Penjarahan Roma adalah peristiwa penjarahan dan perusakan Kota Roma selama delapan hari yang dimulai 6 Mei 1527 oleh gabungan tentara Spanyol, Jerman, dan Italia milik Kaisar Karl V. Peristiwa ini menandai kemenangan penting bagi pihak kekaisaran dalam konflik antara Kekaisaran Romawi Suci dan Liga Cognac (1526-1529) - aliansi dari Prancis, Milan, Venesia, Firenze, dan Vatikan selama masa kepausan Klemens VII.[1]
Latar belakang
Peristiwa penjarahan Roma berkaitan erat dengan konflik perebutan kekuasaan dan pengaruh di Eropa antara François I dari Kerajaan Prancis dan Karl V dari Kekaisaran Romawi Suci. Selain itu, penjarahan Roma juga berkaitan dengan situasi buruk dalam Gereja Katolik Roma yang dipimpin Paus Klemens VII dan Reformasi Protestan yang diajukan Marthin Luther.[1][2]
Pada 24 Februari 1525, pasukan kekaisaran yang dipimpin Charles de Lannoy berhasil mengalahkan pasukan Prancis yang dipimpin François I pada Pertempuran Pavia. Pasukan kekaisaran menangkap dan menyerahkan François I kepada Kaisar Karl V. Setelah kekalahan memalukan ini, François I terpaksa menandatangani Traktat Madrid dan sebagian wilayahnya diambilalih kekaisaran. Oleh karena itu, wilayah Kekaisaran Romawi Suci semakin bertambah luas dan membuat Italia dan Eropa khawatir dengan sepak terjang Karl V.[1][2] Klemens VII memiliki kekhawatiran tersendiri terhadap kekuasaan Karl V yang meluas. Selama ini, ia bergantian mendekati François I dan Karl V mengikuti arah politik di Eropa, meski tak selalu berhasil.
Klemens VII yang memiliki pandangan untuk membebaskan Italia dari campur tangan asing Italia (Liberta d'Italia), memprakarsai berdirinya Liga Cognac. Setelah Parma, Firenze, dan Modena bergabung di Negara Gereja, ia bergerak menguasai Milan di utara dan Venesia untuk menghalau pasukan kekaisaran. Ia juga bersekutu dengan Prancis dan Inggris.[1][2]
Paus Klemens VII telah memberikan dukungannya pada Prancis dalam sebuah usaha untuk mengubah keseimbangan kekuatan di Eropa, dan membebaskan Vatikan dari dominasi pengaruh Kekaisaran Romawi Suci. Pasukan Kaisar Romawi Suci telah mengalahkan pasukan Prancis di Italia, tetapi tidak memiliki uang untuk membayar gaji para prajurit. Sekitar 34.000 tentara Kekaisaran itu kemudian memberontak dan memaksa komandan mereka, Charles III, Adipati Bourbon - Bangsawan dari Bourbon dan Panglima Militer Kekaisaran untuk Prancis, untuk memimpin mereka ke Roma.
Tentara kekaisaran
Pasukan kekaisaran meliputi 10.000 tentara pimpinan Charles de Lannoy, 12.000 tentara bayaran Jerman (Lanzknecht)―umumnya Lutheran―di bawah pimpinan Georg von Frundsberg, sejumlah tentara infanteri Italia di bawah pimpinan Fabrizio Maramaldo, Sciarra Colonna dan Luigi Gonzaga, dan sejumlah tentara kavaleri di bawah pimpinan Ferdinando Gonzaga dan Philibert, Pangeran Chalons. Adipati Ferrara juga turut mendukung kekaisaran, hal yang menyulut kemarahan Klemens VII. Pasukan ini berangkat menuju Italia pada November-Desember 1526.[2]
Walau Martin Luther sendiri tidak mendukungnya, banyak orang yang menganggap diri mereka sebagai kaum Lutheran memandang ibu kota Sri Paus sebagai sebuah sasaran serangan untuk alasan religius, dan menjadikan keinginan rakus untuk cepat kaya sebagai keinginan bersama para prajurit dalam menjatuhkan dan merampok ibu kota tersebut yang terlihat sebagai sebuah sasaran empuk. Banyak penjahat, bersama dengan para prajurit desertir dari Liga Cognac, bergabung dengan pasukan kekaisaran selama perjalanan mereka ke Roma.[2]
Charles III meninggalkan Arezzo pada tanggal 20 April 1527, mengambil keuntungan dari kekacauan di antara para prajurit Venesia dan sekutu mereka setelah sebuah pemberontakan pecah di Firenze melawan Keluaga Medici. Dalam situasi ini, pasukan berjumlah besar yang tidak terkomando merampok Acquapendente dan San Lorenzo all Grotte, serta menduduki Viterbo dan Roncigione, sebelum akhirnya tiba di tembok benteng kota Roma pada tanggal 5 Mei 1527.
