Panembahan Ratu I (1547-1649 M), terlahir dengan nama Zainul Arifin, merupakan sultan Cirebon ketiga yang berkuasa dari tahun 1570 sampai 1649.[1][2] Ia mewarisi takhta di usia 23 tahun dari moyangnya Sunan Gunung Jati, setelah wafatnya Fatahillah yang bertugas sebagai wali pemerintahan selama dua tahun antara tahun 1568 sampai 1570.[3][4]
Masa pemerintahan Panembahan Ratu yang berlangsung selama 79 tahun merupakan masa kemajuan dari segi ekonomi, dimana pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kendali Cirebon terjamin keamanannya dari serangan negara asing, menjadikan Cirebon sebagai salah-satu pusat ekonomi penting di abad ke-17.[5]Kerajaan Sunda yang sebelumnya di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati bermusuhan dengan Cirebon, berakhir di tahun 1579 setelah ditaklukkan oleh sultan BantenMaulana Yusuf.[6] Banten dan Cirebon sepakat untuk membagi pengaruhnya di bekas wilayah Kerajaan Sunda dengan sungai Citarum sebagai batasnya.[7] Cirebon pernah mengalami satu konflik dengan Sumedang di bawah Prabu Geusan Ulun sekitar tahun 1585-1588, sebagai akibat dari Peristiwa Harisbaya yang berakhir dengan penyerahan wilayah Singdangkasih dari Sumedang kepada Cirebon.[8] Hubungan antara Cirebon dengan Kesultanan Pajang di sebelah timur terjalin dengan baik, karena permaisuri dari Panembahan Ratu, Glampok Raras adalah putri dari Jaka Tingkir, sultan Pajang pertama.[9] Setelah pusat kekuasaan di timur bergeser dari Pajang ke Mataram di tahun 1586, secara perlahan Cirebon mulai kehilangan kedaulatannya, dimana pengaruh dari Mataram masuk dan semakin kuat di abad ke-17. Penguasa pertama Mataram Sutawijaya menghormati Panembahan Ratu dikarenakan pernah sama-sama mendukung Pangeran Benawa yang saat itu berperang melawan Arya Pangiri.[10][11] Akan tetapi sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Sultan Agung, cucu Sutawijaya. Politik ekspansi yang dijalankan Sultan Agung memaksa Cirebon untuk tunduk sebagai negara vasal Mataram di tahun 1619.[12] Pada tahun ini pula perusahaan dagang VOC atau Kompeni dari Belanda yang dikepalai J. P. Coen menaklukan kota pelabuhan Jayakarta milik Banten dan mulai mendirikan Batavia.[13] Untuk mengatasi ancaman dari VOC terhadap jalur perdagangan laut di daerah pesisir utara Jawa sampai Kepulauan Maluku, Sultan Agung menjadikan Cirebon sebagai pangkalan militer utama Mataram sebelum menyerbu Batavia sebanyak dua kali.[14][15] Dua serbuan Mataram tersebut tidak berhasil menaklukan Batavia, dimana peran Batavia sebagai kota pelabuhan penting di Nusantara semakin besar.[16] Cirebon sendiri mulai melakukan hubungan perdagangan dengan Batavia di tahun 1632, setelah pengaruh Mataram di perairan utara Jawa mulai melemah.[17][18] Bermulanya hubungan ini dimulai karena Cirebon berusaha untuk mengurangi pengaruh Mataram yang semakin kuat.[19] Kedekatan hubungan antara Cirebon dan Mataram di penghujung masa pemerintahan Panembahan Ratu sempat membuat hubungan Cirebon dengan Banten sedikit renggang dikarenakan permusuhan yang muncul antara Banten dan Mataram,[20] namun Cirebon tetap mencoba untuk bersikap netral pada kedua negara tetangganya tersebut.[21] Sikap netral ini membantu Panembahan Ratu untuk mempertahankan kedaulatan selama masa pemerintahannya.[22]
Hubungan Luar Negeri
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin atau Panembahan Ratu I ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh putranya yang bernama Danang Sutawijaya, beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta dan Mangkunegara) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan Pajang, Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.[23] Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya;
Pajang dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putra dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
Demak berhasil dikuasai dan kemudian dia menempatkan seseorang dari wilayah Yuwana
Kedu dan Bagelen (sebelah barat Pegunungan Menoreh) juga berhasil dikuasai
Parahyangan sebelah timur (Galuh) berhasil dikuasai
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara kesultanan Banten dengan kesultanan Mataram yang saling bermusuhan, hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara kesultanan Banten dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan sunan Gunung Jati sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan yang erat telah dijalin antara Panembahan Ratu dengan Danang Sutawijaya penguasa Mataram pertama.
Hubungan dengan Kesultanan Mataram dan pembuatan benteng Kuta Cirebon (Benteng Seroja)
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan Mataram oleh Danang Sutawijaya, Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, tetapi hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.[24] Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari Danang Sutawijaya Raja Mataram.
