Puisi lamaPuisi lama adalah puisi yang penulisannya masih terikat oleh peraturan tertentu. Aturan di dalam puisi lama berkaitan dengan jumlah kata atau suku kata dalam tiap baris, jumlah baris yang terdapat dalam tiap bait, serta rima, dan irama.[1] Jenis puisi lama yaitu mantra, pantun, karmina, seloka, gurindam, syair dan talibun.[2] Ciri-ciriPuisi lama umumnya merupakan puisi rakyat yang nama penulisnya anonim. Penulisan puisi lama masih mengikuti aturan-aturan yang jelas dan tidak dapat diubah. Aturan ini berhubungan dengan penentuan jumlah suku kata dalam tiap baris, jumlah baris pada tiap bait, dan penggunaan sajak. Gaya bahasa pada puisi lama menggunakan majas dan sifatnya tetap serta klise. Kandungan isi dalam puisi lama menceritakan tentang sejarah kerajaan, kemegahan istana dan kehidupan di dalamnya, serta kejadian-kejadian ajaib.[3] Selain itu, puisi lama merupakan salah satu jenis sastra lisan yang disampaikan secara turun-temurun sehingga bersifat anonim (tanpa pengarang) dan terkesan kaku karena harus mengikuti aturan persajakannya.[4] JenisMantraPenulisan mantra berbentuk bait dengan keberadaan rima yang tidak menentu. Mantra lebih mengutamakan irama dibandingkan rima. Bahasa yang digunakan di dalam mantra adalah metafora dan dianggap memiliki kekuatan sihir atau doa.[4] Mantra hanya boleh diucapkan atau dibacakan oleh pawang atau dukun. Penggunaan utama dari mantra adalah untuk mencegah terjadinya bencana. Penggunaan mantra merupakan bagian dari budaya Indonesia. Dalam masyarakat Melayu, mantra digunakan untuk keperluan adat dan kepercayaan mistis dan jarang digunakan sebagai karya sastra.[5] PantunPantun adalah puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat baris. Setiap barisnya terdiri atas 8–12 suku kata. Bari di dalam pantun terbagi menjadi sampiran dan isi. Sampiran berada di baris pertama dan baris kedua, sedangkan isi berada di baris ketiga dan baris keempat. Pola sajak pada pantun adalah a-b-a-b. Pantun memperhatikan penggunaan rima. Kalimat pertama dan kalimat ketiga mempunyai bunyi akhir yang sama. Kalimat kedua dan keempat juga memiliki bunyi akhir yang sama.[6] SalokaSaloka adalah pantun yang mempunyai beberapa bait saling sambung-menyambung. Nama lain dari saloka adalah pantun berkait atau pantun berantai. Baris pertama dan ketiga pada bait kedua menggunakan isi yang sama dengan baris kedua dan keempat dari bait pertama. Pola ini digunakan secara terus-menerus pada bait berikutnya.[7] Kata "saloka" merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu sloka. Seloka merupakan salah satu jenis puisi Melayu klasik yang berisikan pepatah atau perumpamaan. Pesan yang disampaikan di dalam seloka dapat berupa candaan, sindiran atau ejekan. Saloka umumnya ditulis dalam bentuk pantun atau syair dengan empat baris. Selain itu, ada juga saloka yang ditulis lebih dari empat baris.[8] GurindamGurindam adalah salah satu jenis puisi yang memadukan antara sajak dan peribahasa. Jumlah baris pada gurindam hanya dua dengan rima a-a. Gurindam berisi ajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan nasihat keagamaan. Baris pada gurindam disebut sebagai syarat dan akibat. Syarat merupakan baris pertama dan akibat sebagai baris kedua.[9] Baris pertama membahas tentang persoalan, masalah atau perjanjian, sedangkan baris kedua memberitahukan jawaban atau penyelesaian dari bahasan pada baris pertama.[10] TalibunTalibun adalah pantun yang memiliki susunan genap antara enam hingga sepuluh baris. Pada talibun, tiap bait dibagi menjadi sampiran dan isi. Pembagian baris sampiran dan baris isi ditentukan oleh jumlah baris keseluruhan yang kemudian dibagi menjadi dua.[7] Talibun umumnya digunakan dalam acara berbalas pantun sebagai pengganti pantun empat larik seuntai. Penggunaan talibun di dalam acara berbalas pantun memudahkan pengungkapan gagasan dalam bentuk dialog.[11] Referensi
Daftar pustaka
|