Ompu Tuan Binur Sitanggang (disingkat sebagai O.T.B. Sitanggang; 2 Januari 1931 – 3 Maret 2016) adalah seorang pengusaha perintis angkutan penyeberangan kapal feri di Danau Toba, Sumatera Utara.[1] Ia dipandang sebagai salah satu perantau asal Pulau Samosir yang berhasil dan banyak memberikan perhatian dan bantuan kepada tanah kelahirannya.[2] Selain menjadi pengusaha pelopor di bidang transportasi air, O.T.B. Sitanggang juga merupakan pengusaha yang pertama menerjuni usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Samosir.[1] Ia juga pernah membuka usaha bioskop di sana.[1]
Masa kecil
O.T.B. Sitanggang menghabiskan masa kecilnya di Rianiate, sebuah kota kecil di Pulau Samosir, di tengah Danau Toba, yang kini telah menjadi Kabupaten Samosir. Dia adalah putra pertama dari Renatus Sitanggang Tiomin Sinaga. Ayahnya bekerja sebagai kepala negeri Rianiate. Kakeknya, Ampanuhari Sitanggang, juga bekerja sebagai kepala negeri Rianiate. Setelah Indonesia merdeka, Renatus Sitanggang beralih profesi menjadi guru.[1]
Pendidikan formal pertama kali, ia kecap di sekolah milik Zending Jerman di Rianiate. Tiga tahun kemudian, O.T.B. Sitanggang melanjutkan pendidikan ke sekolah milik Belanda (sekolah governemen) untuk perawat gigi di Pangururan, ibukota Samosir. Ia menempuh pendidikan di sini selama lima tahun. Pilihan atas sekolah ini dipengaruhi oleh saran pamannya, dr. Hadrianus Sinaga, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, yang ketika itu menjabat kepala rumah sakit umum di Pangururan.[1]
Setelah menyelesaikan pendidikan di Pangururan pada 1948, O.T.B. Sitanggang melanjutkan pendidikan ke sekolah perawat tingkat SLTA di Tarutung, Tapanuli Utara. Ia tinggal di rumah paman, yang ketika itu telah berpindah tugas ke rumah sakit di Tarutung. Sambil menempuh pendidikan, ia bekerja sebagai asisten dr. Hadrianus Sinaga.[1]
Merantau ke Jakarta
Pada tahun 1949, O.T.B. Sitanggang memutuskan merantau ke Jakarta. Pemicunya adalah kepindahan sang paman ke Jakarta untuk mengurus paspor dan visa ke Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia berencana mengirimkan dr. Hadrianus Sinaga melanjutkan studi ke Amerika Serikat. O.T.B. Sitanggang berniat mengikuti keluarga pamannya. Di Jakarta, ia menumpang bersama keluarga pamannya di rumah Mr. Elkana Tobing, salah seorang tokoh pergerakan nasional ketika itu.[1]
Ternyata, dr. Hadrianus Sinaga batal berangkat ke Amerika Serikat. Sebagai gantinya, Hadrianus melanjutkan studi kedokteran spesialis di R.S. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Akibatnya, O.T.B. Sitanggang juga urung turut ke Amerika Serikat. Ia menetap di Jakarta bersama sang paman yang kelak menjadi dokter militer. O.T.B. Sitanggang melanjutkan pendidikan ke sekolah perawat gigi di RS Cipto Mangunkusumo. Selanjutnya, ia mengikuti studi persamaan di SMA Boedi Oetomo Jakarta untuk memperoleh ijazah SMA. Ia menyelesaikannya pada 1958.[1]
Setelah menyelesaikan pendidikan perawat gigi, O.T.B. Sitanggang bekerja pada Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) yang saat ini dikenal sebagai Komando Daerah Militer Jakarta Raya. Pangkat terakhirnya adalah sersan mayor. Sambil bekerja ia berbisnis kecil-kecilan, yaitu menjadi agen properti peninggalan Belanda.[1]
Selain itu, ia aktif dalam beberapa organisasi sosial dan kemasyarakatan, termasuk menjadi anggota Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dimana pamannya menjadi ketua umum. Pada kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955—1956), sang paman menjadi menteri kesehatan dan O.T.B. Sitanggang ditugaskan sebagai ajudannya. Di sini, ia menimba pengalaman dari banyak orang yang berhubungan dengan sang paman, termasuk dari para pengusaha. Ia sering berperan menjadi perantara antara Departemen Kesehatan dengan para pengusaha.[1]
Menjadi pengusaha
Salah satu kiprah bisnisnya yang menentukan ialah ketika Departemen Kesehatan di bawah kepemimpinan sang paman berencana mendatangkan peralatan rontgen dari luar negeri. O.T.B. Sitanggang mengetahui rencana itu dan mengontak salah seorang kenalannya di luar negeri. Mereka kemudian ikut tender pengadaan peralatan itu dan menang. Hasil bisnis pengadaan peralatan tender dipergunakan O.T.B. Sitanggang sebagai modal bisnis untuk berkembang. Ia pun memutuskan berhenti dari dinas kemiliteran dan fokus sebagai pengusaha.[1]
