Dieng memiliki iklim tropis. Karena terletak pada ±2.000 meter (6.600 kaki) di atas permukaan laut dan terhimpit oleh empat gunung. Dihiasi oleh tumbuhan, semak-semak dan udaranya yang dingin menjadikan Dieng sebagai wilayah dengan pemandangan alam yang memberikan perasaan tenang.
Pada musim kemarau di siang hari suhu berkisar antara 15 °C – 10 °C sedangkan pada malam hari suhu berkisar antara 5 °C – 10 °C, terkadang mencapai 0o dan biasanya kondisi tersebut disebut Bun Upas, yaitu salju tipis atau embun yang menghampar wilayah Dieng dengan suhu di bawah titik beku. Akan tetapi pada bulan Juni, Juli dan Agustus sirkulasi udara biasanya berganti musim. Maka dalam bulan-bulan tersebut suhu udara berubah.[1]
Dikenal karena memiliki iklim yang dingin, suhu di Dieng bahkan bisa turun hingga 2 °C (bersamaan dengan angin dingin hingga -2 °C) di puncak musim kemaraunya. Meskipun jarang terjadi namun embun beku akan muncul setiap tahun, terutama malam hari dan pagi hari di bulan Juli dan Agustus. Hal ini berlangsung rata-rata selama satu minggu. Meskipun fenomena cuaca yang jarang terjadi secara regional ini kadang-kadang menarik wisatawan untuk datang ke daerah Dieng.[2] Ketika salju tiba pertanian di sekitar Dieng akan mengalami kerusakan dan gagal panen, pertanian dan tanaman seperti kentang yang paling parah terkena dampaknya.
Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Dieng masuk dalam golongan Cwb, dengan musim kemarau yang dingin dan musim hujan yang relatif lebih hangat. Rata-rata suhu tahunan di Dihyang adalah 14,0 °C.[3]
Dieng merupakan kawasan vulkanik aktif yang juga gunung api raksasa berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) memanjang dari arah barat daya-tenggara. Ketinggian Dieng mencapai 2000 Meter di atas permukaan laut.
Luas wilayah Dieng Wetan adalah 282.000 ha, yang dihuni oleh penduduk sebanyak 1.557 jiwa. Sebaliknya Dieng Kulon lebih luas dari Dieng Wetan, dengan luas 337.864 ha yang dihuni oleh penduduk sebanyak 2.480 jiwa.
Secara teritorial antara Dieng Kulon dan Dieng Wetan dibatasi dengan sungai kecil yang bernama Kali Tulis. Wilayah Dieng terletak di sebelah barat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sehingga pemandangan disekitarnya tampak asri dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi.
Beberapa peninggalan budaya dan wilayah geografi Dieng telah dijadikan sebagai objek wisata dan dikelola bersama oleh kedua pemerintah setempat, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo.
Geologi
Lihat pula: Pegunungan Dieng
Pada dasarnya Dataran Tinggi Dieng adalah kaldera yang dikelilingi oleh gunung-gunung di sekitarnya, antara lain Gunung Prahu (2.565 m) di sebelah timur laut kaldera, Bukit Sikunir (2.463 m), Gunung Pakuwaja (2.595 m), Gunung Bismo (2.365 m) di sebelah selatan kaldera, serta kompleks Gunung Butak-Dringo-Petarangan (di sebelah barat laut). Di bawah permukaan kaldera terdapat aktivitas vulkanik, seperti halnya Yellowstone ataupun Dataran Tinggi Tengger. Di sini terdapat banyak kawah (crater) dan rekahan (vent) yang mengeluarkan hasil aktivitas geologi dalam berbagai wujud: fumarola, solfatara,sumber gas (CO2 maupun CO), dan mata air (panas maupun dingin), serta danau vulkanik. Beberapa kawah masih sangat aktif, seperti Sileri, Candradimuka, dan Sikidang, dijadikan objek wisata alam.
Kondisi ini memiliki potensi bahaya bagi penduduk yang menghuni wilayah tersebut. Kasus terakhir yang merenggut ratusan nyawa adalah bencana letusan gas Kawah Sinila pada tahun 1979. Tidak hanya gas beracun dan erupsi, tetapi juga dapat dimungkinkan terjadi gempa bumi (vulkanik), erupsi lumpur, tanah longsor, dan banjir. Selain kawah, terdapat pula danau-danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang sehingga memiliki warna khas kuning kehijauan.
Dari sisi biologi, aktivitas vulkanik di Dieng menarik karena di air-air panas di dekat kawah ditemukan beberapa spesies mikroorganisme termofilik ("penyuka panas") yang berpotensi menyingkap kehidupan awal di Bumi. Dieng juga memiliki beberapa spesies tumbuhan khas yang jarang dijumpai di tempat lain akibat kombinasi kondisi iklim dan geotermalnya yang unik.
Kawah-kawah
Kawah-kawah aktif di Dataran Tinggi Dieng menunjukkan adanya aktivitas vulkanik yang tinggi di bawah permukaan tanah. Selain semburan gas atau uap air, bentuk aktivitas lainnya adalah letusan (erupsi) maupun gempa bumi. Bencana sekunder yang dapat terjadi adalah banjir dan aliran lahar. Pemantauan aktivitas dilakukan oleh PVMBG melalui Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng di Desa Karangtengah. Berikut adalah kawah-kawah aktif yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng.
Kawasan Utara
Kumpulan kawah ini berada di sekitar Gunung Sipandu.
Terdapat banyak kawah-kawah di sekitar Sileri. Daerah ini sangat aktif dan telah dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik panas bumi/geotermal (PLTP) oleh PT Geo Dipa Energi.
