Daging kodok kaya akan kandungan protein, asam lemak omega-3, vitamin A, dan kalium.[1] Daging kodok sering disebutkan memiliki rasa seperti ayam[2] karena rasanya yang lembut, dengan tekstur yang mirip dengan sayap ayam.[3] Daging kodok memiliki rasa dan tekstur antara rasa daging ayam dan ikan.[4] Kodok diternakkan secara komersial di negara-negara tertentu, misalnya di Vietnam. Otot kodok tidak mengalami rigor mortis secepat otot dari hewan berdarah panas (misalnya ayam), jadi jika terpapar panas saat memasak, dapat menyebabkan kaki katak segar itu bergerak dan berkedut-kedut.
Dari perspektif perlindungan hewan, hidangan paha kodok dianggap kontroversial akibat alasan kemanusiaan. Hal ini karena paha kodok sering kali dipotong tanpa pertimbangan atas rasa sakit dan penderitaan mereka. Kodok untuk konsumsi umumnya diamputasi dan dibuang hidup-hidup, akibatnya mereka menderita kematian yang menyakitkan.[5]
Masalah
Perdagangan
Setiap tahun, nilai perdagangan paha kodok secara internasional mencapai US $ 40 juta, dengan sebagian besar negara di dunia berpartisipasi dalam perdagangan ini.[6] Importir paha kodok terbesar di dunia adalah Prancis, Belgia, dan Amerika Serikat; sementara eksportir internasional terbesar adalah Indonesia dan Cina.[6] Walaupun angka-angka ini tidak memperhitungkan konsumsi domestik, ketika produksi dari peternakan kodok diperhitungkan, secara konservatif, diperkirakan bahwa setiap tahun di seluruh dunia, manusia mengkonsumsi hingga 3,2 miliar kodok sebagai makanan.[6]
Kesehatan
Perdagangan amfibi hidup, tidak beku, atau tanpa kulit, merupakan cara potensial untuk penyebaran penyakit amfibi yang mematikan, seperti Batrachochytrium dendrobatidis dan Ranavirus. Ada rekomendasi untuk mencegah penyebaran penyakit ini dari OIE, sebuah badan yang mengatur penyebaran penyakit epizootik internasional.[7] Beberapa negara telah mengadopsi rekomendasi ini sebagai undang-undang untuk mencegah penyebaran penyakit ini.
Di Kanada, penjualan paha kodok segar atau beku adalah ilegal kecuali mereka ditentukan bebas dari bakteri dari genus Salmonella , sesuai metode resmi MFO-10, Pemeriksaan Mikrob atas paha kodok.[8]
Lingkungan Hidup
Banyak aktivis pencinta lingkungan mendesak pembatasan konsumsi kodok—terutama yang ditangkap dari alam—karena hal itu dapat menyebabkan populasi amfibi menurun. Sementara kodok merupakan elemen penting dari sebuah ekosistem. Golongan pelestari lingkungan memperingatkan, bahwa meningkatnya permintaan daging kodok untuk pangan, secara serius dapat memusnahkan populasi kodok setempat.[9] Kodok adalah binatang yang peka terhadap perubahan lingkungan, penyakit, kerusakan habitat, dan polusi.
Pengecualian untuk ini adalah introduksi spesies katak kerbau Amerika di luar habitat aslinya. Dalam ekosistem ini, katak kerbau Amerika adalah spesies invasif yang dapat memusnahkan populasi amfibi lokal, mengganggu keseimbangan ekosistem, dan memiliki dampak negatif terhadap spesies satwa liar lainnya.
Keagamaan
Menurut hukum pangan Yahudi, semua reptil dan amfibi dianggap sebagai binatang yang tidak bersih. Karena itu, paha kodok dianggap tidak kosher, dan dilarang dimakan oleh orang Yahudi, terutama golongan Yahudi Ortodoks. Akan tetapi, aliran Yudaisme yang lebih liberal, seperti aliran Yahudi Reformasi, tidak melarang umatnya untuk memakan daging binatang yang tidak kosher.
Daging kodok dianggap haram (non- halal) menurut hukum pangan Islam arus utama. Daging kodok dianggap tidak halal, bersama dengan semut, lebah, dan burung laut, karena mereka adalah hewan yang tidak boleh dibunuh oleh Muslim. Selain itu kodok dianggap sebagai hewan yang hidup di dua alam. Status haram ini telah menimbulkan kontroversi di Kabupaten Demak, Indonesia, di mana ulama mendesak agar pemilik restoran swike agar tidak mengaitkan swike dengan Kabupaten Demak, karena itu akan menodai citra Demak sebagai daerah Islam pertama di Pulau Jawa. Istilah Swikee Demak pun ditentang oleh sebagian penduduknya, terutama yang mengikuti mahzab Syafi'i yang mengharamkan daging kodok.[10] Dalam hukum pangan Islam, ada beberapa perdebatan dan perbedaan mengenai masalah konsumsi daging kodok. Mazhab Islam arus utama seperti Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali dengan tegas melarang konsumsi kodok. Akan tetapi, menurut mahzab Maliki, beberapa jenis kodok tertentu boleh dimakan;[11] khususnya katak hijau yang biasa ditemukan di sawah. Sementara spesies lain terutama yang memiliki kulit budug dan berbintil, dianggap beracun dan tidak bersih, sehingga sama sekali tidak boleh dimakan.
Di Eropa abad pertengahan dan awal modern, daging kodok tidak dianggap sebagai daging. Karena itulah daging kodok dapat dimakan selama puasa Kristen Prapaskah yang berpantang daging, bersama dengan ikan dan daging burung. Pada abad ke-13, biarawan di Lorraine tercatat memakan daging kodok selama masa Prapaskah.[12] Koki Prancis yang terkenal, Grimod de La Reynière, menulis pada awal abad ke-19, bahwa daging kodok disebut sebagai Alouettes de Carême.[13]