Pertempuran Gegodog

Pertempuran Gegodog (juga dieja Pertempuran Gogodog) berlangsung pada tanggal 13 Oktober 1676 semasa Pengeran Trunajaya, dan berakhir dengan kemenangan bagi pasukan pangeran Trunojoyo atas pasukan Mataram yang dipimpin oleh Putra Mahkota Pangeran Adipati Anom. Gegodog terletak di pesisir timur laut Jawa, di timur Tuban.

Sebelum pertempuran, Trunajaya menyerbu Jawa timur dan menduduki Surabaya dan kota-kota lainnya. Raja Amangkurat I mengerahkan pasukan untuk menghadapi dia, yang dipimpin oleh putra mahkota. Putra mahkota mengharapkan pertempuran palsu dari Trunajaya, mantan pengikutnya. Namun, Trunajaya memberikan pertarungan nyata yang berakhir dengan kemenangan mutlak atas tentara kerajaan yang jumlahnya jauh lebih besar. Tentara kerajaan dikalahkan dan paman tua raja, Pangeran Purbaya tewas setelah memimpin serangan yang sia-sia. Kemenangan pemberontak diikuti oleh keberhasilan lebih lanjut, termasuk semakin banyak penaklukan dan pembelotan para kawula Mataram ke pihak Trunajaya.

Latar belakang

Sebelum pemberontakan, ningrat Madura Trunajaya hidup dalam pengasingan di Mataram dan memiliki hubungan dekat dengan putra mahkota Mataram (kemudian dikenal sebagai Pangeran Adipati Anom, kelak Amangkurat II). Ayah mertua Trunajaya dan seorang ningrat terkemuka, Raden Kajoran telah memperkenalkannya kepada putra mahkota pada tahun 1670.[2] Keduanya memiliki dendam terhadap Raja Amangkurat I, putra mahkota atas eksekusi Pangeran Pekik, kakek sang pangeran dari pihak ibu,[3] dan Trunajaya atas pengasingannya dan eksekusi ayahnya.[2][4] Mereka berdua membina persahabatan, sebagian karena faktor ketidaksukaan bersama ini.[2] Pada tahun 1670 atau 1671, Trunajaya meninggalkan Mataram menuju kampung halamannya Madura dan menjadi penguasanya.[2] Dia memanfaatkan dukungan putra mahkota (serta nama keluarganya sendiri) untuk memperoleh pengikut yang memungkinkan dia untuk merebut penguasaan pulau. [2]

Pemberontakan Trunajaya mulai pada tahun 1674 ketika pasukan Trunajaya menyerang kota-kota di bawah penguasaan Mataram.[5] Pada tahun 1676, pasukan pemberontak berjumlah 9.000 menyerbu Jawa Timur dari basis mereka di Madura, dan merebut Surabaya —kota utama di Jawa Timur— tidak lama sesudahnya.[1] Pasukan tersebut terdiri dari orang Jawa Timur, Madura, dan Makassar dan dipimpin oleh Trunajaya dan sekutu Makassar-nya, Karaeng Galesong.[1]

Pertempuran

Lokasi pertempuran di Jawa
Lokasi pertempuran di Jawa
Gegodog
Lokasi pertempuran di Jawa

Tahun 1676, raja memutuskan untuk mengerahkan pasukan besar untuk memadamkan pemberontakan.[6] Bala tentara ini jauh lebih besar daripada pasukan Trunajaya, tetapi sebagian besar terdiri dari para petani wajib militer.[7][8][9] Juga termasuk para tentara cadangan dari Jawa Barat.[10] Raja menugaskan putra mahkota untuk memimpin bala tentara ini; dia tidak menyadari peran putra mahkota dalam pemberontakan atau berencana agar dia dibunuh semasa kampanye militer.[6] Para pangeran lainnya juga bergabung dalam bala tentara, termasuk paman raja Pangeran Purbaya, saudara Sultan Agung tersisa satu-satunya yang hampir berusia 80 tahun, serta putra raja yang lain, Pangeran Singasari yang merupakan musuh utama putra mahkota.[11][12]

