Pertempuran Gunung Putih (bahasa Ceko: Bitva na Bílé hoře; bahasa Jerman: Schlacht am Weißen Berg) merupakan pertempuran besar pertama di tahap awal Perang Tiga Puluh Tahun.[2] Pertempuran ini merupakan pertempuran terpendek dalam sejarah Ceko, dengan dampak jangka panjang terbesar. Pertempuran ini menandai berakhirnya keragaman budaya religius di Bohemia di akhir Abad Pertengahan.[2]
Pendahuluan
Penduduk Protestan di Bohemia menuntut haknya yang telah disepakati dalam Surat Yang Mulia yang telah disepakati bersama dan dikeluarkan Kaisar Rudolf II pada tahun 1609. Kesepakatan tersebut menjamin kebebasan beragama di seluruh tanah Bohemia.[3] Kemudian pada bulan Mei 1618, sejumlah warga Bohemia menyampaikan keluhan mereka tentang masalah ini dan isu lainnya. Sekelompok bangsawan Bohemia bertemu dengan perwakilan kaisar di Istana Kerajaan di Praha. Pertemuan tersebut diakhiri dengan pelemparan dua perwakilan kaisar dan sekretarisnya. Mereka dilempar dari jendela tinggi dan terluka parah. Peristiwa ini dikenal sebagai Pelemparan di Praha kedua dan memicu serangkaian pemberontakan di Bohemia; yang merupakan awal dari Perang Tiga Puluh Tahun.[4] Akibat hal ini, Friedrich V diminta menjadi raja Bohemia. Dia menerima tawaran tersebut dan dinobatkan pada tanggal 4 November 1619.[5]
Pertempuran
Sekitar 20.000 hingga 21.000 tentara Bohemian dan tentara bayaran bertempur dengan koalisi Habsburg-Katolik dengan jumlah kekuatan yang jauh lebih besar di Gunung Putih (Bílé hoře). Pertempuran ini terjadi pada tanggal 8 November 1620, di dekat Praha, yang dipimpin oleh Maximilian I dan Pangeran Johann von Tilly. Pasukan Habsburg dan sekutu mereka di Liga Katolik mengalahkan tentara Ceko dalam sebuah pertempuran yang berpengaruh besar dalam sejarah Ceko hingga awal abad 20. Pertempuran ini bukan Pertempuran Nasional Ceko melawan Jerman, melainkan pertempuran antara bangsawan Protestan di Bohemia, Ceko dan Jerman, serta dinasti HabsburgKatolik dengan sekutu mereka.[6] Pertempuran Gunung Putih lebih merupakan pertengkaran daripada pertempuran. Hal ini dikarenakan jumlah tentara Bohemia tidak sebanding dengan pasukan bersenjata Kaisar Ferdinand II. Pertempuran ini hanya berlangsung satu jam, yang membuat tentara Bohemia kewalahan. Sekitar 4.000 pemeluk Protestan tewas dan sebagian lainnya diasingkan. Sementara korban di pihak Kekaisaran hanya berjumlah sekitar 700 orang.[4]
Ferdinand II memutuskan untuk menghukum penduduk Ceko akibat serangkaian pemberontakan yang merupakan perlawanan terhadap peraturan Habsburg atas wilayah tersebut. Dia mengembalikan agama Katolik sebagai bagian dari identitas nasional Ceko, yang terkenal dengan motto-nya, "Lebih baik sebuah negeri padang pasir daripada suatu negara yang dipenuhi orang-orang sesat."[7] Pada tanggal 21 Juni 1621 pagi, sebanyak 27 warga kota dan bangsawan dieksekusi di alun-alun Old Town, Praha. Kepala mereka dipenggal dan dipertontonkan pada salah satu menara di Jembatan Charles. Penggalan kepala tersebut masih terdapat di sana hingga dilakukan penguburan formal di Katedral Týn beberapa dekade berikutnya.[6] Pada tahun 1622, Friedrich V, seorang raja dari Palatine melarang praktik iman Lutheran. Dia juga memerintahkan semua orang Lutheran (yang kebanyakan dari mereka tidak terlibat pemberontakan) untuk mengubah keyakinannya atau meninggalkan negara tersebut pada tahun 1626.[8] Dua tahun kemudian, Friedrich V juga melakukan pengusiran imam non-Katolik dan melarang orang awam menerima komuni dengan sebuah Keputusan Kekaisaran, bahwa Katolik adalah satu-satunya denominasi yang diizinkan di Kerajaan Bohemia. Tiga tahun kemudian, pada bulan Juli 1627, Paten Pengkatolikan memaksa bangsawan Protestan untuk memilih agama Katolik atau keluar dari wilayah tersebut. Kebijakan ini mengakibatkan berpindahnya sekitar 20 persen bangsawan Bohemia dan Moravia.[6]
