Mohammad Ichsan[a] (25 September 1902 – 16 Juni 1991) adalah seorang tokoh pergerakan revolusi Indonesia yang pada awal kemerdekaan diangkat menjadi wali kota pertama Semarang. Sepanjang 1950-an, ia jadi Duta Besar Indonesia untuk Swedia dan Thailand. Di penghujung pemerintahan Sukarno, ia diangkat sebagai Sekretaris Negara.[1][2]
Riwayat hidup
Masa kecil dan pendidikan
Mohammad Ichsan lahir pada 25 September1902 di Weleri, Kendal dengan nama Raden Mas Icksan. Ia putra kedua pasangan R.M.A. Notohamidjojo dan R.A. Siti Hadidjah. Ayahnya saat itu merupakan pegawai kolonial yang menjabat asisten wedana di Srondol, Semarang – sebelum kelak diangkat jadi bupati Kendal pada 1914. Ia memiliki seorang kakak laki-laki bernama R.M. Djoenaedi. Dari sisi ayahnya, Ichsan cucu bupati Kendal 1891-1911, R.M.A.A. Notonegoro. Sedangkan dari belah ibunya, ia cucu bupati Lamongan 1885-1908, R.A. Djojodirono.[3]
Dengan latar belakang tersebut, tak heran Ichsan berkesempatan mengenyam pendidikan Belanda di Semarang. Ia berturut-turut merampungkan ELS dan HBS pada 1917 dan 1923.[1] Segera setelahnya ia berlayar ke negeri Belanda untuk kuliah.[4]
Di Belanda, Ichsan menjalani kuliah hukum di Universitas Leiden. Studinya namun sempat tertunda karena aktivitas pergerakannya bersama Perhimpunan Indonesia – ini juga membuatnya berada dalam pengawasan aparat penegak hukum Belanda. Baru pada 1933, setelah tekanan politik diberikan terhadap keluarganya, ia kembali memfokuskan diri terhadap pelajarannya dan setahun kemudian lulus sebagai Meester in de Rechten.[3][5]
Birokrat kolonial
Sepulang dari Belanda, Ichsan berkarir dalam birokrasi kolonial, kuat dugaan atas desakan keluarga setelah aktivitas politiknya diselidiki secara terbuka oleh aparat kolonial.[3] Mula-mula sebagai volontoir di kantor residen di Pati (1935-1936). Ia kemudian jadi commies redacteur di kantor Residen Kedu (1936-1938) hingga menduduki jabatan hoofdcommies (1938-1940). Setelahnya ia dipindah ke kantor sekretaris provinsi di Semarang. Selama setahun bertugas sebagai maandgelder kantor tersebut, lalu jadi redacteur.[1]
Pada zaman Jepang, Ichsan tetap bekerja sebagai birokrat dan diperbantukan di kantor pengadilan di Semarang.[6]
Wali kota pertama Semarang
Setelah Proklamasi, penataan pemerintahan di Jawa Tengah mulai diupayakan oleh gubernur Soeroso dan Wongsonegoro. Di Semarang, Mr. Iman Sudjahri, seorang bekas pegawai di kantor penasehat kota Semarang pada zaman Jepang, diserahi tanggung jawab yang antaranya mencakup tugas-tugas wali kota.[7][8]
Barulah pada 8 Januari1946 pemerintah Republik di Jakarta secara resmi mengangkat Ichsan sebagai Kepala Kota Semarang (sementara).[9]Menteri Muda Dalam Negeri Mr. Harmani diutus ke Semarang untuk melakukan pelantikan.[10] Diadakan di markas Brigade 49 tentara Sekutu, peristiwa ini dianggap sekaligus menandai pengakuan de facto Sekutu atas Republik Indonesia.[11]
Ichsan mengemban amanah ini dengan berbagai keterbatasan, seiring berkecamuknya konflik antara Indonesia dan Belanda. Apalagi, per 17 Mei 1946, Belanda dapat merebut dan menguasai Semarang. Puncaknya, pada 3 Juni1946, Ichsan ditangkap dan dipenjara. Setelah 18 hari, ia sempat dilepas. Namun ditangkap kembali pada 1 Juli 1946 karena dituduh aktif menjalin komunikasi dengan pihak Republik di luar Semarang untuk merencanakan penyerangan.[12][13] Ia baru benar-benar dibebaskan pada 11 Oktober 1946.[14]
Wakil sekretaris negara
Pada 14 Juli1947, Ichsan dipanggil pemerintah RI di Yogyakarta untuk mengisi jabatan pos wakil Sekretaris Negara. Tugasnya saat itu termasuk menjadi sekretaris pribadi presiden dan juga kepala rumah tangga kepresidenan.[15]
Duta besar
Antara 1953 hingga 1960, Ichsan ditugasi untuk menjadi duta besar Indonesia di negara-negara berikut:
Pada 11 September1935 Ichsan melangsungkan pernikahannya dengan R.A. Siti Rochaniah Moetmainah atau yang akrab dipanggil Hilda, putri bupati Lamongan R.A.A. Djojoadinegoro.[16] Berbeda usia 16 tahun, keduanya yang terhitung masih sepupu telah diperjodohkan bahkan sejak sebelum Ichsan berangkat kuliah ke Belanda.
Keduanya kelak dikarunia 2 orang anak bernama Muljadi (lahir 1950) dan Firman (lahir 1952).[17]