Rutah, kadang dieja sebagai Ruta, adalah sebuah negeri yang terletak di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Nama
Negeri ini mengambil namanya dari sebuah sungai yang mengalir dekat sana, yaitu Air Rutak. Kata "rutak" lambat laun berubah menjadi Rutah. Rutah kadang dieja sebagai Ruta, memiliki teunLounusa Tomarala yang artinya berkumpul di pulau dan maju terus.[1]Teun Negeri Rutah diduga berkaitan dengan peristiwa eksodusnya mereka dari tepian Teluk Elpaputih ke wilayah yang sekarang, menyusul terjadinya peristiwa tsunami yang meluluhlantakkan pesisir selatan Pulau Seram pada 29 September 1899.[1] Rutah kadang dikenal sebagai Amahai Islam.
Sejarah
Rutah bukan merupakan negeri adat yang tua dan kehadirannya sebagai sebuah negeri baru terjadi pada awal abad ke-19. Banyak yang menyebutkan bahwa penduduk Rutah adalah masyarakat Amahai yang beragama Islam. Mereka melakukan eksodus sejauh 3 km ke arah timur untuk mendirikan negeri baru.[2] Namun, sebagian sumber dan tuturan lisan di Soahuku menunjukkan bahwa penduduk Rutah adalah masyarakat Soahuku yang beragama Islam. Cerita bahwa Rutah merupakan hasil perpindahan masyarakat Amahai yang beragama Islam dikaitkan dengan peristiwa tsunami yang melanda Seram pada 1800an. Peristiwa itu disebut menenggelamkan permukiman masyarakat Amahai Muslim. Selain rumah-rumah, masjid juga ikut tenggelam. Tenggelamnya Tanjung Kuako menjadi pertanyaan bagi masyarakat Soahuku, soalnya tanjung tersebut berada dalam pertuanan mereka dan masih ada hingga saat ini.
Masyarakat Soahuku meluruskan perihal asal-usul orang Rutah, bahwa mereka adalah saudara-saudara yang beragama Islam dan di kemudian hari meminta kepada Raja Soahuku agar diperbolehkan untuk membuat dan menjalankan pemerintahan sendiri. Penduduk Soahuku yang menerima Islam pertama kali adalah matarumah Latarissa dari Soa Su'un. Islam pertama kali masuk pada abad ke-16 dan menurut sejarah lisan, dibawakan oleh Syekh Abdul Kalembi. Penduduk Soahuku yang beragama Islam berpusat di Namale.
Permukiman di Namale ini rusak sebagian akibat gelombang tsunami pada 1899. Masjid dan semuanya tenggelam. Trauma atas peristiwa tersebut menginspirasi matarumah Latarissa untuk berpindah dan membuat negeri tersendiri. Raja Alfaris Tamaela yang sedang memerintah di Soahuku mengizinkan perpindahan tersebut dan menunjuk Abdul Rauf Latarissa yang merupakan kepala Soa Su'un untuk memimpin perpindahan tersebut. Sebagian tanah pertuanan Soahuku dibagi kepada Negeri Rutah yang baru berdiri. Sumber di Soahuku menunjukkan bahwa Abdul Rauf Latarissa yang memimpin perpindahan ke Rutah nanti disahkan sebagai raja atau upu latu di negeri yang baru, yang menyebabkan kekosongan posisi kepala Soa Su'un. Kekosongan tersebut terjadi hampir seabad lamanya, hingga pada 29 Agustus 1991 atau tepat 92 tahun, kepala Soa Su'un kembali dijabat oleh anggota dari matarumah Latarissa, yakni Frans Latarissa, salah satu dari sedikit anggota keluarga itu yang memeluk agama Kristen. Catatan di Rutah, yang menjadi raja pertama adalah Ahmad Latarissa yang nanti membangun kembali masjid di negeri yang baru dan namanya diabadikan sebagai nama masjid tersebut.
Walaupun terjadi perpindahan dan perpisahan, hubungan penduduk Rutah dengan Negeri Soahuku terbilang kuat dan akrab. Antara 1931 hingga 1939, jabatan raja di Rutah kosong pasca turunnya Raja Abdul Rauf Latarissa, sehingga kekosongan tersebut diisi oleh Raja Christian Tamaela I. Jadilah selama delapan tahun, Raja Soahuku memerintah dua negeri.
Kondisi wilayah
Rutah terletak di Seram Selatan pada tepian Laut Banda, dengan panjang garis pantai mencapai 19,6 km.[1] Permukiman masyarakatnya berada di pesisir,[2] tetapi pertuanan negeri mencakup hutan, kebun, dan bukit-bukit di pedalaman negeri. Ketinggian rata-rata permukiman masyarakat Rutah hanya 8 mdpl, dengan luas negeri mencapai 40 km2,[2] setara dengan 4.000 hektare.[1]
Sebelah barat berbatasan dengan negeri Soahuku dan petuanan Amahai.
Demografi
Masyarakat Rutah terdiri dari penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli Rutah semuanya beragama Islam dan sejak pendiriannya, negeri ini dikategorikan sebagai negeri Salam. Rumah ibadah yang melayani jamaah Muslim di Rutah adalah Masjid Nur Ahmad, yang namanya terinspirasi dari sosok raja Rutah yang pertama, Ahmad Latarissa dan istrinya yang bernama Nurma. Nama Nur Ahmad sendiri artinya adalah 'cahaya pujian'. Penduduk asli Rutah tergolong sebagai orang Maluku asal Seram yang dikategorikan sebagai orang Ambon. Masyarakat Rutah masih bertalian darah dengan masyarakat di Soahuku maupun Amahai.[2][4]
Data tahun 2015 menunjukkan bahwa Rutah memiliki penduduk sejumlah 2.807 jiwa, dengan kepadatan penduduk 70,18 per km2. Penduduk Rutah adalah yang terbesar nomor tujuh di antara seluruh negeri di Kecamatan Amahai.[2]
Ekonomi
Dengan wilayahnya yang luas, Rutah memiliki potensi bidang pertanian dan perkebunan yang besar. Tanah yang ada tergolong subur dan oleh karenanya, banyak penduduk Rutah yang menggantungkan kehidupannya pada sektor ini. Ada 492 petani atau pekebun di Rutah. Komoditas andalan di negeri ini meliputi cengkih, pala, kakao, kelapa, langsat, dan durian. Sagu juga diberdayakan dan dipanen di beberapa lokasi di wilyah Rutah. Selain itu, pesisirnya yang panjang juga merupakan berkah tersendiri karena Rutah memiliki potensi perikanan yang lumayan menjanjikan, sayangnya masih terkendala peralatan yang belum modern dan masih terbatas. Namun, walaupun potensi yang dimiliki negeri ini sangat besar, penduduknya masih banyak yang hidup di bawah standar kesejahteraan. Bahkan, ada sumber yang menyatakan bahwa Rutah adalah negeri tertinggal. Terdapat 62 rumah tidak layak huni dan 70 keluarga miskin di Rutah.
Rutah juga memiliki potensi bahan tambang galian C, baik pasir maupun kerikil bangunan yan memadai. Ekstraksi sumber daya alam ini ditopang oleh pesatnya kebutuhan akan bahan bangunan baik di Ambon maupun Masohi, yang sedikit banyak membawa kerusakan lingkungan. Masyarakat Rutah menghadapi dilema, di satu sisi mereka perlu terus melakukan ekstraksi guna menopang perekonomian, sedangkan di sisi lain, ekstraksi berlebihan dapat mengancam lingkungan, termasuk merusak situs-situs yang potensial bagi perkembangan pariwisata. Apalagi Pemerintah Rutah berupaya mendongkrak perekonomian negeri melalui pariwisata.
Pemerintahan
Matarumah parentah yang berhak atas jabatan raja di Rutah secara turun-temurun adalah matarumah Latarissa. Namun, dalam sejarahnya, beberapa matarumah lain pernah memegang jabatan kepemimpinan di Rutah, salah satunya matarumah Lewenussa. Raja Rutah bergelar sebagai Upu Latu.[1] Negeri ini terbagi menjadi 2 dusun, yaitu dusun Haruo dan Aemrua, serta 5 RT.[1]
Hubungan sosial
Rutah berhubungan gandong (bersaudara secara darah) dengan empat negeri lain di Seram Selatan, yakni Soahuku (Lilipory Kalapessy;[1] negeri Sarane), Amahai (Lounusa Maatita;[1] negeri Sarane), Haruru (Suilei Akamahoru;[1] negeri Sarane), dan Makariki (Siwalette Maatita;[1] negeri Sarane). Kelima negeri tersebut dikenal sebagai Inta Lourima Wariwa'a.
Bartels mencatat bahwa Rutah mengangkat pela dengan negeri mana pun yang ber-pela dengan Soahuku. Dalam hal ini, Soahuku berpela dengan Ameth, sehingga Rutah pun secara tidak langsung ber-pela dengan Ameth.