Panembahan Rama juga dikenal sebagai Kyai Kajoran (wafat 14 September 1679) adalah seorang tokoh Jawa Muslim dan salah satu pemimpin utama Pemberontakan Trunajaya melawan Kesultanan Mataram. Dia memimpin pasukan pemberontak yang menyerbu dan menjarah Plered, ibu kota Mataram pada bulan Juni 1677. Pada bulan September 1679, pasukannya dikalahkan oleh gabungan pasukan Belanda, Jawa, dan Bugis pimpinan Sindu Reja dan Jan Albert Sloot dalam pertempuran di Mlambang, dekat Pajang. Kajoran menyerah namun dieksekusi atas perintah Sloot.
Leluhur dan keluarga
Kajoran adalah sebuah permukiman di selatan Klaten sekarang, Jawa Tengah. Raden adalah gelar golongan ningrat Jawa, dan gelar "Raden Kajoran" menunjukkan statusnya sebagai kepala dari keluarga yang berkuasa di sana. Menurut tradisi Jawa, Sayyid Kalkum, buyut Raden Kajoran adalah orang pertama dari keluarganya yang bermukim di Kajoran. Kalkum adalah adik dari seorang wali yang dikenal sebagai Sunan Bayat, salah satu orang yang pertama memperkenalkan Islam di pedalaman Jawa Tengah. Kalkum memperoleh kekuasaan atas wilayah yang luas di Kajoran pada awal abad ke-16. Beberapa anggota keluarga Kajoran lalu menikah dengan anggota keluarga kesultanan Pajang dan Mataram. Pada masa Raden Kajoran, keluarga ini telah menjadi keluarga yang kuat dan berpengaruh di Mataram, karena statusnya sebagai pemuka agama Islam mereka dan ikatan pernikahan dengan kerabat kesultanan.
Biografi
Sebelum Pemberontakan Trunajaya
Pada masa kekuasaan Sunan Amangkurat I terjadi eksekusi banyak bangsawan yang ia curigai melakukan makar, termasuk seluruh keluarga Pangeran Pekik (anggota dinasti yang sebelumnya berkuasa di Surabaya) pada tahun 1659 dan banyak bangsawan keraton lainnya selama tahun 1660-an. Kebrutalan ini menimbulkan kekhawatiran bagi Raden Kajoran, yang mulai bersimpati dengan para musuh raja. Ketika Trunajaya—seorang ningrat Madura yang terpaksa tinggal di keraton setelah pencaplokan negerinya—melarikan diri dari keraton, Raden Kajoran menerima Trunajaya di Kajoran sebagai pengikutnya dan mengizinkan dia menikah dengan salah satu putrinya. Dia juga mendorong persahabatan antara Trunajaya dan Putra Mahkota Mataram (Pangeran Adipati Anom, kelak Amangkurat II) yang juga memiliki dendam terhadap ayahnya sang raja.
Peran dalam Pemberontakan Trunajaya
Pemberontakan Trunajaya mulai pada tahun 1674 ketika pasukan Trunajaya melakukan penyerangan terhadap kota-kota di bawah kekuasaan Mataram. Kajoran bergabung dalam pemberontakan sejak setidaknya tahun 1676 setelah kemenangan Trunajaya di Gegodog bulan Oktober. Pengetahuannya mengenai urusan internal Mataram serta reputasinya sebagai seorang pemimpin agama, memberikan dukungan bagi Trunajaya dan panglima perang Madura-nya yang relatif asing di Jawa Tengah.
Dia bergabung dengan pasukan pemberontak bergerak menuju ibu kota Mataram—dipimpin oleh para kapten Trunajaya—di Taji, sebelah timur ibu kota. Pasukan ini menyerang ibu kota kabupaten (kabupaten di Mataram) pada bulan Januari atau Februari 1677 namun dipukul mundur oleh pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pangeran. Pasukan yang kalah ini mundur ke Surabaya, di mana Raden Kajoran bergabung dengan manantunya, Trunajaya. Kemudian pasukan Mataram membakar wilayah Kajoran.
Bulan April 1677, Kajoran mulai serangan yang lain terhadap Mataram. Pasukannya menyerbu dan menjarah ibu kota Plered sekitar 28 Juni 1677. Ada rumor bahwa bagian barat wilayah Trunajaya (kira-kira Jawa Tengah kini), akan menjadi kerajaan yang diperintah oleh Kajoran, tetapi dia lebih suka mengambil posisi sebagai seorang pemimpin agama daripada raja. Juga, meskipun ada usulan pembagian kekuasaan, Trunajaya mengambil semua harta kekayaan yang direbut dari Plered untuk dirinya sendiri tanpa membagi dengan Kajoran.
Para pemberontak kemudian menarik diri dari ibu kota yang telah runtuh saat itu dan Raden Kajoran pindah ke Totombo, daerah perbukitan di selatan ibu kota Trunajaya di Kediri, Jawa Timur, atas permintaan Trunajaya. Langkah ini, beserta tidak adanya pewaris Kajoran, menyebabkan berkurangnya wibawa Raden Kajoran dan kesetiaan para pengikutnya. Namun, para pengikutnya masih aktif di Jawa tengah, termasuk wilayah-wilayah pesisir (misalnya Jepara) dan pedalaman (di Pajang, yang berbatasan dengan wilayah keraton). Mereka menyusun serangan besar di pantai utara (juga dikenal sebagai Pasisir) pada bulan November 1677 dan Juni—Juli 1678. Kegiatan ini membuat frustrasi baik bagi Mataram maupun sekutunya, Perusahaan Hindia Timur Belanda (dikenal dengan singkatan Belanda "VOC"), yang juga berupaya untuk membangun suatu monopoli di Pasisir.
Pada bulan November 1678, Kediri direbut oleh pasukan VOC—Mataram dan Kajoran kembali ke Jawa Tengah dan membangun pangkalan barunya di Mlambang (di Kabupaten Gunungkidul kini, Daerah Istimewa Yogyakarta). Dia bersekutu dengan Raja Namrud (atau Nimrod), seorang panglima perang Makassar yang aktif di Jawa tengah, dan memenangkan beberapa penaklukan di sana antara April dan Agustus 1679. Namun, pada tanggal 14 September, pasukan gabungan VOC—Mataram di bawah Kapten Belanda Jan Albert Sloot dan pemimpin Mataram Sindu Reja bergerak menuju bentengnya di Mlambang. Serangan ini berakhir dengan kemenangan VOC—Mataram, Kajoran menyerah namun Sloot memerintahkan eksekusinya. Karena reputasinya yang dihormati, tidak ada pemimpin Jawa yang mau mengeksekusinya, sehingga Sloot memerintahkan orang Bugis untuk melakukannya.
Setelah wafatnya
Para pengikut Kajoran melanjutkan perlawanan terhadap Mataram setelah wafatnya dan gugurnya Trunajaya pada bulan Januari 1680. Mereka termasuk para anggota dan kerabat dari keluarga Kajoran, orang-orang religius dari Tembayat dan orang-orang dari Kabupaten Gunungkidul. Para pemimpin mereka termasuk Kartapada, Kartanadi, dan Kartanagara.
Karakter pribadi dan nama-nama lainnya
Raden Kajoran juga dikenal sebagai Panembahan Rama dan dan terkena memiliki kesaktian dan kemampuan bertapa. Babad Jawa menyebutnya "Raden Kajoran Ambalik" (Raden Kajoran sang Pembelot) karena perannya dalam pemberontakan Trunajaya, dan laksamana Belanda Cornelis Speelman (salah seorang lawannya semasa perang) menamakannya "nabi dari iblis". Speelman juga menulis bahwa dia mengajarkan para pengikutnya bahwa "Allah dan Nabi-Nya tidak akan pernah memberkati tanah Jawa lagi, selama para kafir (yakni orang Belanda) diterima di sana."
Referensi
Kutipan
Bibliografi