Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Ta'i (bahasa Arab: محمد بن علي بن محمد بن عربي الحاتمي الطائي, translit. Muḥammad bin ʿAlī bin Muḥammad bin ʿArabī al-Ḥātimī aṭ-Ṭāʾī; 1165–1240) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi adalah seorang sufi, penyair, dan penulis yang sangat terkenal dalam perkembangan tasawuf.[1] Dari 850 karya yang ditulisnya, sekitar 400 judul masih ada hingga saat ini. Futūḥāt al-Makkīyah, salah satu karyanya yang sangat terkenal, merupakan kompendium ajaran Islam yang meliputi ontologi, kosmologi, hagiologi, tafsir, fiqih dan lainnya;[2] dan memberi pengaruh besar di dunia Islam.
Secara tradisional, Ibnu Arabi mendapat gelar sebagai Muḥyīddīn (bahasa Arab: محيي الدين, har.'Penghidup Agama').[2][3] Setelah wafat, beberapa sufi memberinya gelar kehormatan Syekh al-Akbar (bahasa Arab: الشيخ الأكبر, har.'Guru Terbesar')[4]—yang darinya istilah "madzhab Akbarian" diambil—dan membuatnya juga dikenal sebagai Doctor Maximus (Guru Terbesar) di kalangan orang-orang Eropa Abad Pertengahan.
Biografi
Ibnu Arabi lahir di Mursia, Al-Andalus (sekarang Spanyol) pada 17 Ramadan 560 H (28 Juli 1165 M),[5] atau menurut beberapa sumber lain pada 17 Ramadan 560 H (5 Agustus 1165 M).[2] Nama kecilnya adalah Muhammad,[4] tetapi kemudian dipanggil 'Abū 'Abdullāh (artinya: ayah dari Abdullāh) setelah dia memiliki putra—sebagaimana tradisi Arab klasik pada umumnya. Dalam beberapa karyanya, Ibn 'Arabî kerap menyebut dirinya dengan nama: Abû 'Abdullâh Muhammad ibn 'Alî ibn al-'Arabî al-Tâ'î al-Hâtimî,[4][5] di mana tiga nama terakhir menunjukkan silsilah keluarga Arabnya yang terkenal. Memang, Hâtim al-Tâ'î dikenal sebagai penyair mahsyur Arab pra-Islam dari suku Ta'i (sekarang di Yaman).[2][6]
Keluarga
Keluarga ibunya berasal dari suku Berber, Afrika Utara. Hal ini disinggung dalam tulisannya terkait pamannya dari pihak ibu, seorang pangeran di Tlemecen (Aljazair), yang mengambil jalan sufi.[7] Adapun keluarga ayahnya berasal dari Yaman, dan termasuk salah satu galur Arab tertua yang menetap di Andalusia. Leluhur dari pihak ayahnya kemungkinan sudah migrasi ke Semenanjung Iberia bersamaan dengan gelombang penaklukan kaum muslim atas Andalusia.[2]
Ayahnya, 'Ali ibn Muhammad, merupakan seorang jendral yang mengabdi kepada penguasa Mursia, Ibnu Mardanīsh.[5] Ketika Mursia jatuh ke tangan Kekhalifahan Almohad pada tahun 1172, Ibnu Mardanīsh turut terbunuh dalam pertempuran. Atas permintaan penguasa Almohad, ayahnya kemudian berjanji setia kepada khalifah Abū Ya'qūb Yūsuf.[2] Saat itu Ibnu ʿArabī baru berusia 7 tahun, dan keluarganya kemudian pindah dari Mursia ke Sevilla.