Waktu semono maksi akikib, Kuta Cirebon masih Sinaroja, Adi wuku sakubenge, Tan ana Durga ngaru, Kadi gelare kang rumihin, Jawa gunung kapurba, Katitiha ngulun, Sira koli tiwa-tiwa, Nagara gung Mataram pon anglilani, Ing Crebon yen gawea
Tatkala itu masih tertutup, Kuta Cirebon masih utuh dibangun pagar sekelilingnya, benteng itu tidak ada yang mengganggu, seperti zaman dahulu kala pulau Jawa yang dibentengi oleh gunung-gunung, demikian juga dengan Cirebon, maka negara agung Mataram pun merestui (membantu) proyek yang sedang dikerjakan Cirebon (membuat benteng Kuta Cirebon)
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596[25] dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dari Mataram sangat menghormati Panembahan Ratu sebagai gurunya (Sultan Agung Hanyaraka Kusuma dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Panembahan Ratu[26]), hal tersebut tidak lain adalah pesan dari Danang Sutawijaya Sultan Mataram pertama yang berpesan kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan Cirebon. Namun perlahan-lahan kedaulatan Cirebon melemah mulai di tahun 1619 di saat Cirebon dipaksa menjadi vasal Mataram.[12]
Pada tahun 1614 ketika Gubernur Jendral Pieter Both berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali wilayah kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon.[27][28] Klaim sepihak ini memicu raja Kusumadinata III dari Sumedang Larang untuk menggabungkan diri dengan Mataram demi mempertahankan wilayahnya dari ancaman serangan Banten.[29][30]
Rijckloff Volckertsz van Goens Gubernur Jendral Hindia Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman Danang Sutawijaya (teman Panembahan Ratu), sudah dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (groote correspon-dentie on foede vreede), sebelum Danang Sutawijaya wafat ia telah berpesan pula kepada putranya agar tetap memelihara hubungan baik dengan Cirebon, Rijckloff Volckertsz van Goens berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan karena Cirebon dianggap suci” (guansuis, omdat den Cheribonder voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was).[31]
Peristiwa Harisbaya dan konflik dengan Sumedang Larang
Konflik antara kesultanan Cirebon dengan Kerajaan Sumedang Larang terjadi dikarenakan adanya Peristiwa Harisbaya pada tahun 1585[32] (namun sejarahwan Uka Candrasasmita memperkirakan bahwa peristiwa Harisbaya terjadi pada 1588[33]). Pada masa itu Prabu Geusan Ulun dari kerajaan Sumedang Larang diyakini melarikan Harisbaya, selir Panembahan Ratu yang berasal dari Madura. Menurut Babad Sumedang, raja Kusumadinata III atau Suriadiwangsa adalah anak Harisbaya dari pernikahannya dengan Panembahan Ratu,[34] kelak Suriadiwangsa menjadi penguasa Sumedang yang bersekutu dengan Mataram dalam Penaklukan Surabaya.
Ekonomi
Pembuatan Kepeng (uang logam pecahan lebih kecil) di Cirebon
Perdagangan di Cirebon yang semakin ramai membuat Panembahan Ratu memutuskan untuk membuat uang Kepeng (uang logam pecahan lebih kecil) yang terbuat dari besi, tembaga dan perunggu.[35]
Penggunaan Picis Cina (uang logam orang Cina) di Cirebon
Pada tahun 1567 kaisar Longqing menghapus larangan perdagangan Cina ke wilayah selatan termasuk asia tenggara, akibatnya terjadi arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Pada tahun 1596, kelompok Belanda yang pertama datang ke Jawa menyatakan bahwa mata uang ini banyak sekali beredar di wilayah kepulauan-kepulauan sekitar Jawa. Arus keluar mata uang tembaga Cina yang sedemikian besar membuat khawatir para pejabat Cina, hal tersebut dikarenakan kegiatan perdagangan dengan membawa mata uang tembaga tersebut akan semakin menguras sumber bahan baku pembuatnya yakni tembaga yang semakin langka.[36]
Pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujian akhirnya dibuat mata uang baru (Picis Cina) yang terbuat dari campurang timah yang murah untuk diedarkan khususnya di kepulauan asia tenggara. Mata uang baru yang terbuat dari timah murah ini membuat khawatir kalangan eropa dikarenakan mata uang tersebut akan rusak sendiri dalam waktu tiga hingga empat tahun.[36]
Pada tahun 1596, Picis yang bermutu rendah akibat logam dasarnya yang buruk ini beredar hingga ke pedalaman pulau Jawa, pedagang Cina membawanya untuk membeli lada di pedalaman Banten dengan nilai Picis yang dihargai seperempat dari uang biasanya (uang Tembaga) yang beredar di pasar Banten.[36]
Pada periode antara tahun 1613 hingga 1618 pernah terjadi kelangkaan Picis di wiayah Banten yang membuat nilai Picis meningkat terhadap perak, akhirnya masuklah perak secara besar-besaran sebagai akat tukar termasuk dalam pembayaran pembelian lada.[36]
Mata uang Picis Cina tersebut memiliki beberapa kekurangan, selain dari bahannya yang mudah rusak karena terbuat dari bahan yang buruk, hal lainnya adalah Picis Cina mudah ditiru, namun kekurangan pasokan timah adalah hambatan untuk membuat Picis Cina secara lokal (dalam artian dibuat sendiri tidak mengimpornya dari Guangdong atau Fujian) sampai orang Inggris dan Belanda menemukan pasokan timah tersebut. Orang Inggris di Banten memesan timah dari 20 ton pada tahun 1608 hingga menjadi 50 - 60 ton pada tahun 1615 dan kemudian meningkat sampai kira-kira 150 ton pada tahun 1636. Orang Inggris menggunakan sebagian dari pesanan timah mereka untuk membuat peluru.[36] Timah yang dicetak menjadi mata uang kemudian dikirim untuk memasok wilayah Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Belanda lebih berhati-hati dalam menjual timah-timah mereka, dikarenakan takut timah-timah tersebut dijadikan pasokan keperluan militer oleh musuhnya.[36]
Pada tahun 1633, Belanda mulai mengetahui bahwa timah dapat diperoleh dari orang-orang Cina yang ada di Batavia, dari situ Belanda mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan Picis Cina di pulau Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara.[36] Belanda berusaha mengambil keuntungan dari industri pembuatan Picis Cina tersebut dengan memonopoli dan memberikan timah kepada para orang Cina terkemuka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda di nusantara.[36]
Catatan perdagangan dengan wilayah-wilayah lain
Pada tanggal 7 - 12 Mei 1632 kapal-kapal Melayu datang dari Cirebon ke Batavia membawa gula, minyak dan keperluan lainnya.[37]
Pada tanggal 8 Oktober 1632, telah datang di Batavia 20 kapal jung dari Cirebon yang dikomandoi oleh Simkeij dengan membawa minyak kelapa, gula hitam, beras dan buncis putih.[37]
Pada tanggal 28 Maret 1633 telah datang 2 perahu dari Cirebon di wilayah Tiku (Sumatera barat) yang akan membawa sekitar 1.000 hingga 5.000 pikul lada.[37]
Pada tanggal 16 April 1633, dua buah kapal jung milik Panembahan Ratu yang berlayar dari kerajaan Selebar (Bengkulu) rusak karena menabrak karang.[37]
Pada tanggal 19 Desember 1633, kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia dengan membawa gula, asam dan beras.[37]
Pada tanggal 9 Oktober 1634, ada kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras.[37]
Pada tanggal 26 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras serta daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya.[37]
Pada tanggal 30 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya[37]
Kesenian
Pembuatan kereta Singa Barong
Kereta Singa Barong dibuat atas perintah Panembahan Ratu pada tahun 1649 M berdasarkan Candrasangkala yang berbunyi iku pandita buta rupanane yang berarti 1751 atau 1571 saka jawa (tahun Jawa),[33] menurut H.B Vos, kereta Singa Barong bukanlah kereta yang didesain untuk ditarik dengan kuda akan tetapi ia didesain untuk ditarik dengan sapi.[38]
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah Ki Nataguna dari desa Kaliwulu.[39]
Kematian
Setelah berkuasa ±79 tahun, Panembahan Ratu wafat di tahun 1649, setelah terjangkit suatu wabah penyakit setelah ia pulang dari kunjungannya kepada Sultan Agung di keraton Mataram.[8][40] Ia dimakamkan di komplek pemakaman Astana Gunung Sembung yang sekarang terletak di Kec. Gunungjati, Kab. Cirebon.[4] Takhta sultan Cirebon diwariskan kepada cucunya, Pangeran Karim yang naik takhta dengan gelar Panembahan Ratu II, dikarenakan anaknya, Adiningkusuma, telah wafat lebih dahulu.[5] Sebelum wafat, ia berpesan terhadap cucunya untuk tetap menjaga kenetralan Cirebon terhadap permusuhan yang ada antara Banten dan Mataram.[40]
^PhD, Dr dr Adi Teruna Effendi, SpPD; Sumarlan, Sutrimo; Saptomo, Bunyan; Jabbar, Rahim; Yusuf, Mukhtar; Pharmanegara, Lalu; Sadikin, Prof Dr dr Mohammad. Jejak Islam di nusantara. PT Penerbit IPB Press. ISBN978-623-256-245-5.
^ abPustaka rajya rajya i bhumi Nusantara. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991.
^Indonesian journal of cultural studies. Jajasan Penerbitan Karya Sastra, Ikatan Sardjana Sastra Indonesia, Dengan Bantuan Departemen Research Nasional. 1979.
^Olthoff. W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1646's - Gravenhage Martinus Nijhof.: Leiden
^Poesponegoro. Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III - Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta
^de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
^de Graaf, Hermanus Johannes. 1954. De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga, Leiden: KITLV
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama iskandar1
^ abKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama uka1
^Thresnawaty S, Euis. 2011. Sejarah Kerajaan Sumedang Larang. Bandung : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama masduqi
^ abcdefghReid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680 : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
^ abcdefghKesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama bochari
^Vos, H. B. 1986. Kratonkoetsen op Java. Amsterdam: Amsterdam De Bataafsche Leeuw
^Tim Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 2008. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmuah Arkeologi ke-IX, Kediri, 23-28 Juli 2002. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia