DomManuel II (diucapkan [mɐnuˈɛɫ]; bahasa Inggris: Emanuel II), bernama Manuel Maria Filipe Carlos Amélio Luís Miguel Rafael Gabriel Gonzaga Francisco de Assis Eugénio de Saxe-Coburgo-Gotha e Bragança[1] ; "sang Patriot" (Portugis: "o Patriota") atau "yang Malang" ("o Desventurado")— (19 Maret 1889 – 2 Juli 1932) berkuasa sebagai raja Portugal ke-34 (atau ke-35 oleh beberapa sejarawan) dan raja terakhir Portugal dari tahun 1 Februari1908 hingga 5 Oktober1910 melalui Kudeta Revolusi 5 Oktober 1910.
Kehidupan awal
Manuel dilahirkan di Istana Belém, Lisboa kurang dari sebulan setelah ayahnya CarlosI naik tahta kerajaan Portugal. Manuel merupakan anak ketiga dari Carlos dan Amélie dari Orléans[2].
Seorang anggota dari Dinasti Braganza[3], Manuel dibaptis beberapa hari setelah lahir dengan kakek dari pihak ibunya sebagai ayah baptisnya. Pedro II, Mantan Kaisar Brasil adalah kakek buyut dari pihak ayah Manuel II yang didepak dari kursi kekaisaran pada hari kelahiran Manuel menghadiri acara pembaptisannya.
Manuel meneirma pendidikan tradisional dari seorang anggota keluarga kerajaan tanpa kesibukan politik yang menimpa kakak laki-lakinya yang ditakdirkan menjadi Raja. Meskipun Manuel dibesarkan sebagai sorang anggota kelas atas, ia menjadi lebih populis setelah naik tahta dan banyak mengabaikan protokoler kerajaan[4]. Selain itu ia juga mempelajari berbagai bahasa dan sejarah-sejarah serta belajar tulis, membaca dan berbicara dengan bahasa Prancis. Manuel juga mendemonstrasikan kecintaannya terhadap sastra dan membaca, tidak seperti saudaranya yang lain yang justru lebih tertarik dengan kegiatan fisik. Manuel juga mempelajari aktivitas berkuda, anggar, dayung, tenis, dan berkebun. Dia adalah seorang pencinta musik yang hebat, terutama Beethoven dan Wagner, dan memainkan piano.
Semasa kecil, Manuel sering bermain dengan anak dari Count Figueiró, Count Galveias dan keluarga-keluarga bangsawan lainnya. Pada tahun 1902, Manuel belajar bahasa Latin dan Jerman dengan Franz Kerasuch, dan seterusnya belajar dengan Pastor João Damasceno Fiadeiro (sejarah Portugis); Marquês Leitão (Matematika); M. Boeyé (sastra Perancis dan Perancis); Alfredo King (sastra Inggris dan bahasa Inggris), Pastor Domingos Fructuoso (Agama dan Moral) dan Alexandre Rey Colaço (piano).
Pada tahun 1903, Manuel bertolak menuju Mesir bersama ibu dan saudanya dengan menaiki Kapal Kerajaan Amélia untuk menambah pengetahuannya tentang peradaban terdahulu. Ditahun 1907, Manuel kemudian dimasukkan ke Akademi Angkatan Laut Portugal
Pembunuhan Lisbon
Masa depan Manuel di Angkatan Laut Portugal secara tiba-tiba kandas pada 1 Februari 1908. Dihari tersebut, keluarga kerajaan hendak pulang dari Istana Adipati di Vila Viçosa menuju Lisboa. Kereta yang membawa Raja Carlos dan keluarganya melewati alun-alun Terreiro do Paço di mana tembakan dilepaskan oleh setidaknya dua aktivis revolusioner republik Portugis: Alfredo Luis da Costa dan Manuel Buiça. Tidak jelas apakah para pembunuh tersebut berusaha membunuh Raja, Pangeran Kerajaan atau perdana menteri, João Franco. Para pembunuh ditembak mati di tempat oleh pengawal kerajaan dan kemudian diakui sebagai anggota Partai Republik Portugis. Raja terbunuh; Pangeran Luís Filipe terluka parah; Pangeran Manuel terkena pukulan di lengannya; Ratu Amélie tidak terluka. Pemikiran cepat Amélie-lah yang menyelamatkan putra bungsunya. Sekitar 20 menit kemudian, Pangeran Luis Filipe meninggal. Beberapa hari kemudian, Manuel II diproklamasikan sebagai Raja Portugal. Raja muda, yang belum dipersiapkan untuk memerintah, berusaha menyelamatkan posisi rapuh dinasti Braganza dengan memecat João Franco dan seluruh kabinetnya pada tahun 1908. Ambisi berbagai partai politik membuat pemerintahan singkat Manuel menjadi penuh gejolak. Dalam pemilihan umum bebas yang diadakan pada tanggal 28 Agustus 1910, Partai Republik hanya memenangkan 14 kursi di badan legislatif.
Raja Portugal dan Algarve
Tindakan pertama Manuel II adalah melakukan pertemuan dengan Dewan Negara dan mengajukan permintaan pengunduran diri Perdana Menteri João Franco yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi terbunuhnya raja dan pangeran kerajaan. Manuel kemudian membentuk pemerintahan persatuan nasional yang dipimpin oleh Laksamana Francisco Joaquim Ferreira do Amaral. Kebijakan Manuel ini berhasil menenangkan kaum republiken, namun jika dipikir-pikir, hal ini dipandang sebagai kelemahan.
Manuel membuka Majelis Kerajaan pada 6 Mei 1908 dengan kehadiran para perwakilan bangsa dan menegaskan dukungannya terhadap konstitusi. Manuel menerima dukungan dan simpati masyarakat terlebih karena kematian ayah dan saudaranya. Manuel dilindungi oleh ibunya dan meminta dukungan dari politikus berpengalaman José Luciano de Castro. Menilai bahwa campur tangan Raja Carlos adalah alasan terjadinya peristiwa tahun 1908, Manuel menyatakan bahwa dia akan bertahta, dan tidak memerintah[5].
Sebagai bagian dari kebijakannya, Raja Manuel II berupaya meningkatkan hubungan antara kerajaan dengan para bawahannya. Raja Manuel II mengunjungi beberapa wilayah di Portugal seperti Porto, Braga, Viana do Castelo, Oliveira de Azeméis, Santo Tirso, Vila Nova de Gaia, Aveiro, Guimarães, Coimbra and Barcelos. Selama kunjungan kerja ini, para masyarakat terpikat oleh raja yang masih berusia muda dan dia diterima dengan hangat. Pada tanggal 23 November dia melakukan perjalanan ke Espinho untuk membuka Kereta Api Vale do Vouga. Dalam perjalanannya, dia memikat hati orang-orang dengan keterusterangan dan karakter salehnya.
Namun, dia tidak populer di kalangan Partai Republik. Salah satu dari mereka, João Chagas, jurnalis anti-monarkis dan propagandis Partai Republik, memperingatkan Raja tentang masalah yang akan berkembang ketika ia menyatakan:
"...Yang Mulia masih terlalu muda untuk dunia yang sangat tua...!"
Permasalahan Sosial
Diera abad ke-19, banyak kaum intelektual dan politikus menyibukkan diri dengan perkembangan kaum proletariat perkotaan sebagai konsekuensi dari Revolusi Industri. Di Kerajaan Portugal sendiri, karena rendahnya tingkat industrialisasi, hal ini bukanlah pertanyaan yang penting, namun diperburuk oleh krisis ekonomi dan Partai Republik, yang percaya bahwa jika Republik Portugal terbentuk akan menyelesaikan permasalahan tersebut. Inilah yang menjadi Questão Social (pertanyaan sosial) pada masa itu.
Partai Sosialis telah ada sejak tahun 1875 namun tidak memiliki perwakilan di Parlemen. Hal ini terjadi tidak hanya karena Partai Sosialis tidak populer, namun juga karena Partai Republik telah menjadi pilihan utama atas ketidakpuasan radikal dalam sistem politik. Raja Manuel II membuat beberapa gebrakan yang tidak melanggar batasan konstitusionalnya, namun menciptakan insentif bagi Partai Sosialis untuk mengurangi dukungan mereka terhadap Partai Republik. Pada tahun 1909, Raja Manuel II mengundang sosiolog Perancis, Léon Poinsard, untuk mengkaji lingkungan sosial dan melaporkan kembali kepadanya. Poinsard menulis bahwa satu-satunya cara untuk memerangi klientelisme, yang diciptakan oleh sistem pemerintahan bergilir, adalah dengan melakukan reorganisasi pemerintahan lokal. Dengan antusias, Raja Manuel II menulis kepada Presiden Dewan Menteri Wenceslau de Sousa Pereira de Lima, untuk menyadarkannya akan reorganisasi Partai Sosialis (di bawah pimpinan Alfredo Aquiles Monteverde) dan untuk mengingatkannya akan pentingnya bekerja dengan kaum Sosialis, "...sehingga, kami akan mengosongkan pendukung mereka dari Partai Republik, dan mengarahkan mereka ke kekuatan yang berguna dan produktif."
Meskipun hubungan telah dibuat oleh pemerintahan Artur Alberto de Campos Henriques dengan pemimpin sosialis Azedo Gneco, Venceslau de Lima mempertimbangkan hal ini akan menjadi sulit setelah adanya Congresso Nacional Operário yang diboikot oleh kaum anarkis dan republiken. Dibagian ini, Partai Sosialis dan kaum Sosialis sangat antusias dengan dukungan kerajaan. Aquilles Monteverde kemudian memberitahukan Raja Manuel II tentang gagalnya Kongres Serikat Buruh 1909 namun hanya sedikit yang diformalkan antara kaum sosialis dan pemerintah, meskipun mereka mendukung pekerjaan Poinsard. Pada masa pemerintahan António Teixeira de Sousa, pada bulan Juli 1910, pemerintah membentuk komisi untuk mempelajari pendirian Instituto de Trabalho Nacional ("Institut Pekerjaan Nasional"). Namun, Aquiles Monteverde akan mengeluh bahwa komisi tersebut kekurangan sumber daya untuk menjadi efektif: khususnya anggota tetap dan transportasi tidak terbatas, agar kaum Sosialis dapat mempromosikan propaganda mereka. Manuel II memberitahu pemerintah, melalui Menteri Pekerjaan Umum, bahwa ia setuju dengan pendirian Instituto de Trabalho Nacional, namun pada bulan September, sudah terlambat bagi monarki konstitusional.
Selama bertahta, Manuel II mengunjungi daerah utara Portugal, Spanyol, Prancis dan Britania Raya. Pada saat mengunjungi Britania Raya, Manuel II dianugerahi tanda kehormatan Knight of the Order of the Garter. Ia memupuk kebijakan luar negeri yang dekat dengan Inggris Raya, yang tidak hanya merupakan strategi geopolitik yang dipertahankan ayahnya, tetapi juga memperkuat posisinya di atas takhta dengan memiliki sekutu yang kuat. Pengadilan juga menganggap pernikahan Raja Keluarga Braganza dengan seorang putri Inggris akan menjamin perlindungan Inggris dalam konflik apa pun yang akan datang. Namun, ketidakstabilan negara, pembunuhan Raja dan Pangeran Kerajaan, dan negosiasi berlarut-larut yang berakhir dengan kematian Edward VII, mengakhiri pretensi tersebut. Edward VII, teman pribadi Carlos, akan menjadi pelindung besar Wangsa Braganza, dan tanpa dia, pemerintah liberal Inggris tidak tertarik mempertahankan monarki Portugis.
Revolusi
Stabilitas pemerintahan semakin memburuk dimana sebanyak 7 pemerintahan telah dibentuk dan tumbang hanya dalam waktu 24 bulan. Partai-partai pendukung monarki terpecah sementara Partai Republik semakin mendapatkan dukungan. Pemilihan umum legislatif yang dilaksanakan pada 28 Agustus 1910 telah memilih 14 orang perwakilan (membuat majelis terbagi menjadi :9% republiken, 58% Pemerintahan, 33% oposisi) yang justru semakin meningkatkan pentingnya untuk melakukan sebuah revolusi, namun hal ini menjadi tidak terlalu penting karena Kongres Setúbal (pada tanggal 24-25 April 1909) menetapkan bahwa Partai Republik akan mengambil alih kekuasaan dengan kekerasan[6]. Pembunuhan seorang tokoh republik terkemuka memicu kudeta yang sebenarnya sudah lama direncanakan[7]. Selama hari-hari tersebut, Prior Sardo memohon kepada raja untuk memberikan Gafanha da Nazaré sebuah parish, mendapatkan pengakuan kerajaan, menandai kota terakhir yang menerima pengakuan tersebut. Peristiwa bersejarah ini secara resmi didokumentasikan di Diário do Governo nº 206 pada tanggal 16 September 1910[8].
Antara 4 hingga 5 Oktober 1910, Revolusi Republiken terjadi disepanjang jalan-jalan di Lisboa. Awal mula kudeta dilakukan oleh para tentara dan diikuti oleh beberapa warga dan tentara kota dengan menyerang garnisun lokal dan istana raja. Sementara itu kapal penjelajah NRP Adamastor juga ikut menembakkan senjatanya. Istana Necessidades (kediaman Raja Manuel II) dibombardir yang memaksa Raja Manuel II untuk pindah ke Istana Nasional Mafra dimana dia berkumpul dengan ibunya, Ratu Amélia, dan neneknya, Ibu Suri Maria Pia dari Savoy. Hanya ada sedikit reaksi masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa ini: gambar-gambar dari alun-alun di depan Balai Kota di Lisbon, tempat deklarasi Republik berlangsung, tidak menunjukkan banyaknya massa, dan bahkan beberapa orang di kalangan militer takut bahwa tindakan mereka akan berdampak buruk. tidak menjadi sukses. Salah satu komandan republik, Laksamana Cândido dos Reis, bahkan bunuh diri karena yakin tindakan tersebut tidak berhasil.
Sehari kemudian, kaum republiken berhasil mengambil alih Portugal. Sementara itu Raja Manuel memutuskan untuk bertolak dari Portugal menggunakan kapal kerajaan Amélia IV menuju Porto. Tidak jelas apakah para penasihatnya memotivasi Manuel untuk mengubah niatnya atau apakah dia terpaksa mengubah tujuannya dalam perjalanan[9][10], tetapi Keluarga Kerajaan turun di Gibraltar tak lama kemudian, setelah mereka menerima pemberitahuan bahwa Porto telah jatuh ke tangan Partai Republik. Kudeta selesai, dan Keluarga Kerajaan berangkat ke pengasingan[11], tiba di Britania Raya, di mana ia diterima oleh Raja George V.
Mengasingkan diri
Saat berada di pengasingan, Manuel tinggal di Taman Fulwell, Twickenham, London (tempat ibunya dilahirkan). Di Taman Fulwell, Manuel II mencoba membentuk kembali suasana lingkungan Portugis-nya sekaligus berusaha untuk mengambil kembali tahtanya. Manuel II juga aktif mengikuti kegiatan masyarakat seperti menghadiri misa mingguan di Gereja St. James, Twickenham dan menjadi ayah baptis dari beberapa anak[12]. Pada tahun 1932, Manuel II mendonasikan sebuah jendela yang berukirkan logo Wangsa Braganza dan gambar St. Antonius ke Gereja St. James untuk merayakan 700 tahun kematian St. Antonius[13]. Pengaruhnya juga berdampak dengan adanya sejumlah perubahan nama tempat dan jalan menggunakan namanya di wilayah itu seperti : Jalan Manuel, Jalan Lisboa dan Taman Portugal. Disamping itu, Manuel II juga tetap mengikuti peristiwa-peristiwa yang ada di Portugal dan khawatir dengan anarkisme yang terjadi di Portugal karena takut akan memancing sebuah intervensi dari Spanyol yang akan membahayakan kemerdekaan dari Portugal itu sendiri.
Ada satu kasus di mana intervensi langsung mantan Raja memiliki efek. Setelah pemerintahan Gomes da Costa digulingkan oleh Jenderal Óscar Fragoso Carmona pada tahun 1926, Costa diangkat menjadi Duta Besar untuk London. Mengingat cepatnya pergantian duta besar selama periode ini, pemerintah Inggris menolak mengakui kredensial pejabat baru tersebut. Saat Duta Besar sedang merundingkan likuidasi utang Portugis kepada Inggris, Menteri Luar Negeri meminta Manuel untuk meluruskan situasi. Mantan raja itu senang dengan kesempatan untuk membantu tanah airnya dan berkomunikasi dengan banyak kontak Inggrisnya (termasuk, mungkin, Raja George V) untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Bahkan di pengasingan, Manuel tetap menjadi seorang patriot, bahkan menyatakan dalam wasiatnya pada tahun 1915 niatnya untuk memindahkan harta miliknya ke Negara Portugis untuk pembuatan museum, dan menunjukkan niatnya untuk dimakamkan di Portugal jika ia wafat.
