Untuk pembahasan umum pada organisme yang hidup secara liar, lihat kehidupan liar.
Satwa liar atau hewan liar (bahasa Inggris: wild animals) adalah sebutan bagi hewan yang belum mengalami domestikasi. Sebagian besar satwa liar hidup di habitatnya. Namun, beberapa di antara mereka hidup cukup dekat dengan manusia dengan tingkat interaksi yang berbeda-beda. Banyak perilaku manusia yang membahayakan kelangsungan hidup satwa liar, tetapi ada pula kegiatan konservasi yang berusaha menjaga kelestarian mereka.
Definisi
Satwa liar adalah hewan yang belum didomestikasi dan biasanya hidup di lingkungan alami. Domestikasi merupakan proses adaptasi tumbuhan liar dan hewan liar, yang melibatkan perubahan genetik dan pembiakan selektif dari generasi ke generasi, sehingga mereka dapat hidup berdampingan dengan manusia.[1] Meskipun demikian, perbedaan antara satwa liar dan hewan domestik tidak selalu jelas. Beberapa satwa liar bisa menjadi jinak yang dapat menoleransi keberadaan manusia. Penjinakan adalah proses menjadikan satwa liar terbiasa dengan kehadiran manusia, tanpa mengubah susunan genetiknya.[2] Sebaliknya, hewan-hewan domestik juga bisa kehilangan sifat toleran terhadap manusia. Mereka disebut sebagai hewan feral.[3] Beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu hewan termasuk satwa liar atau domestik antara lain tingkat modifikasi genetik serta tingkat ketergantungan, pengendalian, dan interaksi hewan dengan manusia. Secara legal, definisi satwa liar mengacu pada hukum atau regulasi yang berlaku di suatu negara atau suatu perjanjian internasional.[4]
Kelangsungan hidup
Sejak sebelum proses domestikasi hewan, manusia telah hidup bersama satwa liar dengan interaksi yang terbatas. Seiring dengan perkembangan zaman, terutama sejak munculnya pertanian yang kemudian berlanjut dengan modernisasi, kendali manusia atas hewan semakin kuat, luas, dan kompleks.[5] Manusia merupakan faktor utama yang menyebabkan peristiwa kepunahan massal keenam, termasuk punahnya berbagai satwa liar, terutama golongan megafauna.[6][7]
Dampak perburuan terhadap satwa liar sangat bervariasi tergantung pada jenis, frekuensi, dan legalitas praktik perburuan.[10] Banyak satwa liar yang diburu untuk diambil daging, kulit, atau tanduknya, baik untuk diternakkan maupun untuk diperdagangkan secara komersial. Beberapa orang juga menjadikan berburu sebagai hobi dan olahraga,[11][12] atau sebagai kegiatan untuk mengurangi populasi satwa yang dianggap sebagai hama atau vermin.[13][14] Berbagai regulasi telah dibuat agar perburuan satwa liar menjadi aktivitas yang terkendali dan dapat diperkirakan dampak ekonomi, sosial, dan ekologisnya. Di Afrika Selatan, ribuan orang setiap tahun berpartisipasi dalam wisata berburu yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi negara ini.[15] Akan tetapi, perburuan ilegal—yang menurunkan populasi satwa dan merusak ekosistem—masih menjadi masalah yang ditemui di berbagai belahan dunia.[16] Sebagai contoh, lebih dari 100 ribu gajah afrika dibunuh antara tahun 2007 dan 2017 untuk diambil gadingnya.[17]
Perubahan penggunaan lahan oleh manusia berdampak terhadap habitat satwa liar. Deforestasi mengubah hutan menjadi lahan pertanian, peternakan, atau permukiman penduduk.[18]Rusaknya habitat dapat berujung pada hilangnya keanekaragaman hayati.[19] Satwa liar yang mengalami penyempitan tempat hidup—akibat terdesak oleh manusia—kemudian tinggal di lokasi yang lebih dekat dengan kehidupan manusia. Interaksi antara satwa liar dan manusia ini dapat berupa koeksistensi atau konflik.[20][21] Perubahan habitat tidak hanya dialami oleh satwa terestrial, tetapi juga satwa akuatik.[22] Polusi dan kerusakan fisik lingkungan akibat lalu lintas alat transportasi laut dan pekerjaan konstruksi turut berkontribusi pada perubahan ekosistem laut.[23][24]
Berbagai gerakan konservasi telah dibentuk untuk menjaga kelestarian satwa liar. Biologi konservasi muncul sebagai kajian multidisiplin yang banyak diteliti dan dipraktikkan di seluruh dunia. Banyak negara dan organisasi internasional, seperti Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), telah membuat regulasi tentang pelindungan alam, termasuk pelindungan satwa liar. Contoh penerapan regulasi tersebut adalah penetapan kawasan lindung serta penetapan status konservasi dan pelindungan terhadap spesies langka.[25][26]Daftar merah IUCN, yang pertama kali disusun pada tahun 1964, mengelompokkan spesies hewan dan tumbuhan berdasarkan ancaman atau risiko kepunahannya.[27] Sementara itu, CITES mengatur dan memastikan hewan dan tumbuhan yang diperdagangkan antarnegara tidak mengancam keberlangsungan spesies tersebut di alam liar.[28]