Dua puluh tujuh salib putih, kini ditanam di trotoar alun-alun Old Town, sebagai bentuk penghormatan bagi para korban eksekusi. Setelah eksekusi, Friedrich V melawan para bangsawan dan warga Ceko dengan merebut tanah milik bangsawan Protestan dan menjualnya atau memberikannya kepada kerabatnya di Habsburg. Tentara bayaran pasukan Habsburg diberi kompensasi dengan tanah, hal ini menyebabkan bangsawan asal Spanyol, Flemish, Irlandia, Italia, dan Jerman menjadi elite baru di jajaran pemilik tanah. Klerus Katolik mendapatkan kembali status mereka yang hilang sebagai ahli waris dan tetap menjadi sekutu kuat dinasti Habsburg.[6] Peraturan Pemerintah atas tanah Ceko (1627) menetapkan dasar hukum bagi absolutisme dinasti Habsburg. Semua tanah di Ceko dinyatakan sebagai properti turun temurun dinasti Habsburg. Fungsi legislatif dewan dari Bohemia dan Moravia dicabut. Semua undang-undang berikutnya harus berdasarkan keputusan kerajaan, dan hanya menerima persetujuan formal dari dewan. Pejabat tertinggi kerajaan, yang dipilih dari kalangan bangsawan setempat, akan dipilih dengan ketat oleh raja. Dengan demikian, Kerajaan di Bohemia yang otonom berubah. Penduduk JermanKatolik yang berasal dari Jerman Bagian Selatan yang bermigrasi ke Bohemia banyak mempengaruhi aturan dinasti Habsburg. Penduduk Jerman menjadi pemilik sebagian besar tanah Ceko dan menjadi bangsawan Bohemia baru. Para bangsawan KatolikCeko yang tersisa secara bertahap meninggalkan Ceko dan menjadi pelayan setia sistem Kekaisaran. Imigran Katolik Jerman mengambil alih perdagangan dan industri.[9] Setelah kekalahan Ceko, perang agama tetap berlanjut. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-48) antara pangeran ProtestanJerman melawan Kaisar Romawi Suci melibatkan kekuatan asing yang melampaui wilayah Jerman sendiri. Ceko bertempur di semua sisi, dan sebagian besar jenderal Ceko yang memberontak bergabung dengan tentara Protestan.[9]
Pengaruhnya hingga kini
Pertempuran Gunung Putih bukan hanya titik puncak keterlibatan militer Maximilian I dan Friedrich V dalam Perang Tiga Puluh Tahun. Pertempuran ini juga melibatkan para intelektual dan seniman dari kedua belah pihak mengobarkan perang lewat kata-kata dalam bentuk panegirik, lembar lebar, satire, lagu 'rakyat', permadani, monumen, dan potret. Banyak dari penulis dan seniman menggunakan bakat mereka dalam memberikan pengaruh sesuai pandangan dunia masing-masing. Bersamaan dengan hal itu, perjuangan antara Friedrich V dan Maximilian I mengenai status kepemilikan tanah Palatine, memainkan peran penting dalam memperpanjang Perang Tiga Puluh Tahun.[2] Salah satu intelektual Protestan yang meninggalkan tanah air mereka adalah John Amos Comenius. Dia adalah seorang pendidik humanis yang kehilangan karya satirnya pada tahun 1623. Karyanya berjudul The Labyrinth of the World and the Paradise of the Heart, sempat hilang di Bohemia hinga akhir abad ke-18. Comenius telah menjadi pemimpin Kelompok Persaudaraan di Moravia dan menjadi seorang uskup setelah bergabung dengan kelompok berbeda dari kepercayaannya; untuk melarikan diri dari kebijakan Kontra-reformasi di Bohemia. Comenius akhirnya pindah ke Amsterdam, di mana dia meninggal pada tahun 1670. Namanya diresmikan menjadi nama sebuah universitas di Bratislava.[6]
Pada tanggal 10 November 1622, Kaisar Ferdinand II mengumumkan penyatuan Universitas Praha dengan KoleseYesuit.[2] Penggunaan tata ruang yang direvisi pada tahun 1627 (Verneuerte Landesordnung) juga merupakan dokumen kunci yang berisi perintah mengenai pemberlakuan Katolik sebagai satu-satunya agama yang dapat ditoleransi secara hukum di Bohemia. Ferdinand II memberi kontrol Yesuit atas penyensoran, sekolah, dan Universitas Praha.[2] Keputusan Ferdinand II tentang kebijakan Gunung Putih didasarkan pada pemahamannya tentang hak-hak hukumnya. Dengan kata lain, Ferdinand percaya bahwa Bohemia dan Negara Bagian Austria Hulu telah kehilangan hak mereka karena pemberontakan. Namun, di Austria Bagian Dalam dan Hilir, dia menghormati tradisi hukum mereka justru karena mereka tidak pernah menentang.[10] Universitas Praha, telah lama menjadi pusat intelektual religius reformasi, yang ditempatkan di bawah wewenang Yesuit, dan bergabung dengan Klementinum pada tahun 1653. Rektor Universitas Karl Ferdinand ditunjuk sebgaai pengelola semua sekolah di kerajaan yang menjunjung tinggi pembatasan dengan diberlakukannya penyensoran tingkat tinggi. Sebagai instrumen penyensoran, uskup Antonin Konia membuat "Indeks Buku Terlarang dan Berbahaya" yang di dalamnya mencakup hampir semua literatur di Ceko, khususnya karya penulis Hussite, Lutheran, dan Kalvinis. Bahkan bahasa itu sendiri dicurigai. Pengajaran bahasa Ceko hanya diperbolehkan pada tingkat awal sekolah, di mana bahasa Jerman mendapat status bahasa resmi. Bahasa Ceko menjadi bahasa degan strata rendah bagi kelompok bagsawan dan rakyat Bohemia.[6]