Sociological Quarterly. 13 (1): 16–36. doi:10.1111/j.1533-8525.1972.tb02101.x. ISSN 0038-0253.
- ^ a b Nederman, Cary J.; Goulding, James Wray (1981). "Popular Occultism and Critical Social Theory: Exploring Some Themes in Adorno's Critique of Astrology and the Occult". Sociological Analysis. 42 (4): 325–332. doi:10.2307/3711544.
- ^ Adorno, Theodor W. (1974-03-20). "The Stars Down to Earth: The Los Angeles Times Astrology Column". Telos (dalam bahasa Inggris). 1974 (19): 13–90. doi:10.3817/0374019013. ISSN 0090-6514.
- ^ Inc., Gallup,. "Three in Four Americans Believe in Paranormal". Gallup.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "Many Americans Mix Multiple Faiths". Pew Research Center's Religion & Public Life Project (dalam bahasa Inggris). 2009-12-09. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Kaufman, Michael T. (1998-12-23). "Bangalore Venkata Raman, Indian Astrologer, Dies at 86". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "Fame and fortune". www.lifepositive.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "Indian Astrology vs Indian Science | Science and Technology | BBC World Service". www.bbc.co.uk. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "UGC Astrology Curriculum Guidelines". 2011-05-12. Archived from the original on 2011-05-12. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ "Astrology is a science: Bombay HC - Times of India". The Times of India. Diakses tanggal 2017-12-15.
- ^ Silberman, Bernard (1994). "Review of The Political Economy of Japan, Volume 3: Cultural and Social Dynamics". Journal of Japanese Studies. 20 (1): 155–162. doi:10.2307/132787.
- ^ Hooper, Rowan (2012-07-08). "How astrology and superstition drove an increase in abortions in Japan". The Japan Times Online (dalam bahasa Inggris). ISSN 0447-5763. Diakses tanggal 2017-12-15.
Daftar Pustaka
Buku
- Evans, James. (1998). The History and Practice of Ancient Astronomy (dalam bahasa Inggris). New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-509539-5.
- Heggie, D.C. (1982). Archaeoastronomy in the Old World (dalam bahasa Inggris). CUP. ISBN 0-521-24734-9.
- Holbrook, Jarita; Medupe, R. Thebe; Urama, Johnson O., ed. (2008-02-13). African Cultural Astronomy: Current Archaeoastronomy and Ethnoastronomy research in Africa (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2008 edition). Dordrecht: Springer. ISBN 9781402066382.
- Kelley, D.H. & Milone, E.F. (2005). Exploring Ancient Skies: An Encyclopedic Survey of Archaeoastronomy (dalam bahasa Inggris). Springer-Verlag. ISBN 0-387-95310-8.
- Lankford, John. (1997). History of Astronomy: An Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). New York: Routledge. ISBN 0-8153-0322-X.
- Levenda, Peter (2011). Tantric Temples: Eros and Magic in Java (dalam bahasa Inggris). Nicolas-Hays, Inc. ISBN 9780892541690.
- Magli, G. (2015). Archaeoastronomy. Introduction to the science of stars and stones (dalam bahasa Inggris). Springer, NY.
- Magli, Giulio (2009-04-28). Mysteries and Discoveries of Archaeoastronomy: From Giza to Easter Island (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2009 edition). New York, NY: Copernicus. ISBN 9780387765648.
- Nemet-Nejat, Karen Rhea (1998-09-24). Daily Life in Ancient Mesopotamia (dalam bahasa Inggris). Westport, Conn: Greenwood. ISBN 9780313294976.
- Ruggles, C.L.N. (2005). An Encyclopedia of Cosmologies and Myth : Ancient Astronomy (dalam bahasa Inggris). ABC-Clio. ISBN 1-85109-477-6.
- Ruggles, Clive L. N., ed. (2014). The Handbook of Archaeoastronomy and Ethnoastronomy (dalam bahasa Inggris). New York: Springer. ISBN 978-1-4614-6140-1. Kumpulan jurnal, tiga volume; 217 artikel.
- Ruggles, C.L.N.; Cotte, M., ed. (2010). Heritage Sites of Astronomy and Archaeoastronomy in the context of the UNESCO World Heritage Convention: A Thematic Study (dalam bahasa Inggris). Paris: ICOMOS / IAU. ISBN 978-2-918086-01-7. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-01-02. Diakses tanggal 2017-12-10.
- Selin, Helaine. (2000). Science Across Culture : The History of Non-Western Science (dalam bahasa Inggris). (I) Archaeoastronomy Across Culture. Springer-Science+Business Media, B.V. ISBN 978-94-011-4179-6.
- Soekmono (1976). Chandi Borobudur: A Monument of Mankind (PDF) (dalam bahasa Inggris). Paris: The Unesco Press. Diakses tanggal 30 November 2017.
- Unesco Publishing (2005). The Restoration of Borobudur (PDF) (dalam bahasa Inggris). Paris: The Unesco Press. Diakses tanggal 30 November 2017.
Pranala luar