Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), atau Maulana Agung ) merupakan Ulama' penyebar agama Islam Khususnya di daerah Semarang, Salatiga, Boyolali hingga Klaten.
Makamnya terletak di perbukitan ("Gunung Jabalkat") di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram.
Terdapat paling tidak tiga versi mengenai asal-usulnya: [1]
1. SUNAN PANDANARAN I
Sunan Pandanaran I (Satu) atau Ki Ageng Pandanaran merupakan putra dari Pangeran Sabrang Lor Sultan Demak ke II dan bernama asli Pangeran Madyo Anom. Beliau ini merupakan Pendiri Kota Semarang. Haulnya selalu diperingati oleh para pejabat Kota Semarang setiap tahun sebagai PENDIRI KOTA SEMARANG. Sunan Pandanaran I (Satu) ini dimakamkan di Kelurahan Randusari, Mugasari, Semarang Selatan. Sunan Pandanaran I (Satu) ini memiliki istri bernama Nyai Endang Sejanila .
2. SUNAN PANDANARAN II
Ki Ageng Pandanaran II atau Maulana Agung adalah anak kandung dari Pangeran Madyo Anom atau Ki Ageng Pandanaran I pendiri kota Semarang , yang lebih di kenal dengan nama Sunan Tembayat/ Sunan Bayat .
Sunan Pandanaran III (Tiga) ini merupakan pengganti jabatan Adipati Semarang setelah ditinggal Sunan Pandanaran II/Sunan Tembayat yang rela elepaskan semua harta, wanita, dan tahta untuk menyusul dan berguru kepada Sunan Kalijaga di Puncak Jabalkat Gunung Cokro Kembang Klaten-Jateng. Sunan Pandanaran III (Tiga) sering disebut PANGERAN MANGKUBUMI ini merupakan adik kandung dari Sunan Pandanaran II
Riwayat Lain
Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – akan ung dIslam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Terdapat variasi cerita menurut beberapa babad tentang bagaimana Sunan Kalijaga menyadarkan sang bupati. Namun, pada akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Pangeran Mangkubumi kemudian berpindah ke selatan (entah karena diperintah sultan Demak Bintara ataupun atas kemauan sendiri, sumber-sumber saling berbeda versi), didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, Mojosongo, Sela Gringging dan Wedi, menurut suatu babad. Konon sang pangeran inilah yang memberi nama tempat-tempat itu). Ia lalu menetap di Tembayat hingga akhir hayatnya, yang sekarang bernama Bayat, Klaten, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.[2]