Letak Desa Mattiro Labangeng dalam wilayah Sulawesi Selatan.
Mattiro Labangeng (Bugis: ᨆᨈᨗᨑᨚ ᨒᨅᨂᨛ, translit. Mattiro Labangêng, har. 'melihat pemandangan') adalah nama sebuah desa berbentuk kepulauan di Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Desa ini terdiri atas 2 pulau berpenghuni, yakni Laiya (pusat pemerintahan) dan Polewali. Desa ini terletak pada posisi koordinat 04°49'44,52” LS dan 119°24'11,20” BT, dengan batas-batas administrasi; Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Mattiro Uleng; Sebelah Barat berbatasan dengan Pesisir Pangkep daratan; Sebelah Selatan Berbatasan dengan Desa Mattiro Bulu; dan Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mattiro Dolangeng. Selain terdiri atas pulau-pulau, desa ini juga memiliki gosong, diantaranya Gosong Luara, Gosong Laiya, Gosong Takaluara, dan Gosong Lumula.
Etimologi
Mattiro Labangeng diambil baik dalam bahasa Bugis. Kata mattiro merupakan bentuk kata kerja (verba) dan dari kata dasar tiro yang memiliki makna lihat/pandang. Kata mattiro yang telah dibubuhkan prefiks ma- dan fon t mengalami geminasi sehingga maknanya "melihat/memandang/menuju". Sedangkan kata labangêng merupakan bentuk kata benda (nomina) yang memiliki makna "pemandangan". Jadi Mattiro Labangeng memiliki makna "melihat atau memandangi pemandangan".[1]
Demografi
Desa Mattiro Labangeng terdiri atas 2 pulau berpenghuni. Kedua pulau masing-masing dihuni oleh 866 jiwa dalam wilayah seluas 3 km² di Laiya dan 164 jiwa dalam wilayah seluas 2 km² di Pulau Polewali (PMU Coremap Pangkep, 2007). Secara etnisitas penduduknya terdiri dari percampuran antara etnis Bugis dan Makassar demikian halnya dengan bahasa sehari-hari mereka.
Kondisi geografis
Wilayah Desa Mattiro Labangeng terdiri atas wilayah permukiman penduduk, pantai berpasir putih, vegetasi, terumbu karang, semak belukar, dan padang lamun.
Aksesibilitas
Untuk mencapai Pulau Laiya diperlukan waktu kurang lebih 1 jam dari Liukang Tupabbiring Utara|Pangkajene dengan menggunakan perahu motor. Angkutan umum berupa perahu motor yang melayani jalur Pulau Laiya menuju Pangkajene mengenakan tarif Rp. 35.000,-/penumpang.
Sarana dan prasarana
Sarana yang tersedia di Pulau Laiya (pusat pemerintahan) adalah sarana pemerintahan berupa kantor desa dan balai pertemuan desa serta sebuah Pustu yang menjadi satu-satunya fasilitas pelayanan kesehatan umum bagi masyarakat kedua pulau.
Kebutuhan air minum warga dapat terpenuhi melalui keberadaan sumber air sehingga pada musim kemarau mereka tidak kekurangan air meskipun air tersebut tergolong payau. Kebutuhan listrik terpenuhi dengan keberadaan mesin generator pembangkit listrik berbahan bakar solar yang menyuplai listrik ke rumah-rumah warga.
Aktivitas masyarakat
Sebagian besar warga bermatapencaharian sebagai nelayan dengan alat tangkap yang bervariasi menurut komoditi target nelayan seperti alat tangkap lanra' dan mini trawl untuk menangkap kepiting dan udang. Sedangkan warga yang mencari ikan seperti banyara' atau ikan-ikan karang umumnya menggunakan pukat khusus banyara’.
Di pulau ini terdapat usaha budidaya rumput laut, jenis rumput laut yang mereka usahakan adalah Eucheuma Cottonii. Jenis komoditi lain yang ada di Pulau Laiya adalah pohon sukun dan kelor. Kedua komoditi ini tidak saja untuk dikonsumsi penduduk Pulau Laiya, tetapi juga dijual sampai ke Kota Pangkep. Kedua komoditi ini dapat dijumpai hampir sepanjang tahun. Namun masa dimana hasil panen melimpah berlangsung pada bulan Juni sampai Oktober untuk kelor sedangkan sukun pada bulan Oktober sampai Maret. Beberapa warga menggeluti usaha pembuatan perahu. Pembuatan perahu ini dilakukan sesuai dengan pesanan, karena jumlah penduduk yang membuat perahu ini tidak banyak, dan jumlah yang dibuat juga sesuai dengan pesanan.
Lokasi dan waktu penangkapan
Lokasi penangkapan udang dan kepiting, banyara' dan ikan karang relatif dekat, yakni di sekitar pulau tempat tinggal mereka. Pemancingan ikan dilakukan oleh masyarakat ketika musim Barat tiba, dimana ombak relatif besar, sehingga kegiatan penangkapan tersebut tidak dilakukan di lokasi yang jauh, tetapi di daerah terumbu karang sekitar pulau dengan menggunakan pancing tradisional. Hasil yang mereka dapatkan hanya diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi rumah tangga sehari-hari.
Masa-masa paceklik terjadi pada musim Barat, banyak nelayan yang tidak melaut ke lokasi yang relatif jauh karena kondisi perairan laut yang berombak tinggi. Berdasarkan kalender musim, kepiting dan udang paling melimpah masa penangkapannya, antara bulan Oktober dan Maret. Seperti beberapa di pulau lain, kedua komoditi ini merupakan andalan masyarakat. Jenis tangkapan lainnya adalah ikan, seperti ikan banyara' dan sunu. Beberapa nelayan juga adalah nelayan teripang, dimana waktu penangkapannya tidak mengenal musim, (setiap hari meskipun jumlahnya sedikit).
Biofisik perairan
Pada Pulau Laiya, terumbu karang kurang subur karena kekeruhan yang tinggi dan jarak pandang hanya 6 meter akibat suplai sedimen dari daratan. Tipe terumbu karang finging reef dengan kemiringan lereng terumbu sekitar 40o, kondisi terumbu karang yang telah rusak. Kombinasi antara pasir dan pecahan karang mati menjadi pemandangan yang biasa pada kedalaman lebih dari 5 meter, sementara karang keras yang hidup tinggal 14 - 46% (Lemsa, 2006 dan LIPI, 2006).
Di beberapa titik ditemukan pemutihan karang (bleaching) di sekitar reef flat dan reef edge, akibat surut terendah. Karang Acropora tidak ditemukan, sementara karang batu bentuk masif dan encrusting serta karang bertentakel acap kali ditemukan seperti Goniopora, Euphyllia, Heliofungia, Lobophyllia, Symphyllia, dan kelompok Faviidae masih dominan. Diantara karang mati ditumbuhi karang lunak, biotabiota aosiasipun jarang ditemukan, kecuali kelompok filum Tunicata. Ikan karang di Pulau Laiya masih didominasi oleh jenis-jenis dari famili Pomacentridae, Caesionidae, Acanthuridae dan Lutjanidae
Lihat pula
Referensi
- ^ Said DM, M. Ide (1977). Kamus Bahasa Bugis-Indonesia (PDF). Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 109.