Selain menekuni bisnis pengadaan peralatan kesehatan, O.T.B. Sitanggang di awal kiprahnya sebagai pengusaha bermintra dengan pengusaha dari Singapura untuk mendatangkan barang-barang elektronik. Ia juga sempat berpartner dengan pengusaha keturunan India dengan bendera PT Washy & Co., mendatangkan barang-barang tekstil dari Singapura ke pelabuhan Tanjung Priok. O.T.B. Sitanggang menggorganisir sejumlah ibu-ibu (inang-inang) Batak untuk mengawalnya dari Singapura.[1]
Saudagar lain yang banyak membantu kiprahnya adalah Robert Monang Sitanggang, adik bungsu kakeknya yang bermukim di Singapura. Selanjutnya adalah ajudan merangkap sekretaris pribadi Direktur Utama Pertamina, Karim Kono. Karim Kono memperkenalkan O.T.B. Sitanggang kepada para pejabat Pertamina, untuk membuka kesempatan menjadi leveransir bagi perusahaan BUMN itu. Order pertama dari Pertamina senilai 20 juta rupiah untuk penyediaan tabung gas.[1]
Cikal bakal entitas bisnisnya secara mandiri dimulai dengan berdirinya CV. Riantraco yang beralamat di rumahnya, Jalan Bungur Besar No. 16 Kemayoran, Jakarta. Nama perusahaan itu merupakan singkatan dari Rianiate Trading Company. Namun tidak selalu bendera ini yang dipakai untuk berkiprah. Dia juga pernah memakai bendera Bintang Sakti Maju tatkala berbisnis dengan Pertamina.[1]
Terjun ke Timor Timur
Pada tahun 1976 ketika pemerintah Indonesia mengadakan pembangunan secara masif di Timor Timur (kini Timor Leste), OTB Sitanggang terjun sebagai kontraktor. Ia mendapat bagian untuk membangun Bandara Komoro dan jalan dari Bandara ke kota Dilli sepanjang 20 kilometer. Dia menghadap langsung ke kantor Mayor Jenderal Benny Moerdani yang kala itu membawahi proyek pembangunan di Timor Timur untuk menyatakan kesediaan diterjunkan ke wilayah itu. Di Timor Timur ia antara lain mengenal dengan akrab Dading Kalbuadi (pangkat terakhir Letnan Jenderal) yang merupakan Panglima Operasi Seroja dan kemudian Panglima Kodam Timor Timur. Ia juga banyak mendapat bantuan dari Kolonel Justin Sinaga, salah seorang staf Dading Kalbuadi.[1]
Di Timor Timur OTB Sitanggang pertama kali memperoleh inspirasi untuk merintis angkutan ferry di Danau Toba. Ketika mengerjakan proyek infrastruktur di Dilli, ia melihat sebuah kapal penyeberangan tua yang tidak terpakai. Timbul niat di hatinya untuk membawa kapal bekas itu ke Danau Toba untuk dioperasikan. Usulannya itu ditolak dan ditertawakan karena tidak layak secara teknis.[1]
Pembangunan Samosir
Keberhasilannya sebagai saudagar di tanah rantau mendorongnya memberi perhatian membangun seraya berbisnis di kampung halamannya. Pada tahun 1970-an, Departemen Penerangan menetapkan OTB Sitanggang sebagai pemegang lisensi impor tunggal film-film Mandarin untuk wilayah Sumatera Utara. Selain memegang lisensi mengimpor, ia juga menjadi pemilik hak tunggal distribusi. Kesempatan ini dipergunakannya untuk membangun bioskop di Rianiate, Samosir, Pada tahun 1981, bioskop pertama berdiri di Samosir, sebuah bioskop berdinding beton, manakala bioskop-bioskop di wilayah seputar Tapanuli Utara umumnya masih berdinding papan.[1]
Masih di Pulau Samosir, OTB SItanggang juga berkiprah dengan pembangunan terusan Tano Ponggol sepanjang satu kilometer. Terusan ini merupakan pemisah antara Pulau Samosir dan Pulau Sumatra. Pada saat mengerjakan proyek ini, hubungan lebih dekat dengan pihak Departemen Perhubungan terjadi. Diskusi tentang membangun angkutan ferry yang pernah terpikir di Timor Timur, sering terjadi.[1]
Setahun sebelum proyek terusan Tano Ponggol, OTB Sitanggang merintis pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Samosir. Ia memperoleh lahan seluas 2.500 meter dari sejumlah keluarga dekat, persyaratan yang diajukan oleh Pertamina. Pada tahun 1982, OTB Sitanggang telah memperoleh izin pendirian SPBU namun ia tidak dapat langsung membangunnya. Sebab, seandainya pun SPBU berdiri, masih ada kendala transportasi sebab belum ada jalan arteri untuk menghubungkan Pangururan dengan Parapat. SPBU tersebut baru dibangun pada tahun 1986 setelah OTB Sitanggang membangun angkutan ferry yang menghubungkan Ajibata dengan Tomok.[1]
Angkutan Ferry Pertama
OTB Sitanggang menilai ketiadaan angkutan massal yang memadai yang menghubungkan kota-kota di Pulau Samosir dengan pesisir pantai Danau Toba di seberangnya sering menjadi kendala ekonomi. Ibu-ibu yang berdagang ke Tigaras atau Ajibata, kerap kali harus bermalam dan tidak dapat pulang ke Pulau Samosir karena kapal motor yang seharusnya mengangkut mereka sudah terlanjur berangkat. Terbatasnya frekuensi dan daya angkut menjadi kendala.
