Peperangan Silesia

Peperangan Silesia (Jerman: Schlesische Kriege) adalah serangkaian tiga perang yang terjadi pada pertengahan abad ke-18 antara Prusia (di bawah Raja Friedrich yang Agung) dan Austria (di bawah Adipati Utama Maria Theresia) untuk menguasai wilayah Silesia di Eropa Tengah (sekarang di Polandia barat daya). Perang Silesia Pertama (1740–1742) dan Kedua (1744–1745) merupakan bagian dari Perang Suksesi Austria yang lebih luas cakupannya. Dalam perang tersebut, Prusia bertindak sebagai salah satu anggota koalisi yang berupaya memperluas wilayahnya dengan menyerang Austria. Sementara itu, Perang Silesia Ketiga (1756-1763) adalah bagian dari Perang Tujuh Tahun dengan skala global. Dalam perang tersebut, Austria memimpin koalisi yang berangan-angan merebut wilayah Prusia.

Latar belakang dan penyebab

Pada permulaan abad ke-18, Wangsa Hohenzollern yang menguasai Brandenburg-Prusia memiliki klaim atas sejumlah kadipaten di wilayah Silesia yang dikuasai oleh Monarki Habsburg, yakni Liegnitz, Wohlau, dan Brieg. Silesia sendiri adalah wilayah yang padat dan kaya yang bersebelahan dengan wilayah utama Prusia di Brandenburg.[1] Wilayah ini tidak hanya berharga karena menjadi sumber pendapatan pajak, penghasilan industri, dan perekrutan pasukan, tetapi juga karena posisi pentingnya dari segi geostrategi. Secara militer, lembah hulu Sungai Oder merupakan penghubung alami antara wilayah Brandenburg, Bohemia, dan Moravia, sehingga pengendali wilayah ini akan dapat mengancam negara-negara di sekitarnya. Silesia juga terletak di perbatasan timur laut Kekaisaran Romawi Suci, alhasil penguasanya dapat membendung pengaruh Polandia dan Rusia di Jerman.[2]

Klaim Brandenburg–Prusia

Wilayah Mahkota Bohemia di bawah kekuasaan Wangsa Habsburg hingga tahun 1742, setelah itu Silesia diserahkan kepada Brandenburg–Prusia.

Klaim Brandenburg–Prusia di Silesia salah satunya didasarkan pada perjanjian pewarisan tahun 1537 antara Adipati Fryderyk II Legnicki dari Wangsa Piast Silesia dengan Pangeran-Elektor Brandenburg Joachim II Hector dari Wangsa Hohenzollern. Menurut perjanjian ini, Liegnitz, Wohlau, dan Brieg di Silesia akan diwariskan kepada Wangsa Hohenzollern di Brandenburg jika Dinasti Piast di Silesia tidak lagi memiliki penerus. Pada masa itu, Raja Bohemia dari Wangsa Habsburg Ferdinand I menolak perjanjian tersebut dan berupaya menekan Wangsa Hohenzollern agar membatalkannya.[3] Pada tahun 1603, Elektor Brandenburg Joachim Friedrich juga mewarisi Kadipaten Jägerndorf di Silesia dari sepupunya, Margrave Georg Friedrich dari Brandenburg-Ansbach, dan ia kemudian menjadikan anak lelaki keduanya, Johann Georg, sebagai adipati wilayah tersebut.[4]

Pada saat meletusnya Pemberontakan Bohemia dan Perang Tiga Puluh Tahun, Johann Georg bergabung dengan pemberontakan golongan kawula Silesia melawan Kaisar Romawi Suci Ferdinand II yang beragama Katolik.[5] Setelah kemenangan pasukan Katolik dalam Pertempuran Gunung Putih pada tahun 1621, Kaisar Ferdinand menyita kadipaten Johann Georg. Meskipun Johann kemudian wafat, Kaisar menolak mengembalikan Kadipaten Jägerndorf kepada keturunan Johann, dan Elektor-elektor Brandenburg malah terus menyatakan diri mereka sebagai penguasa Jägerndorf yang sah.[6] Pada tahun 1675, "Elektor Agung" Friedrich Wilhelm dari Brandenburg mengklaim Liegnitz, Wohlau, dan Brieg setelah garis keturunan Wangsa Piast Silesia berakhir akibat kematian Adipati Georg Wilhelm dari Liegnitz. Namun, Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg mengabaikan klaim tersebut dan wilayah-wilayah Wangsa Piast Silesia pun diambil alih oleh Habsburg.[7]

Pada tahun 1685, ketika Austria tengah disibukkan dengan Perang Turki Raya, Kaisar Leopold I menyerahkan Schwiebus di Silesia kepada Friedrich Wilhelm sebagai balas budi atas bantuan militer melawan Kekaisaran Ottoman. Setelah anak Friedrich Wilhelm, Friedrich III dari Brandenburg, naik takhta, Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg mengambil kembali Schwiebus pada tahun 1694. Menurutnya, wilayah ini hanya diberikan kepada sang Elektor Agung selama hidupnya saja.[8] Saat masih muda, Friedrich III pernah diam-diam menyetujui pengambilalihan ini dan sebagai gantinya Leopold akan membayar sebagian utangnya,[9] tetapi setelah menjadi Raja Prusia ia menolak perjanjian tersebut dan mengangkat kembali klaim Hohenzollern terhadap Jägerndorf dan wilayah bekas Wangsa Piast Silesia.[8]

Pewarisan di Austria

Maria Theresia dari Austria sekitar tahun 1744, lukisan karya Martin van Meytens.

Dua generasi setelahnya, Raja Friedrich II dari Prusia yang baru saja naik takhta pada Mei 1740 mulai merencanakan upaya untuk menguasai Silesia .[10] Friedrich menganggap klaim dinastinya memiliki keabsahan yang kuat,[1] dan ia sendiri juga telah mewarisi sebuah negara dengan militer yang kuat serta kondisi keuangan yang sehat.[11] Di sisi lain, kondisi keuangan Austria sedang morat marit, dan pasukannya juga masih belum diperkuat ataupun dirombak walaupun kinerjanya terbukti buruk pada masa Perang Austria-Turki (1737–1739).[12] Selain itu, situasi di Eropa juga memungkinkan untuk menyerang Austria, karena Britania Raya dan Prancis sedang disibukkan oleh satu sama lain dan Rusia sedang berkonflik dengan Swedia.[13] Ditambah lagi, Elektorat Bavaria dan Silesia juga memiliki klaim di wilayah milik Habsburg dan kemungkinan akan membantu Prusia.[1] Oleh sebab itu, walaupun casus belli Perang Silesia Pertama secara hukum adalah klaim Wangsa Hohenzollern terhadap kadipaten-kadipaten di Silesia, pertimbangan Realpolitik dan geostrategi juga berperan penting dalam memicu perang ini.[14]

Friedrich mendapatkan kesempatan ketika Kaisar Romawi Suci dari Wangsa Habsburg, Karl VI, wafat pada Oktober 1740 tanpa meninggalkan penerus laki-laki. Sebelumnya ia telah mengeluarkan Sanctio Pragmatica 1713 yang mengakui putri sulung sang Kaisar, Maria Theresia, sebagai penerusnya. Dengan ini Maria Theresia pun menjadi penguasa Austria, Bohemia, dan Hungaria di Monarki Habsburg.[15] Pada saat Karl masih hidup, Sanctio Pragmatica diakui oleh negara-negara Eropa lainnya. Namun, setelah ia wafat, Prusia, Bavaria, dan Saxony malah menentangnya.[16]

Bagi Friedrich, sengketa ini merupakan kesempatan terbaik untuk merebut Silesia. Ia bahkan menyebutnya "pertanda transformasi secara utuh sistem politik lama" dalam sepucuk surat yang ia tulis untuk Voltaire pada tahun 1740.[10] Ia mengklaim bahwa Silesia merupakan demesne (milik lembaga kekaisaran) alih-alih wilayah milik wangsa Habsburg sehingga tidak bisa begitu saja "diwasiatkan" melalui Sanctio Pragmatica. Friedrich juga menyatakan bahwa ayahnya, Raja Friedrich Wilhelm I, menyetujui Sanctio Pragmatica sebagai balas budi atas janji Austria untuk mendukung klaim Hohenzollern atas Kadipaten Jülich dan Berg di kawasan Sungai Rhine, tetapi janji ini tidak pernah ditepati.[17][18]

Sementara itu, Pangeran-Elektor Karl Albrecht dari Bayern dan Pangeran-Elektor Friedrich August II dari Saxony masing-masing telah menikahi sepupu Maria Theresia dari cabang senior Wangsa Habsburg. Sesudah wafatnya Kaisar Karl VI, mereka memanfaatkan hubungan ini untuk menyatakan diri sebagai penerus Habsburg akibat ketiadaan pewaris laki-laki.[11] Friedrich August, yang juga menguasai Polandia, sangat ingin menguasai Silesia untuk menghubungkan kedua wilayahnya menjadi suatu kesatuan (yang hampir akan mengepung wilayah Brandenburg). Kekhawatiran akan hal ini mendorong Friedrich untuk bertindak cepat ketika muncul kesempatan.[1]

Perang Silesia Pertama

Setelah wafatnya Kaisar Karl VI pada 20 Oktober, Friedrich langsung mengambil tindakan. Pada 8 November, ia memerintahkan mobilisasi pasukan Prusia, dan pada 11 Desember ia mengeluarkan ultimatum kepada Maria Theresia yang menuntut penyerahan Silesia.[19] Sebagai gantinya, ia akan menjaga wilayah Habsburg lainnya dari serangan, memberikan kompensasi,[20] mengakui Sanctio Pragmatica, dan memberikan suaranya kepada suami Maria Theresia dalam pemilihan Kaisar Romawi Suci. Tanpa menunggu jawaban dari Maria, ia dan pasukannya memasuki wilayah Silesia.[19]

Daftar pustaka

  1. ^ a b c d Fraser (2000), hlm. 70–71
  2. ^ Browning (2005), hlm. 527
  3. ^ Carlyle (1858). Chapter X — Kurfürst Joachim II. Book III. hlm. 282–286. 
  4. ^ Hirsch (1881), hlm. 175
  5. ^ Hirsch (1881), hlm. 176
  6. ^ Carlyle (1858). Chapter XVII — Duchy of Jägerndorf. Book III. hlm. 339–342. 
  7. ^ Carlyle (1858). Chapter XVIII — Freidrich Wilhelm, the Great Kurfürst, Eleventh of the Series. Book III. hlm. 357–358. 
  8. ^ a b Carlyle (1858). Chapter XIX — King Friedrich I Again. Book III. hlm. 364–367. 
  9. ^ Anderson (1995), hlm. 59
  10. ^ a b Fraser (2000), hlm. 69
  11. ^ a b Clark (2006), hlm. 190
  12. ^ Anderson (1995), hlm. 61–62
  13. ^ Anderson (1995), hlm. 80
  14. ^ Clark (2006), hlm. 192–193
  15. ^ Asprey (1986), hlm. 24
  16. ^ Clifford (1914), hlm. 3100
  17. ^ Fraser (2000), hlm. 70
  18. ^ Clark (2006), hlm. 191
  19. ^ a b Clark (2006), hlm. 183
  20. ^ Anderson (1995), hlm. 69