Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP).[1] PPN merupakan jenis pajak konsumsi yang dalam bahasa Inggris disebut value-added tax (VAT) atau goods and services tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, sebesar 10 persen untuk penyerahan dalam negeri dan 0 persen untuk ekspor.
Dasar hukum dari penerapan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Penyebutan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dengan nama Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku 1 April 1985 adalah Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 1994 (berlaku 1 Januari 1995), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (berlaku 1 Januari 2001), dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (berlaku 1 Januari 2010).
Dalam UU HPP yang telah diresmikan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2021 terdapat peraturan baru yang diterapkan pada PPN. Peraturan baru di antaranya yaitu mengenai tarif PPN yang terdapat pada UU HPP Pasal 7. Tarif PPN yaitu sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
Adapun tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan ekspor Jasa Kena Pajak. Tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan APBN.
Karakteristik
Pajak tidak langsung (indirect tax), maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
Multitahap (multi stage), maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi dari pabrikan.
Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak tanpa melihat kondisi subjek pajak.
bersifat netral. yaitu PPN tidak hanya dikenakan pada barang tetapi juga jasa.
Menghindari pengenaan pajak berganda (double tax). karena PPN hanya dikenakan pada pertambahan nilainya saja.
dipungut menggunakan faktur.
PPN dikenakan sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri (domestic consumptions).
Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Dasar Pengenaan Pajak
Dasar Pengenaan Pajak dalam Undang-Undang PPN 1984 dan perubahannya adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN 1984 dan perubahannya dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
Nilai Lain misalnya atas kegiatan membangun sendiri yang terutang PPN = 20 persen dari biaya yang dikeluarkan.
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan yakni Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Objek Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam pasal 4 Undang-undang PPN 1984 dan perubahannya (UU 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2010) adalah:
a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
h. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Objek Pajak Pertambahan Nilai yang lain diatur dalam pasal 16 C dan Pasal 16 D UU PPN 1984 dan perubahannya yaitu
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Faktur Pajak
Indonesia menganut metode pengurangan secara tidak langsung (indirect subtraction method) menggunakan mekanisme pengkreditan dengan faktur pajak (invoice method) sehingga keberadaan faktur pajak sangat penting dalam membuktikan adanya transaksi yang terutang pajak pertambahan nilai.
Faktur Pajak didefiniskan dalam pasal 1 angka 23 UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Bagi Penjual Faktur pajak yang diterima merupakan bukti Pajak Keluaran sedangkan bagi pembeli faktur pajak tersebut merupakan pajak masukan.
Faktur Pajak harus dibuat pada:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (tandatangan secara elektronik diperbolehkan).
Pengecualian
Indonesia menganut prinsip Negative list, dimana pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali yang disebutkan lain dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Jenis barang dan jenis jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, yaitu:
Barang tidak kena PPN
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas,digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas
susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium.
jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
jasa pengiriman surat dengan prangko meliputi jasa pengiriman surat dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain pengganti perangko tempel.
jasa keuangan, meliputi:
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
sewa guna usaha dengan hak opsi;
anjak piutang;
usaha kartu kredit; dan/atau
pembiayaan konsumen;
jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia
Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional.
Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
jasa tenaga kerja, meliputi:
jasa tenaga kerja.
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
jasa perhotelan, meliputi:
Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
jasa penyediaan tempat parkir
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
jasa pengiriman uang dengan wesel pos
jasa boga atau katering
PPN atas kegiatan membangun sendiri
Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan diluar kegiatan usaha atau pekerjaannya terutang PPN berdasarkan Pasal 16 C Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Persyaratan agar dikenakan PPN adalah bahwa bangunan yang berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan /atau perairan dengan konstruksi utamanya dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejensi, dan atau baja yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas keseluruhan paling sedikit 200 meter persegi.
PPN atas kegiatan membangun sendiri dikenakan tanpa melihat apakah yang melakukan kegiatan tersebut pengusaha kena pajak atau bukan baik orang pribadi atau badan.
PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah sebesar 10 persen dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (20 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan)
Ahmed, Ehtisham and Nicholas Stern. 1991. The Theory and Practice of Tax Reform in Developing Countries (Cambridge University Press).
Bird, Richard M. and P.-P. Gendron .1998. “Dual VATs and Cross-border Trade: Two Problems, One Solution?” International Tax and Public Finance, 5: 429–42.
Bird, Richard M. and P.-P. Gendron .2000. “CVAT, VIVAT and Dual VAT; Vertical ‘Sharing’ and Interstate Trade,” International Tax and Public Finance, 7: 753–61.
Keen, Michael and S. Smith .2000. “Viva VIVAT!” International Tax and Public Finance, 7: 741–51.
Keen, Michael and S. Smith .1996. "The Future of Value-added Tax in the European Union," Economic Policy, 23: 375–411.
McLure, Charles E. (1993) "The Brazilian Tax Assignment Problem: Ends, Means, and Constraints," in A Reforma Fiscal no Brasil (São Paulo: Fundaçäo Instituto de Pesquisas Econômicas).
McLure, Charles E. 2000. “Implementing Subnational VATs on Internal Trade: The Compensating VAT (CVAT),” International Tax and Public Finance, 7: 723–40.
Muller, Nichole. 2007. Indisches Recht mit Schwerpunkt auf gewerblichem Rechtsschutz im Rahmen eines Projektgeschäfts in Indien, IBL Review, VOL. 12, Institute of International Business and law, Germany. Law-and-business.de
Muller, Nichole. 2007. Indian law with emphasis on commercial legal insurance within the scope of a project business in India. IBL Review, VOL. 12, Institute of International Business and law, Germany.
OECD. 2008. Consumption Tax Trends 2008: VAT/GST and Excise Rates, Trends and Administration Issues. Paris: OECD.
Serra, J. and J. Afonso. 1999. “Fiscal Federalism Brazilian Style: Some Reflections,” Paper presented to Forum of Federations, Mont Tremblant, Canada, October 1999.
Sharma, Chanchal Kumar 2005. Implementing VAT in India: Implications for Federal Polity. Indian Journal of Political Science, LXVI (4): 915–934. [ISSN: 00019-5510] SSRN.com
Shome, Parthasarathi and Paul Bernd Spahn (1996) "Brazil: Fiscal Federalism and Value Added Tax Reform," Working Paper No. 11, National Institute of Public Finance and Policy, New Delhi
Silvani, Carlos and Paulo dos Santos (1996) "Administrative Aspects of Brazil's Consumption Tax Reform," International VAT Monitor, 7: 123–32.
Tait, Alan A. (1988) Value Added Tax: International Practice and Problems (Washington: International Monetary Fund).