Ibnu Arabī memiliki tiga istri. Dia menikahi Maryam, seorang wanita dari keluarga berpengaruh,[8] ketika dia masih muda dan tinggal di Andalusia. Maryam mengikuti aspirasi Ibnu Arabi dalam menempuh jalan sufi, sebagaimana dikutip Austin dalam Sufi-Sufi Andalusia:
Istriku yang suci, Maryam binti Muhammad binti Abdun, berkata, "Aku telah melihat dalam tidurku seseorang yang belum pernah kulihat secara fisik, tetapi yang muncul kepadaku pada saat ekstasi (spiritual)-ku. Dia bertanya kepadaku apakah aku mencita-citakan jalan [suluk]? Dan saya jawab: tentu saja, tetapi saya tidak tahu bagaimana cara untuk mencapainya. Dia kemudian memberi tahu bahwa saya akan mencapainya melalui lima hal: kepercayaan, tekad, kesabaran, kegigihan, dan keberanian." Kemudian istriku menceritakan penglihatannya kepadaku (untuk saya pertimbangkan) dan saya mengatakan kepadanya bahwa itulah metode kaum sufi.[9]
Ketika Ibn Arabī tinggal di Anatolia selama beberapa tahun pada tahun sejak 1216, menurut berbagai sumber Arab dan Persia, dia menikahi janda Majduddin dan bertanggung jawab atas pendidikan putranya yang masih kecil, Sadruddin al-Qunawi.[2] Ibn Arabī juga menyebutkan istri lainnya dalam beberapa tulisannya, yakni ibu dari putranya yang bernama Imāduddin, kepada siapa dia mewariskan salinan pertama Futūḥāt al-Makkīyah.[2]
Penglihatan Pertama
Ibnu Arabī lahir di masa perang. Tiga bulan pasca kelahirannya, pasukan Almohad sudah mengepung kota Mursia pada 1165, namun baru jatuh tahun 1172. Seperti yang diaakuinya dalam Futūḥāt al-Makkīyah, dia lebih suka bermain di kamp militer dengan teman-temannya daripada membaca buku. Namun, hal itu tidak mencegah takdirnya untuk menjadi seorang sufi besar. Ketika masih berusia remaja, Ibnu Arabī mengalami penglihatan pertamanya (fanā) saat sedang berkhalwat:
Aku mulai berkhalwat sebelum fajar dan mendapat pencerahan sebelum matahari terbit ... aku bertahan di tempat itu selama empat belas buland dan dengannya menerima rahasia yang kemudian kutuliskan. Keterbukaan spiritual yang kualami, di waktu itu, sungguh memikat hati.[10]
Melihat perubahan putranya, ayahnya yang merupakan sahabat Ibnu Rusyd, mengabari peristiwa yang dialami Ibnu Arabī. Dan atas permintaan ayahnya, Ibnu Arabī kemudian mengunjungi Ibnu Rusyd di Kordoba. Pertemuan ini dikisahkan oleh Ibnu Arabī dalam Futūḥāt al-Makkīyah.[11]
Pengembaraan ke Timur
Ibnu Arabi dikenal merupakan seorang filsuf dan salah satu sufi terbesar dalam dunia Islam. Ia lahir di Mursia, Spanyol. Kelahirannya bertepatan pada era mulukut thawaif (pecahnya kerajaan menjadi kerajaan-kerajaan kecil), konflik, dan penyerangan kelompok reconquista (perebutan Andalusia oleh Kristen).
Ia memulai pendidikan awalnya di Lisabon, kemudian pindah dan menetap di Sevilla. Selama dia menetap di sana, Ibnu Arabi melakukan banyak rihlah ilmiah ke berbagai daerah seperti Tunisia, Aljazair, Makkah, dan Mesir. Pertama kali meninggalkan Andalusia pada tahun 1198, ia pergi ke Fez, Maroko.[1] Ia bertemu dengan banyak sekali guru. Keterangan dalam Futūḥāt al-Makkīyah memberikan penjelasan bahwa Ibnu Arabi bertemu dengan banyak sekali sufi dan filsuf terkemuka, serta para intelektual lintas agama.
Pergumulannya dengan banyak pemikiran mengantarkan Ibnu Arabi memiliki ketajaman intelektualitas yang tinggi. Hingga kemudian, di akhir perjalanan intelektual dan spiritualnya, ia menempuh jalan menjadi seorang sufi. Syaikh Al-Akbar merupakan julukan atas kebesarannya sebagai seorang sufi yang namanya hanya dapat ditandingi oleh Al-Ghazali.