Kawasan Selatan
Aktivitas geotermal di bagian selatan ditemukan di sekitar Gunung Pangonan sampai kompleks Gunung Pakuwaja-Sikunir. Kompleks ini juga berada terdekat dengan kompleks percandian di Dieng.
Selain kawah aktif juga terdapat kawah-kawah non-aktif atau mati. Lapangan geotermal di sekitar Sikidang juga sudah dimanfaatkan untuk PLTP.
Kawasan Barat Laut
Agak jauh, berada di sebelah barat dari kompleks Sileri dan di utara pusat kecamatan Batur, terdapat kumpulan aktivitas vulkanik yang terkenal karena catatan letusan yang mematikan akibat emisi gas oksida karbon dengan konsentrasi tinggi. Aktivitas vulkanik di sini terkait dengan keberadaan kompleks Gunung Butak-Petarangan yang sebelumnya merupakan gunung api stratovulkan.
Dihyang dahulu merupakan pusat kegamaan Hindu dan tempat ditemukannya delapan candi dari Kerajaan Mataram Kuno.[4]:79,90 Belum ditemukan sumber prasasti mengenai kapan candi tersebut dibangun, diperkirakan berkisar antara pertengahan abad ke-7 hingga abad ke-8 Masehi; candi yang ditemukan di daerah Dieng diketahui didapati memiliki struktur batu tertua yang diketahui di Jawa.[5] Pada zamannya candi di Dihyang diperkirakan berjumlah 400 tetapi hanya delapan yang tersisa. Candi-candi yang tersisa sekarang dinamai menurut nama tokoh pada epos Mahabharata dan pewayangan Jawa.[6]
Ditinjau dari segi arsitektur candi di Jawa Tengah, candi Dihyang memliki gaya arsitektur Jawa Tengahan atau Mataram Kuno. Penelitian yang dilakukan memperkirakan bahwa candi-candi tersebut dibangun dalam periode yang sama, berkisar antara abad ke-7 hingga ke-8. Sebuah prasasti yang ditemukan di dekat candi Arjuna bertanggal sekitar tahun 808-809 M, merupakan bentuk aksara Jawa Kuno tertua yang masih ada, mengungkapkan bahwa candi di Dihyang terus dihuni dari pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-9.[7]
Candi di Dihyang ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh seorang tentara Inggris saat mengunjungi reruntuhan candi yang terletak di tengah danau. Saat itu dataran di sekitar tergenang air dan membentuk danau kecil. Pada tahun 1856, Isidore van Kinsbergen memimpin upaya untuk mengeringkan danau untuk mengungkap candi. Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan proyek rekonstruksi pada tahun 1864, dilanjutkan dengan studi lebih lanjut dan foto-foto yang diambil oleh Van Kinsbergen.[6]
Tradisi
Beberapa penduduk di Dieng diketahui memiliki fenotipe, rambut yang gimbal. Diduga sifat rambut ini diturunkan secara genetik. Setiap tahun diadakan upacara pemotongan rambut gimbal untuk warga dengan ciri fisik demikian. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Dieng pada tanggal siji Sura menurut Kalender Jawa. Tradisi ini bertujuan untuk membersihkan dan membebaskan anak-anak berambut gimbal dari sukerta (malapetaka).[8]
Kepercayaan bahwa anak berambut gimbal adalah keturunan Kyai Kolodete, seorang mantan resiHindu yang kemudian memeluk Islam. Mereka juga percaya bahwa rambut gimbal hanya boleh dipotong bila anak yang bersangkutan sudah menghendakinya dan harus dilakukan ruwatan yang dipimpin tetua adat. Uniknya, ruwatan ini hanya dapat dilakukan setelah orang tua memenuhi permintaan yang diajukan oleh anak yang bersangkutan. Konon jika pemotongan rambut gimbal tidak dilakukan maka rambut tersebut akan kembali tumbuh dan anak akan sering sakit-sakitan.[9]
Backshall, Stephan et al. (1999) Indonesia The Rough Guide London Penguin ISBN1-85828-429-5 pp. 190–195
Dalton, Bill Indonesia Handbook fourth edition pp. 280–283
Dumarcay, J and Miksic J. Temples of the Dieng Plateau in Miksic, John 1996 (editor) 1996 Ancient History Volume 1 of Indonesian Heritage Series Archipelago Press, Singapore. ISBN981-3018-26-7
Muffler, L.J.P., 1970, Geothermla potential of the Dieng Mountains, central Java, Indonesia: U.S. Geol. Survey Project rep. (IR) IND-10
Mertadiwangsa, S. Adisarwono, (1999) Dataran tinggi Dieng : objek wisata alam dan objek wisata budayanya: Kaliwangi Offset Yogyakarta, (In Indonesian)
^Coedès, George (1968). Walter F. Vella, ed. The Indianized States of Southeast Asia. trans.Susan Brown Cowing. University of Hawaii Press. ISBN978-0-8248-0368-1.
^Romain, Julie (2011), "Indian Architecture in the 'Sanskrit Cosmopolis': The Temples of the Dieng Plateau", dalam Manguin, Pierre-Yves; Mani; Wade, Geoff, Early Interactions Between South and Southeast Asia: Reflections on Cross-cultural Exchange, 2, Singapore: Nalanda-Sriwijaya Centre. Institute of Southeast Asian Studies, hlm. 299–316, ISBN9789814345101
^ abWright, A., & Smith, C. (2013). Volcanoes of Indonesia: Creators and Destroyers. Editions Didier Millet.
^Drs. R. Soekmono (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 87.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Abdoel, Ifa (2013). Journey to Amazing Sites. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 262–264. ISBN9786020218335.