Ada banyak teori yang dikemukakan mengenai politik pada buku-buku Harry Potter karya J. K. Rowling, mulai dari yang berisi kritikan rasisme hingga sentimen antipemerintah. Menurut Inside Higher Ed, sejumlah tesis doktoral telah dikhususkan untuk buku-buku Harry Potter.[1] Ada juga beberapa mata kuliah di universitas yang berpusat pada analisis serial Potter, termasuk bidang ilmu politik lanjutan.[2]
Majalah Time menjabarkan aspek politik dan sosial Harry Potter dalam edisi Person of the Year 2007 ketika Rowling menempati posisi ketiga setelah politisi Vladimir Putin dan Al Gore.[3] Potensi dampak sosial dan politik Harry Potter disebut mirip dengan fenomena abad ke-19 pada buku Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe yang populer, tetapi difitnah secara kritis dan yang memicu lahirnya gerakan abolisionis yang mengarah pada Perang Saudara Amerika.[4]
Ketika ditanya tentang politik dan pesan dalam Harry Potter, Rowling menjelaskan, "Saya ingin Harry meninggalkan dunia kita dan menemukan masalah yang sama persis di dunia sihir. Jadi, Anda memiliki niat untuk memaksakan hierarki,kefanatikan, dan gagasan kemurnian, yang merupakan kekeliruan besar tetapi muncul di seluruh dunia. Orang-orang suka menganggap diri mereka lebih unggul dan membanggakan diri sendiri. Hal itu tidak benar-benar eksklusif. Saya pikir Anda dapat melihatnya di Kementerian Sihir, bahkan sebelum diambil alih Voldemort, bahwa ada persamaan dengan rezim yang kita semua kenal dan cintai."[5] Dia juga berkata, "Anda harus mempermasalahkan kewenangan dan Anda tidak boleh berasumsi bahwa instansi pemerintah atau media memberitahu Anda semua kebenaran."[6]
Wall Street Journal membandingkan PM Inggris Neville Chamberlain dengan Menteri Sihir Cornelius Fudge, mengungkapkan bahwa keduanya ingin membantu konstituen mereka mencari cara lain untuk menghindari perang. "Sepanjang tahun 30-an, Chamberlain khawatir atas keluarnya Churchill, dan melakukan kampanye melawan sesama Tory. Chamberlain mencoba menghindari perang dengan Jerman, dan mengejek Churchill sebagai 'pembawa perang'. Dia memanfaatkan The Times—organ dalam pemerintah —untuk menyerang Churchill dan menekan informasi dari luar negeri mengenai Nazi yang bisa menyudutkannya."[7] Rowling menegaskan Chamberlain adalah salah satu inspirasinya.[8]
Rowling juga mengatakan kepada surat kabar Belanda de Volkskrant bahwa Voldemort menyerupai Hitler dan Stalin, sosok megalomaniak dan paranoid, dan ia dipengaruhi oleh Perang Dunia Kedua, yang "berlabuh di semua pikiran kita". Mengenai Draco Malfoy, Rowling mengklaim "Draco Malfoy memang mendukung tipe anak laki-laki seperti itu. Dia tidak akan membunuh Dumbledore, dia tidak bisa. Selama semuanya imajiner, oke, tapi begitu itu menjadi kenyataan, masalahnya menjadi lebih sulit. Saya memberinya rambut pirang terang bukan karena saya ingin membuatnya menjadi Nazi yang menakutkan. Anda memberi karakter Anda penampilan yang menurut Anda menarik".[9]
Referensi
Pranala luar
Carrie-Ann Biondi ed., "Imagining Better: Philosophical Issues in Harry Potter," collection of essays on philosophy and politics of Harry Potter in Reason Papers: A Journal of Interdisciplinary Normative Studies, vol. 34, no. 2 (June 2012).