Ibnu Arabi termasuk salah satu intelektual yang produktif. Setiap kali rihlah ia selalu menuliskan satu atau beberapa karya.
Bidang Al-Quran pun juga tidak luput dari goresan tintanya, hingga akhirnya ia menelurkan dua buah karya tafsir Al-Quran fenomenal yang bertajuk Fusus al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah. Sebagaimana mufasir dengan latar belakang sufi, tak pelak lagi, kedua kitab hasil penafsiran Ibnu Arabi tersebut sangat bernuansa sufistik.
Akhir Hayat
Setelah meninggalkan Andalusia untuk selamanya pada usia 33 tahun (1198 M), dan mengembara ke berbagai penjuru dunia Islam mulai dari Maroko, Aljazair, Mesir, Mekah, Syiria dan Anatolia selama hampir 25 tahun, pada tahun 1223 dalam usia 58 tahun Ibnu Arabi memilih Damaskus sebagai rumah terakhirnya. Di kota ini Ibnu Arabi mendedikasikan seluruh waktunya untuk menulis, termasuk menghasilkan Fushūsh Al-Ḥikam pada 1229 dan menyelesaikan dua naskah Futūḥāt al-Makkīyah pada tahun 1231 dan 1234.[2]
Ibnu Arabi wafat di Damaskus dalam usia 78 tahun komariah pada 20 Rabi'ul Akhir 638 H (usia 75 tahun syamsiah, 8 November 1240). Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Banu Zaki, pemakaman keluarga salah satu bangsawan Damaskus,[2] di bukit Qashiyun, Salihiyya, Damaskus.[12]
Pengaruh Ibnu Arabi
Pengaruh Ibnu Arabi dalam bidang tasawuf, khususnya tasawuffilosofis, sangat luar biasa. Gagasan Ibnu Arabi menyebar luas dan memiliki pengikut yang tidak sedikit jumlahnya.
Di Indonesia, paham wahdah al-wujud Ibnu arabi berpengaruh besar. Terbukti dengan banyak ulama Indonesia yang memakai prinsip wahdah al-wujud, di antaranya: Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani dan Abdus Samad al-Palimbani.
Karya-karya
Ibnu Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang paling dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah juga Tarjuman al-Asywaq. Futuhat adalah karya besar yang menyingkap ilmu gaibul gaib uluhiyat & rububiyyat yang sangat dalam sesuai dengan keterbukaan sang syekh dari Yang Haq (Allah). yang penulisan buku tersebut berhubungan dengan permohonan sang syekh ketika di Mekkah.
^ abcdefghijAddas, Claude (2019). Ibn Arabi: The Voyage of No Return. Cambridge: Islamic Texts Society. ISBN9781911141402.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcChittick, William (2018). "Ibn Arabi". In Zalta, Edward N. (ed.). Stanford Encyclopedia of Philosophy. Stanford: Metaphysics Research Lab, Stanford University.
^Hirtenstein, Stephen (1999). The Unlimited Mercifier: The Spiritual Life and Thought of Ibn 'Arabi. Oxford: Anqa Publishing. ISBN9781883991296.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Chittick, William C. (2007). Ibn 'Arabi: Heir to the Prophets. Oxford: Oneworld Publications. ISBN9781851685110.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Austin, R.W.J. (1988). Sufi-Sufi Andalusia: Terjemahan dari The Ruh Al-Quds dan Al-Durrat Al-Fakhirah. New Leaf Distributing Company. ISBN9780904975130.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Wasa'il As-Sa'il, M. Profitlich (editor). Fribourg, 1973, hal. 21.
^Ibnu Arabi, Futūḥāt al-Makkīyah. Terbitan Kairo (1329 H), iilid I, bab ke-15, hal.153-154.
Rustom, Mohammed (2014). "Ibn ʿArabī's Letter to Fakhr al-Dīn al-Rāzī: A Study and Translation". Journal of Islamic Studies. 25 (2): 113–137. doi:10.1093/jis/ett071.