Peristiwa
Jumlah pasukan yang mempertahankan Roma tidaklah besar, hanya terdiri atas 5.000 kaum milisi pimpinan Renzo de Ceri dan Garda Swiss Sri Paus. Pertahanan kota melibatkan tembok-tembok raksasa dan sebuah kekuatan artileri yang kuat yang mana pasukan Kekaisaran tidak bisa menandingi. Charles III perlu untuk menguasai Roma dengan cepat untuk menghindari risiko terjebak antara pasukan pertahanan kota yang sedang diserang dan pasukan Liga Cognac yang akan datang membantu.
Pada 6 Mei 1527, pasukan Kekaisaran menyerang tembok-tembok kota di Gianicolo dan Bukit-bukit Vatikan. Charles III terluka parah dan akhirnya meninggal dalam serangan tersebut.[2] Benvenuto Cellini dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas terlukanya bangsawan Bourbon tersebut. Kematian pemegang komando pasukan yang dihormati yang terakhir tersebut menyebabkan para prajurit tidak dapat lagi menahan diri dan mereka dengan mudah mengambil-alih tembok-tembok Roma pada hari yang sama.
Sebuah peristiwa penting dalam sejarah Garda Swiss terjadi saat itu. Hampir semua anggota Garda Swiss dibunuh oleh para tentara Kekaisaran di tangga Basilika Santo Petrus. Dari 189 prajurit yang sedang bertugas, hanya 42 prajurit Garda Swiss Sri Paus yang selamat. Namun, pengorbanan dan keberanian mereka memastikan bahwa Paus Klemens VII berhasil menyelamatkan diri lewat Passetto di Borgo, sebuah koridor rahasia yang masih menghubungan kota Vatikan dan Castello Sant'Angelo.[3][4]
Setelah pengeksekusian sekitar 1.000 tentara yang mencoba mempertahankan Roma, perampokan dan penjarahan kota mulai berlangsung. Gereja-gereja dan biara-biara, termasuk juga istana-istana para uskup dan kardinal, dirusak dan dirampas barang-barang berharganya. Banyak biarawati dan wanita lainnya yang diperkosa tanpa ada yang berusaha mencegahnya; para pria disiksa dan dibunuh. Bahkan para kardinal yang pro dengan Kekaisaran harus membayar para tentara perampok ini untuk menyelamatkan kekayaan mereka.
Pada tanggal 8 Mei, Colonna - Kardinal Pompeo - seorang musuh pribadi Paus Klemens VII, tiba di Roma. Ia diikuti oleh para petani dari daerahnya yang datang untuk membalas dendam atas perampokan yang mereka alami sebelumnya atas perintah Sri Paus. Namun, Colonna menjadi iba melihat kondisi yang sangat menyedihkan tersebut di Roma dan membiarkan banyak penduduk Roma untuk mengungsi ke istananya.
Setelah kerusuhan selama tiga hari, Philibert memerintahkan agar perampokan dan penjarahan untuk berhenti, tetapi hanya sedikit dari para tentara yang mentaatinya. Sementara itu, Paus Klemens VII terus menjadi tahanan di Castel Sant'Angelo. Francesco Maria della Rovere dan Michele Antonio dari Saluzzo datang dengan bantuan kekuatan tentara pada tanggal 1 Juni di Monterosi, sebelah utara Roma. Mungkin karena tindakan mereka yang terlalu berhati-hati sehingga kemenangan mudah atas tentara Kekaisaran yang tidak disiplin lagi tidak tercapai.
Pada tanggal 6 Juni, Paus Klemens VII menyerahkan dan setuju untuk membayar pampasan perang sebesar 400.000 ducati sebagai jaminan atas nyawanya. Kondisi penyerahan termasuk dicaploknya Parma, Piacenza, Civitavecchia dan Modena oleh Kekaisaran Romawi Suci (walau hanya Modena yang nyatanya dapat dikuasai). Pada saat yang bersamaan Venice mengambil kesempatan dari situasi ini untuk mencaplok Cervia dan Ravenna, dan Sigismondo Malatesta kembali ke Rimini.
Pascaperistiwa
Karl V sangat malu dan tidak berdaya untuk menghentikan tindakan keji pasukannya, tetapi ia tidak kecewa dengan kenyataan bahwa pasukannya telah mengalahkan pasukan Paus Klemens VII dan memenjarakannya. Paus Klemens VII selanjutnya menjalani sisa hidupnya berusaha untuk menghindari konflik dengan Karl V, menghindari mengambil keputusan-keputusan yang bisa membuat Kaisar Romawi Suci itu tidak senang. Contohnya, ia menolak permintaan pembatalan pernikahan Raja Inggris Henry VIII untuk menceraikan Katherine dari Aragon karena Katherine adalah bibi Karl V.
Penjarahan Roma membuat populasi Roma menurun drastis, jalanan rusak dan tidak bisa dilewati, saluran air tersumbat, dan rumah-rumah hancur. Menurut Taylor dkk, populasi Roma turun sebanyak 20.000 jiwa dari 55.000 jiwa menjadi sekitar 35.000. Peristiwa ini juga menandai akhir dari periode Renaisans Romawi di mana banyak pencapaian dan benda seni Renaisans rusak atau hilang selama penjarahan.[5]
Selain itu, penjarahan Roma telah merusak wibawa Paus Klemens VII dan memberi kebebasan pada Karl V untuk bertindak sesuka hati melawan gerakan Reformasi di Jerman. Tentang hal ini, Martin Luther berkomentar: “Kristus menunjukkan kekuasaan-Nya dengan jalan dimana Sang Kaisar yang menghakimi Luther demi Sri Paus (pada akhirnya) harus menghancurkan Sri Paus agar dapat tetap menghakimi Luther” (LW 49:169).
Sebagai peringatan atas peristiwa ini dan peringatan atas keberanian pasukan Garda Swiss, para anggota baru Garda Swiss dilantik pada tanggal 6 Mei tiap tahunnya.[3][4]
Catatan kaki
- ^ a b c d Couhault, Pierre (2020-06-22). "Prelude to the Wars of Religion: The Sack of Rome (1527)". Encyclopédie d'histoire numérique de l'Europe [online] (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-21.
- ^ a b c d e f Creighton, Mandell (2011-12-01). "CHAPTER IX. THE SACK OF ROME". A History of the Papacy during the Period of the Reformation (edisi ke-5). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/cbo9781139150668.009. ISBN 978-1-108-04110-2.
- ^ a b Fraser, Christian (2006-01-22). "Pope's guards celebrate 500 years". BBC News (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-01-20.
- ^ a b "Vatican's honour to Swiss Guards". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2006-05-06. Diakses tanggal 2024-01-20.
- ^ Taylor, Rabun; Rinne, Katherine; Kostof, Spiro (2016-07-31). "HUMANIST ROME, ABSOLUTIST ROME (1420–1527)". Rome: An Urban History from Antiquity to the Present (edisi ke-1). Cambridge University Press. doi:10.1017/cbo9781139012911.029. ISBN 978-1-107-60149-9.
Pranala luar