Mas Karèbèt atau sering disebut Joko Tingkir adalah Pendiri KesultananPajang yang memerintah dari tahun 1568-1582 dengan bergelar Sultan Adiwijaya atau Hadiwijaya. Meski sering dijadikan tokoh dongeng di dalam Babad, Hadiwijaya merupakan pemimpin Islam Jawa yang sangat ilmiah, dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ini terbukti dalam Serat Nitisruti, literatur peninggalan Kesultanan Pajang yang masih otentik dan belum di-Babad-kan.
Sultan Hadiwijaya adalah putra dari Pangeran Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging), yang merupakan putra dari Jaka Sengara (Pangeran Andayaningrat/Ki Ageng Pengging Sepuh).
Sementara Pangeran Andayaningrat adalah putra dari Harya Pandaya, yang dalam catatan Silsilah Pengging, dikenal sebagai Pangeran Harya Pandaya III. Harya Pandaya merupakan anak Harya Pandaya II /Harya Bubaran yang masih keturunan Mahapatih Gajah Mada.
Sejak kecil Hadiwijaya diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir. Kemudian menjadi murid Sunan Kalijaga. Kesuksesan karirnya dimulai sejak ia mengabdi pada Kesultanan Demak dan menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri dari Sultan Trenggana.Semenjak itulah, posisinya cukup berpengaruh di kalangan keluarga Kraton Demak. Sehingga ia pun didukung oleh Ratu Kalinyamat untuk memulihkan kestabilan politik Demak, peristiwa itu menyebabkan berdirinya Kesultanan Pajang.
Asal Usul
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, Lahir pada tanggal 18 Jumadil Akhir tahun Dal mangsa VIII menjelang subuh. Kisahnya berawal ketika Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dan dalangnya adalah Ki Ageng Tingkir. Namun suara wayang yang "kemebret" tertiup angin membuat bayi itu diberi nama "Mas Karebet". Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula.
Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir) yang membuat masa remajanya lebih dikenal dengan nama "Jaka Tingkir". Mas Karebet gemar bertapa, berlatih bela diri dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh dan tampan, ia lalu dijuluki Jaka Tingkir.
Guru pertamanya adalah sang ayah (Ki Ageng Kebo Kenongo), dan sang kakek (Jaka Sengara / Pangeran Andayaningrat / Ki Ageng Pengging Sepuh). Selain berguru kepada ayah dan kakeknya, Jaka Tingkir juga belajar dengan Sunan Kalijaga, dan lalu berguru pada Ki Ageng Sela, yang kemudian dipersaudarakan dengan ketiga murid dari Ki Ageng Sela, yaitu: Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan, dan Ki Panjawi.
Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang ayahnya). Dalam perguruan ini ada murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban.
Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak sultan Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang meneruskan garis suksesi Kesultanan Demak dahulu.[1]
Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Beberapa kejadian menarik mengikuti Jaka Tingkir, baik dalam perjalanan menuju Demak maupun pada saat mengabdi di Demak.
Para pujangga zaman dahulu mempunyai kebiasaan (atau semacam kode etik) berupa menghaluskan kisah atas suatu kejadian yang menyangkut raja atau istana yang kurang sepantasnya diceritakan dengan menggunakan kisah kiasan. Ada beberapa kisah kiasan yang mengikuti perjalanan hidup Jaka Tingkir alias Mas Karebet.
Dalam perjalanan ke Kerajaan Demak, zaman dahulu sebagai alat transportasi dipergunakan getek (rakit bambu) melalui sungai. Jaka Tingkir ditemani oleh teman seperguruannya Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Versi kisah kiasan dari pujangga, dikisahkan bahwa dalam perjalanan itu di Kedung Srengenge (kedung adalah bagian sungai yang dalam) Jaka Tinggir diserang oleh segerombolan buaya. Karena jagoan, Jaka Tingkir berhasil mengalahkan buaya-buaya tersebut dan sebagai tebusannya dalam melanjutkan ke Demak Jaka Tingkir dikawal oleh buaya-buaya di sebelah kiri, kanan depan dan belakang sebanyak masing-masing 40 ekor. Para pujanggapun menciptakan gending (lagu) atas kejadian tersebut yang terkenal hingga kini, yaitu lagu 'Sigra Milir'.
Kisah ini, menurut sebuah sumber disebutkan setelah beliau menikahkan putrinya dengan Panembahanan Lemah Dhuwur di Sumenep. Maka saat dia ingin kembali ke Pajang, dia mendapat mimpi (ada juga yg sebut diberikan wasiat oleh Sunan Prapen) bahwa tidak pantas jika dia akan kembali ke dalam jabatan di Kesultanan Pajang. Pasukannya sudah kalah oleh Sutawijaya, ia harus merelakan agar pajang dilanjutkan Arya Pangiri. Ini digambarkan dia seperti berada dalam perahu. Maka jika dia kembali ke air, habislah dia dimakan buaya. Maka akhirnya dia mendirikan padepokan di Pringgoboyo (Lamongan) sebelum akhirnya mengasingkan diri ke Sukowati. yaitu sampai wafatnya di Butuh, Sragen.
Sesampainya di Demak, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir menarik simpati raja Demak Sultan Trenggana atas suatu kejadian. Di istana Demak terdapat sebuah kolam yang cukup besar. Pada suatu hari ketika Jaka Tingkir sedang berdiri di tepian kolam, tiba-tiba pamannya berteriak agar dia (Jaka Tingkir) segera menyingkir dari tempatnya, karena Sultan Trenggana segera lewat. Situasinya saat itu cukup sulit bagi orang biasa untuk menyingkir, karena tidak ada ruang buat menyingkir selain melompati kolam yang cukup lebar. Jaka Tingkir alias Mas Karebet yang terlatih dengan sigap dan mudah segera melompati kolam, agar tidak mengganggu jalannya Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sangat terkesan melihat kejadian tersebut, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Kejadian berikutnya versi kisah kiasan dari pujangga dikisahkan bahwa suatu hari Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Kejadian sesungguhnya atas versi kisah kiasan Dadungawuk adalah sebagai berikut. Alkisah Sultan Trenggana mempunyai seorang puteri cantik bernama puteri Cempaka. Bukan Jaka Tingkir kalau tidak mengetahui ini dan tidak dapat menaklukan hati sang puteri. Secara diam-diam Jaka Tingkir menjalin hubungan dengan puteri Cempaka. Namun tindakan tidak terpuji ini sempat ketahuan, sehingga Jaka Tingkir diusir dari Kerajaan Demak.
Kejadian berikutnya menurut versi kisah kiasan pujangga, diceritakan bahwa pada suatu hari Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau yang dinamakan sebagai Kebo Danu. Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu menaklukan si kerbau. Sultan Trenggana memerintahkan bala tentaranya untuk mencari Jaka Tingkir yang diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Jaka Tingkir diketemukan dan tampil menghadapi kerbau ngamuk. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Menjadi Raja Pajang
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan Kakak kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya.
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Sumpah setia Ki Ageng Mataram
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
Menundukkan Jawa Timur
Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.
Pemberontakan Sutawijaya
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Kematian
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu