Perbudakan di Indonesia

Sebuah kapal perang khas Jawa. Orang Jawa menyebutnya Cathurs. Para budak duduk di bawah dek dan mendayung, sedangkan prajurit berada di atas dek dan bertempur.
Pasar budak di Aceh

Perbudakan ada di wilayah di wilayah yang menjadi negara Indonesia di era modern hingga abad ke-20. Karena fakta bahwa kepulauan yang berada di wilayah Asia Tenggara ini belum bersatu hingga tahun 1949, informasi sejarah mengenai praktik perbudakan di Indonesia tidak seragam, tetapi memiliki ciri-ciri dan fakta sejarah yang umum.

Perbudakan dan perdagangan budak diketahui telah ada pada masa kerajaan Hindu-Buddhisme di Indonesia, walaupun informasinya terbatas. Ketika kepulauan ini beralih menjadi Islam dan bertransformasi menjadi kesultanan Islam pada abad ke-15, kegiatan perbudakan diatur menggunakan hukum islam dan mengambil karakteristik yang sama seperti perbudakan di dunia Islam lainnya, dan orang-orang non-muslim yang ditangkap oleh bajak laut beragama Islam dari Sulu dan Sulawesi dijual ke perbudakan kesultanan.

Dari abad ke-17 dan seterusnya, Indonesia dikuasai oleh VOC (1610–1800) dan kemudian dikolonisasi sebagai Hindia Belanda (1800–1949). Kolonial Belanda menggunakan tenaga kerja budak pada sektor pertanian. Belanda melarang pedagangan budak pada 1811 dan perbudakan pada 1860. Larangan Belanda mengenai perbudakan menyebar paralel dengan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda dan pada 1910, perbudakan di Hindia Belanda secara efektif dihapuskan, walaupun terdapat beberapa kasus perbudakan yang masih ditemukan pada akhir 1940an.

Zaman Hindu-Buddha

Para peguasa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia mengetahui menggunakan budak untuk mengolah tanah mereka, hal tersebut umum ditemukan di Indonesia dimana mereka kekurangan orang dan pekerja untuk mengolahnya, budak tercatat pernah berada di istana kerajaan dan kuil-kuil.

Kepemilikan budak tidak terbatas hanya pada kalangan bangsawan, dilaporkan bahwa orang biasa juga memiliki budak dan perdagang kaya bisa memiliki ratusan budak.

Pada abad ke-15 di Melaka, praktik perbudakan, selir serta perbudakan karena utang masih diketahui ada.

Zaman Kesultanan Islam

Masuknya agama Islam mempengaruhi praktik perbudakan, yaitu disesuaikan dengan hukum Islam. Hukum Islam melarang perbudakan orang muslim karena itu, orang-orang non-muslom menjadi target perbudakan dan korban dari bajak laut muslim yang berasal dari Kepulauan Sulu, yang menjadi pemasok budak bagi kesultanan di Asia Selatan.

Harem kerjaan di Asia Tenggara meliputi harem Kesultanan Aceh di Pulau Sumatra, Kesultanan Mataram dan Kesultanan Banten di Pulau Jawa, dan Kesultanan Gowa di Sulawesi. Masuknya agama Islam ke Asia Timur membuat hukum Islam terkait dengan budak seksual dan bentuk lain perbudakan menjadi revelan tetapi Kesultanan di Asia Tenggara tidak sepenuhnya mematuhi hukum syariah tetapi mengabungkannya dengan hukum ada, sehingga menyebabkan praktik perbudakan dan harem sedikit berbeda dengan negara-negara muslim lainnya.

Harem kerajaan di Asia Tenggara pada umumnya berukuran kecil kecuali yang ada di Aceh yang tercatat mencapai ukuran yang cukup besar pada abad ke-16 dan ke-17. Kasim (sida-sida) tidak umum ditemukan di Asia Tenggara tidak seperti negara-negara Muslim lainnya, dengan pengecualian di Kesultanan Aceh yang dipengaruhi oleh Persia dimana terdapat kurang lebih 500 kasim pada tahun 1619–1622, sebelum penggunaan kasim berakhir sekitar tahun 1700. Istana di Aceh juga menggunakan budak anak-anak penari (Nias) yang berusia 8–12 tahun, yang juga digunakan sebagai budak seksual sampai dengan akhir 1870an.

Berbeda dengan negara-negara muslim lainnya, selir di harem Asia Tenggara tidak selalu berstatus budak, tetapi juga bisa wanita muslim merdeka, dimana hal tersebut ilegal berdasarkan hukum Syariah. Terutama di Jawa, kaum bangsawan dan keluarga kerajaan di Jawa banyak memiliki wanita merdeak sebagai selir. Namum, selir yang berasal dari budak juga digunakan bersama dengan selir yang berasal dari wanita merdeka. Gadis-gadis diculik dari desa atau laut oleh bajak laut atu pedagang budak. Kesultanan Banten lebih taat menjalankan hukum Islam dan melarang selir dari wanita beragama Islam yang merdeka dan hanya menggunakan selir budak non-muslim yang sesuai dengan hukum Islam. Kesultanan Banten mendapatkan selir dengan memperbudak gadis-gadis dari "desa-desa yang menolak memeluk agama Islam dalam masa Islamisasi" dan mereka dideklarasikan sebagai budak. Gadis-gadis budak Tionghoa (mui tsai atau anak beli) yang dijual untuk menjadi selir budak oleh Kesultanan Aceh masih ditemukan pada masa antara Perang Dunia Pertama dan Kedua, dimana penjual menyebutkan sebagai adopsi untuk menghindari atensi dari otoritas kolonial Belanda yang melarang perdagangan budak. Berbeda dengan hukum Syariah, anak dari selir tidak diberikan status yang setara dengan anak dari istri, dan bahkan bisa dicabut hak warisnya, menjadi selir merupakan hal yang memalukan dan banyak selir di Aceh menggunakan kontrasepsi dan membunuh bayi karena alasan ini.

Pelanggaran hukum Syariah lainnya adalah penjualan budak wanita muslim kepada laki-laki non-muslim seperti orang Tionghoa yang menjadi perdagangan besar di abad ke-18.[1] Di Jeddah, Kerajaan Hejaz, Semenanjung Arab, raja Arab Ali bin Hussein, Raja Hejaz memiliki 20 wanita bersuku jawa. Seorang pria Tionghoa non-muslim memiliki wanita Indonesia yang merupakan keturunan Muslim Arab Hadhrami Sayyid di Solo, Hindia Belanda pada 1913 hal ini menjadi skandal di mata Ahmad Surkati dan Al-Irshad Al-Islamiya.[2]

Penguasa kerajaan lokal di Asia Tenggara juga memiliki kumpulan budak selir setelah mereka menjadi kepanjangan tangan kekuasaan barat. Di Lampung, budak selir tetap ada sampai dengan akhir Perang Dunka Pertama.[3] Tidak diketahui kapan budaya budak selir berakhir di Asia Tenggara, tetapi harem, poligami, dan selir mendapatkan kritik dari kalangan elit setempat karena hal tersebut diidentifikasi oleh kekuatan kolonial sebagai alasan keruntuhan para penguasa pribumi.[3]

Zaman Hindia Belanda

Pembantu Njai di rumah tangga Belanda, karya seni oleh Auguste van Pers ca 1853-1856

Selama masa pemerintahan VOC (1610–1800), Belanda membangun ekonomi perkebunan secara signifikan di Jawa. Dikarenakan sulitnya mendapatkan pekerja, Belanda mulai menggunakan budak sebagai pekerja di kebun dan pasar buruh didirikan di Batavia.

Belanda melarang perdagangan budak di seluruh imperium kolonial Belanda pada 1818, dan pelarangan budak pada 1863. Walaupun begitu, perbudakan di Hindia Belanda sudah ada sebelum perintah pelarangan ada. Perdagangan Budak dilarang di Hindia Belanda pada 1811. Selama paruh pertama abad ke-19, ketika kekuatan barat melarang perbudakan di koloni mereka, Belanda mendapatkan kritik secara internasional mengenai praktik perbudakan di Hindia Belanda. Pada 1 Januari 1860, Belanda resmi melarang perbudakan di Hindia Belanda.

Penghilangan praktik perbudakan oleh Belanda hanya bisa dilakukan pada sebagian wilayah Indonesia yang dikontrol oleh Belanda dan menjadi bagian dari hukum Belanda, hal ini berarti perbudakan hanya dihapus dari seperempat wilayah Indonesia, seperti di Jawa. Pelarangan kemudian meluas seiring dengan meluasnya wilayah kolonial Belanda dan pada 1910, ketika Belanda secara efektif mengontrol keseluruhan wilayah Indonesia, pelarangan praktik perbudakan dianggap telah diterapkan secara penuh di Indonesia.

Pada 1920, Belanda memperkirakan kepada Komisi Perbudakan Sementara (Temporary Slavery Commission/TSC) bahwa praktik perbudakan mungkin masih berlangsung di area terpencil di Hindia Belanda dimana kontrol Belanda hanya sebuah nama, tetapi sulit mendapatkan informasi mengenai isu tersebut.

Dalam praktiknya, otoritas Belanda tidak pernah memiliki kendali penuh terhadap Hindia Belanda dan praktik perbudakan tetap ada dibeberapa wilayah Hindia Belanda sampai dengan akhir 1940an.

Galeri

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Clarence-Smith, William Gervase (2007). "Eunuchs and Concubines in the History of Islamic Southeast Asia". Manusya. 10 (4): 8–19. doi:10.1163/26659077-01004001. 
  2. ^ Natalie Mobini-Kesheh (January 1999). The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900–1942. SEAP Publications. hlm. 55–. ISBN 978-0-87727-727-9. 
  3. ^ a b Clarence-Smith, W. G. (2007). Eunuchs and Concubines in the History of Islamic Southeast Asia. Manusya: Journal of Humanities, 10(4), 8-19. https://doi.org/10.1163/26659077-01004001

 

Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia