Masjid Raya Lima Kaum adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Lima Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1710. Lokasinya berada di pusat Nagari Lima Kaum, yakni di Balai Sariak, Jorong Tigo Tumpuak, sekitar 20 meter dari jalan arah Batusangkar menuju Padang.
Pada 2010, masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya bersama beberapa masjid lain di Sumatera Barat, seperti Masjid Bingkudu di Nagari Canduang Koto Laweh, Masjid Rao Rao di Nagari Rao Rao, dan Masjid Raya Ganting di Kota Padang.
Sejarah
Tidak diketahui pasti tahun berapa sebetulnya masjid ini didirikan. Meskipun demikian, cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah masjid di Nagari Lima Kaum yang didirikan pada pertengahan abad ke-17, menyusul masuknya Islam ke Dataran Tinggi Minangkabau. Masjid itu terletak di Jorong Balai Batu dan masih berupa bangunan sederhana beralaskan batu tanpa dinding dan atap, atau dalam bahasa Minangkabau dijuluki dengan baaleh batu, badindiang angin, baatok langik. Pada waktu yang tidak diketahui, dibangun masjid pengganti di lokasi lain, yaitu di Jorong Tigo Tumpuak, yang keberadaannya tidak bertahan lama karena kapasitasnya tak memadai. Pada tahun 1710, di atas lokasi sebuah pagoda yang telah lama ditinggalkan penganutnya karena masuk Islam, dibangunlah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Raya Lima Kaum.
Pembangunan masjid ini dilakukan secara bersama oleh masyarakat setempat. Bangunannya terbuat dari kayu dan papan, mulai dari dinding hingga tiang, sementara atapnya yang semula terbuat dari ijuk telah diganti dengan seng. Dalam perkembangan selanjutnya, masjid ini juga mengalami beberapa perbaikan yang dilakukan secara swadaya, termasuk perbaikan dan pelebaran mihrab, pembuatan serambi, perbaikan dan pemasangan kaca pada jendela, penggantian bilah-bilah papan yang telah rapuh, dan pembuatan loteng.
Arsitektur
Masjid Raya Lima Kaum didirikan jauh sebelum Belanda masuk ke Minangkabau, sehingga tidak ada pengaruh arsitektur Barat atau Belanda terhadap bangunan masjid ini. Arsitektur masjid ini umumnya dipengaruhi oleh corak Minangkabau dan bentuk atap merupakan sinkretisme antara Hindu-Budha dengan Islam. Masjid ini berdiri di atas tanah berdenah segi-empat, menggantikan bangunan pagoda yang telah lama ditinggalkan penganutnya karena memeluk Islam. Atap masjid ini dibuat berundak-undak sebanyak lima tingkat dengan permukaan atap yang tidak datar melainkan cekung; cocok untuk daerah beriklim tropis seperti Minangkabau karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah. Antara tingkatan atap yang satu dengan yang lain terdapat celah untuk pencahayaan, sementara pada tingkatan teratas terdapat bangunan (puncak) berdenah segidelapan yang memiliki beberapa jendela kaca dengan atap berbentuk limas; dari atas bangunan ini dapat melihat bangunan rumah-rumah penduduk di sekitran masjid serta kota Batusangkar.
Ruang utama
Di dalam ruang utama, yang berfungsi sebagai ruang salat, terdapat tiang-tiang yang terbuat dari kayu dengan tiang utama berdiameter 75 cm dan tinggi mencapai 55 m; seluruh kayu yang digunakan dikumpulkan secara bersama oleh masyarakat setempat selama sekitar satu tahun dari Bukit Sangkiang sampai Bukit Dadieh Talago Gunuang. Tiang utama ditutup dengan tripleks sehingga membentuk segidelapan yang di dalamnya terdapat tangga naik ke bagian puncak yang berbentuk spiral atau melingkar ke arah kiri.
Pada bagian dinding di ruang utama terdapat beberapa jendela di setiap sisi, yaitu enam di sisi utara dan selatan ditambah empat di sisi barat dan timur. Dinding tersebut berupa papan, begitu pula dengan lantai; kecuali lantai pada bagian mihrab yang telah diganti dengan keramik. Meski telah beberapa kali mengalami perbaikan, dinding dan lantai tersebut hingga saat ini masih terbuat dari papan, begitu pula dengan tiang juga masih terbuat dari kayu. Di bagian timur sebelah selatan ruang utama terdapat bedug atau disebut tabuah dalam bahasa Minang yang terbuat dari pohon kelapa dengan diameter dari ujung ke ujung 27 cm sampai 60 cm dan panjang 220 cm.
Serambi
Di sebelah timur atau di bagian depan terdapat serambi berupa ruangan yang tertutup dinding dan kaca dengan pondasi terbuat dari beton dan memiliki pintu masuk dari utara dan selatan. Selain sebagai ruang peralihan, serambi itu juga difungsikan sebagai tempat belajar Al-Qur'an dan tempat penitipan alas kaki. Pada bagian atas serambi terdapat menara berupa bangunan berdenah segidelapan dengan dua jendela kaca di setiap sisinya dan dimahkotai oleh semacam kubah berbentuk susunan buah labu yang megerucut ke atas.
Simbol
Dalam riwayat tradisional, Masjid Raya Lima Kaum disebut sebagai simbol perdamaian antara Datuk Ketemanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang yang berselisih soal adat Minangkabau. Sebelum masjid ini didirikan, terjadi pertentangan antara keduanya yang berujung pada peristiwa Batu Batikam. Ketegangan di antara keduanya tidak kunjung pulih hingga pemuka masyarakat Lima Kaum menganjurkan diadakannya kenduri sebagai tanda perdamaian yang diikuti pendirian masjid dengan atap berundak sebanyak lima tingkat.
Hamka menyebut arsitektur Masjid Raya Lima Kaum sebagai "lambang yang tinggi" dari "penerimaan jiwa nenek moyang kepada ajaran Islam". Dalam tulisannya di Haluan pada 14 April 1951, ia meminta agar masjid ini dipelihara oleh pemerintah alih-alih diruntuhkan dan diganti dengan "bangunan yang tidak tentu modelnya". Pada 1968, Hamka menyarankan agar atap masjid yang dibuat dari ijuk diperbaiki, "tetapi tingkatnya tetap lima".
Rujukan
- Catatan kaki
- Daftar pustaka