Tentara Mataram berpawai menuju Jepara, dan kemudian ke arah timur menuju wilayah yang dikuasai para pemberontak.[10] Mereka bertemu dengan tentara pemberontak di Gegodog, timur Tuban di pantai utara dari Jawa timur.[10] Putra mahkota awalanya berharap bahwa dia dan pengikutnya, Trunajaya hanya akan bertarung dalam suatu pertempuran palsu dan kemudian kedua pasukan bergabung melawan sang raja.[6][8] Namun, Trunajaya mengkhianati mantan teman dan pendukungnya, dan kehadiran para pangeran lainnya mungkin telah menghalangi putra mahkota dari berpura-pura dalam pertempuran.[6][8][12] Setelah keraguan panjang, sang pangeran memerintahkan serangan pada tanggal 13 Oktober.[10] Trunajaya memberikan pertempuran nyata, yang berakhir buruk bagi tentara kerajaan.[6] Dalam suatu upaya putus asa, Pangeran Purbaya yang berusia lanjut mengerahkan pasukan dan memimpin serangan akhir.[11] Menurut Thomas Stamford Raffles, dia "melakoni perbuatan gagah berani yang luar biasa", kudanya telah ditembak di bawah dia dan terus bertempur dengan berjalan kaki, sebelum dia dikalahkan dan dibunuh.[11][10] Serangan tersebut gagal, dan pertempuran berakhir dengan kemenangan mutlak untuk para pemberontak. Pasukan Mataram hancur dan mundur, bersama dengan putra mahkota dan para pangeran lainnya, menuju ibu kota.[11][10]

Sesudah

Setelah kemenangan pemberontak, pembelotan orang Jawa ke pihak Trunajaya semakin cepat, dan Trunajaya menindaklanjuti kemenangannya dengan penaklukan wilayah Mataram lebih lanjut. Pasukannya begerak maju ke arah barat sepanjang pantai utara, dan sampai dengan Januari 1677 hampir seluruh pantai utara Mataram, dengan pengecualian Jepara, jatuh ke tangannya.[10][8] Kota-kota sampai sejauh barat seperti Cirebon tunduk kepada Trunajaya.[10] Jepara tidak jatuh karena upaya bersatu dari gubernur militer raja di sana dan pasukan VOC yang tiba di sana dari Batavia.[10] Pergerakan maju ke pedalaman lebih lambat, tetapi pasukan pemberontak di bawah Raden Kajoran pada akhirnya akan mengalahkan dan menjarah ibu kota pada bulan Juni 1677.

Bagi Mataram, kekalahan ini merupakan bencana.[10] Setelah pertempuran, Mataram hanya bisa melancarkan kampanye militer defensif.[8] Wilayah-wilayahnya, yang diperluas oleh Sultan Agung beberapa dekade sebelumnya, akan jatuh ke tangan pemberontak, ditinggalkan dalam kehancuran, dan benteng-benteng mereka diruntuhkan,[10] yang mencapai puincakanya dengan jatuhnya ibu kota.[13] Pemberontakan akan terus berlanjut selama beberapa tahun lagi, dan Mataram akan dipaksa untuk meminta bantuan dari Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC)—dengan balasan berupa kompensasi geoplotik dan keuangan—untuk mengubah arah jalannya perang.

Putra mahkota dipersalahkan atas kekalahan ini dan dituduh berkolusi dengan musuh.[10] Setelah Gedogog, dia digantikan oleh saudaranya, Pangeran Martasana dan Pangeran Puger, dalam memimpin pasukan Mataram.[8] Setelah jatuhnya ibu kota, dia melarikan diri bersama ayahnya, dan setelah kemangkatan ayahnya semasa penarikan mundur pasukan, dia naik takhta sebagai Amangkurat II.

Referensi

Kutipan

  1. ^ a b c d Andaya 1981, hlm. 214–215.
  2. ^ a b c d e Pigeaud 1976, hlm. 67.
  3. ^ Pigeaud 1976, hlm. 66.
  4. ^ Ricklefs 2008, hlm. 90.
  5. ^ Pigeaud 1976, hlm. 69.
  6. ^ a b c d e Ricklefs 1993, hlm. 33.
  7. ^ Andaya 1981, hlm. 215.
  8. ^ a b c d e f Kemper 2014, hlm. 68.
  9. ^ Taylor 2012, hlm. 49.
  10. ^ a b c d e f g h i j k l Pigeaud 1976, hlm. 70.
  11. ^ a b c d Raffles 1830, hlm. 178.
  12. ^ a b Ricklefs 2008, hlm. 92.
  13. ^ Pigeaud 1976, hlm. 73.

Bibliografi