Rabiah Al-Adawiyah (bahasa Arab: رابعة العدوية القيسية) dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya terhadap Allah.[1][2][3] Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, di mana ia terkenal dengan sebutan al-Qaysiyah.[4][5] Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah.[1][2][3][4][5][6][7] Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.[4][5] Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.[3] Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan.[3][4][5] Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya.[2] Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri.[1] Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa.[6] Hal ini membuat banyak cendekiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.[2][6]
Biografi
Kelahiran
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717 Masehi.[6][8] Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat.[6][8] Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.[6] Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.[6]
Menjadi yatim piatu
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama.[6] Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu.[6] Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah.[6] Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain.[6] Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.[6]
Menjadi hamba sahaya
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup.[6] Dalam pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri.[6] Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang.[5][6] Pedagang yang membeli Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari.[5][6] Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah.[5][6] Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun[5][6] Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Ibrani yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci.[5]
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah.[5][6] Sebelum Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.[6]
Kehidupan sebagai sufi dan pilihan untuk tidak menikah
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir.[5] Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal.[5] Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah.[5] Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid.[3] Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran.[3] Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H).[3] Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.[6] Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah.[5][6] Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.[5][6] Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kematian Rabi'ah.[6] Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah.[5][6] Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam.[6] Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah.[5][6] Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah.[5][6] Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.[5][6]
Akhir hidup
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai menurun.[6] Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya.[6] Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain,[3] sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama.[6] Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak.[3][5][6] Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.[1][2][3][4][5][6][7]
Ajaran
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka.[1] Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih)[1] dan uns (kedekatan dengan Tuhan).[2] Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam.[2] Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada ornag lain.[3] Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah menjawab:
Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu.[3] Sesungguhnya Allah lah yang memberi rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya.[3] Apakah Dia yang memeberi rezeki kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).[3]
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada nerakanya.[3] Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah sebagai kekasihnya.[3]
Para ulamatasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya.[3]
Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah.[7] Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar.[6]
Pengaruh terhadap perkembangan sufisme
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar.[5] Sebagai seorang guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi.[5] Di antaramereka adalah Abu Thalib al-Makki, As-Suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.[5]
Syair-syair
Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak tasawuf Rabi’ah.[7]Syair-syair kecintaannya kepada Allah kemudian banyak keluar dari ucapan sufi-sufi besar seperti Fariduddin Al-Athar, Ibnu Fardih, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi telah dimulai lebih dahulu oleh Rabi’ah.[7] Setengah dari syairnya adalah:
Aku cinta padamu dua macam cinta
Cinta rindu dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku Adapun cinta, karena Engkau Hanya Engkau yang aku kenang Tiada yang lain Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya Agar Engkau buka kan aku hijab Supaya aku dapat melihat Engkau Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri[7]
Al-Ghazali memberikan pendapatnya tentang syair Rabi’ah itu.[7] Menurut Al ghazali, yang dimaksud dengan cinta kerinduan adalah cinta akan Allah karena nikmat-Nya diatas dirinya karena Allah telah menganugerahinya hidup sehingga ia dapat menyebut nama-Nya.[7] Dan cinta kedua, yaitu cinta karena Allah berhak menerimanya, ialah cinta karena menyaksikan keindahan Allah dan kebesarannya yang kian hari kian terbuka baginya.[7] Maka itulah cinta yang setingi-tingginya.[7]
Dalam syair yang lain, Rabi’ah berkata:[7]
Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam hidupku
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk isimku biar bercengkrama dengan tolanku
Tujuan Rabi’ah yaitu kepada Tuhan karena Tuhan, bukan kepada Tuhan karena mengharap.[7] Sehingga ia menuliskan lagi syair seperti ini:[7]
Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa neraka,
maka bakarlah aku dengan neraka-Mu. Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Illahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang azali.[1][7]
Referensi
^ abcdefg(Indonesia) Shadily, Hasan. "Ensiklopedia Indonesia". Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwx(Inggris) Margaret Smith (1928). "Rabia The Mystic & Her Fellow Saints in Islam". London: Cambridge University Press.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeafagahai(Indonesia) Muhammad Atiyah Khamis (1994). "Penyair Wanita Sufi: Rabiah Al-Adawiyah". Jakarta: Pustaka Firdaus.Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcdefghijklmno(Indonesia) Hamka, Buya (1953). "Perkembangan Tasawuf dari abad ke abad". 2. Jakarta: Penerbit Pustaka Islam: 69.