Pada tahun 1982 OTB Sitanggang mulai melakukan lobi untuk mendapat izin penyelenggaraan angkutan ferry. Departemen Perhubungan mengatakan sebetulnya pemerintah sudah memiliki rencana membangun angkutan sejenis, tetapi pemerintah pusat tidak memberi lampu hijau karena alasan tidak memenuhi skala ekonomis. Menjawab hal itu, OTB Sitanggang mengatakan ia akan menanggung segala risiko bisnis, asal diberikan izin.
Keseriusan OTB Sitanggang semakin diuji ketika Departemen Perhubungan menyatakan bahwa mereka baru akan memberikan izin bila OTB Sitanggang dapat menunjukkan desain ferry yang akan ia operasikan. Desain itu harus dibuat oleh perusahaan yang memiliki kompetensi di bidang itu. Selain itu, OTB Sitanggang juga diharuskan menunjukkan adanya dana sejumlah tertentu yang sudah ia siapkan. Izin diberikan hanya untuk dua tahun, setelah itu akan dicabut bila tidak direalisasikan. OTB Sitanggang menyepakati persyaratan tersebut.
Konstruksi angkutan ferry tersebut dilaksanakan di sebuah galangan kapal yang dibangun di Tomok. Pelaksana konstruksi adalah PT Kartaputra yang dipimpin oleh Ir. Kuslan. Konstruksi kapal penyeberangan ini memakan waktu berbulan-bulan dengan mempekerjakan 15 orang. Alat-alat berat dan bahan-bahan berupa plat besi dan baja didatangkan ke lokasi melalui jalan darat yang belum sepenuhnya baik. Bahkan sempat ada truk pengangkut peralatan yang terguling ke jurang.
Aneka peristiwa dramatis terjadi dalam perjalanan proyek pionir ini Di antaranya, galangan kapal tersebut pernah mengalami kebakaran. Kebakaran itu ternyata disengaja dan polisi dapat menemukan pelakunya.
Cemooh terhadap proyek ini juga tidak sedikit. Di antaranya datang dari pihak yang menganggap mata pencaharian mereka akan terancam dengan kehadiran ferry. Badan kapal yang masih dalam pengerjaan pernah ditulisi grafiti berbunyi, "Parao ni si Noak," suatu ejekan yang mengibaratkan kapal itu merupakan perahu Nuh.
Pada tahun 1986 konstruksi angkutan ferry rampung. OTB Sitanggang memberinya nama KM Tao Toba. Peresmian beroperasinya angkutan ferry dilaksanakan pada 31 Juli 1986. Sebelum peresmian, OTB Sitanggang telah pula menyiapkan pembenahan dermaga ferry di Tomok dan Ajibata dan menyiapkan personelnya. Selain itu, OTB Sitanggang memperbaiki 15 jembatan yang rusak atau belum dibangun di sepanjang jalan yang menghubungkan Tomok dan Nainggolan di Samosir, agar mobil-mobil yang akan menggunakan jasa angkutan ferry dapat melewatinya.
Setahun kemudian OTB Sitanggang menambah satu lagi angkutan ferry yang dia beri nama KM Tao Toba 2.
Dewasa ini angkutan ferry ke Pulau Samosir telah berkembang. Saat ini terdapat tiga rute menuju Pulau Samosir dengan angkutan ferry, Pertama, melalui Pelabuhan Ajibata di Kota Parapat menuju Pelabuhan Tomok, Ajibata menuju Ambarita dan Tigaras menuju Simanindo. Penyeberangan ketiga rute tersebut dilayani dengan 5 kapal ferry berbeda.[3]
Khusus dari Ajibata ke Tomok dan sebaliknya, penumpang dapat menumpang KMP Tao Toba I dan KMP Tao Toba II. Per hari, kedua ferry masing-masing melayani 5 kali keberangkatan. Sementara jalur Ajibata ke Ambarita, dilayani dengan KMP Ihan Batak dengan jadwal penyeberangan 4-6 kali per hari. Sedangkan jalur Tigaras-Simanindo atau sebaliknya, dilayani KMP Sumut I dan KMP Sumut II dengan frekuensi 6 hingga 7 kali keberangkatan.[3]
Referensi