Angkatan '45 merupakan salah satu periodisasi dalam Sastra Indonesia. Corak sastra angkatan ini lahir sejak bangsa Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942. Corak ini timbul karena adanya reaksi terhadap sastra yang menghamba pada pemerintahan Jepang di Indonesia dan beberapa sastrawan yang tergabung dalam Keimin Bunka Shidosho, yang juga disebut sebagai kacung Jepang.
Karya sastra pada angkatan ini bercorak lebih realis dibandingkan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang romantis dan idealis. Selain itu, karya sastra angkatan ini diwarnai dengan pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya yang terjadi di tengah bangsa Indonesia. Gaya dari sastra ini lebih bersifat ekspresif dan revolusioner serta bersifat nasionalis.[1]
Sastrawan angkatan ini juga dikenal sebagai sastrawan yang "tidak berteriak tetapi melaksanakan".[1] Sastra angkatan 45 juga dikenal sebagai sastra yang bersifat wajar karena menggambarkan kehidupan sewajarnya dan memperkenalkan tokoh-tokoh dalam gaya yang dramatis, tidak mementingkan analisis fisik tetapi menonjolkan analisis kejiwaan melalui percakapan antar tokoh.