Perang Dunia I
Manuel II membela masuknya Portugal ke dalam Perang Dunia I dan partisipasi aktifnya. Dia meminta kaum monarki untuk menghentikan upaya restorasi monarki selama perang masih berlangsung. Dia bahkan bertemu dengan kaum republiken dan pernah meminta keterlibatannya dalam tentara Portugis. Namun, bertentangan dengan harapannya, mayoritas pendukung monarki tidak menuruti permintaan kerja samanya. Banyak di antara mereka yang mendukung aspirasi Jerman, dan berharap kemenangan Jerman bisa menjadi jalan lain untuk memulihkan monarki. Manuel percaya bahwa mendukung Inggris Raya akan menjamin terpeliharanya koloni-koloni di luar negeri, yang akan hilang akibat agresi Jerman bahkan jika Jerman didukung dalam konflik tersebut. Dari bawahan dekatnya yang menawarkan dukungannya kepada Republik, tidak ada yang diterima.
Manuel berusaha untuk membuat dirinya ada bagi Sekutu, di mana pun ia ditempatkan, tetapi kecewa ketika dia ditugaskan di pos di Palang Merah Inggris. Dia secara khas mengerahkan seluruh upayanya untuk peran tersebut, berpartisipasi dalam konferensi-konferensi, penggalangan dana, kunjungan ke rumah sakit dan tentara yang terluka di garis depan, yang pada akhirnya memberinya banyak kepuasan. Kunjungan ke garis depan merupakan hal yang sulit bagi pemerintah Prancis, tetapi persahabatannya dengan George V sudah cukup untuk meredakan kekhawatiran mereka. Terlepas dari itu, sebagian besar usahanya tidak dihargai; bertahun-tahun kemudian, dalam sebuah wawancara dengan António Ferro, dia mengeluh, "Ruang operasi di Rumah Sakit Portugis di Paris, selama Perang, dibangun oleh saya. Tahukah Anda apa yang mereka tulis di plakat itu? 'Dari Orang Portugis di London' [14]." Raja juga bertanggung jawab atas pembentukan Departemen Ortopedi di Rumah Sakit Shepherd's Bush yang, atas desakannya, terus berfungsi hingga tahun 1925, untuk terus menangani dampak buruk perang. Bukti pengakuannya oleh Inggris adalah oleh temannya Raja George V, yang mengundangnya untuk bersama Raja saat perayaan kemenangan pada parade tentara pada tahun 1919.
Kehidupan Pribadi
Selama kunjungan ke Paris pada bulan Juli 1909, Manuel II bertemu dengan Gaby Deslys, seorang aktris dan penari. Mereka pun mulai berhubungan yang berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Manuel II[15]. Selama berhubungan, Manuel II mengirimkan sebuah kalung mutiara seharga 70.000 dolar AS, termasuk sebuah kalung berlian dengan tetesan mutiara hitam putih dengan pita platinum. Hubungan mereka sama sekali tidak dirahasiakan (dia akan tiba sebelum malam di Palácio das Necessidades dan melewati Portugal tanpa disadari); Sementara itu, di luar negeri, berita-berita tersebut dimuat di halaman depan surat kabar di Eropa dan Amerika Utara, terutama setelah ia digulingkan. Dalam wawancara publik, biasanya dalam perjalanan, Gaby Deslys tidak pernah menyangkal hal yang sudah jelas, tetapi selalu menolak mengomentari hubungannya dengan Raja. Setelah pengasingannya, mereka terus bertemu, terutama saat dia tampil di panggung di London. Ketika Gaby pindah ke New York, pada musim panas 1911, hubungan mereka kandas.
Pada musim panas 1912, Manuel II berkunjung ke Swiss dan bertemu dengan Putri Augusta Victoria dari Hohenzollern yang merupakan cucu dari William, Pangeran Hohenzollern. Mereka adalah sepupu jauh, keduanya merupakan cicit Maria II. Pada tahun berikutnya, pada 4 September 1913, Manuel menikah dengan Augusta Victoria. Dalam misa yang dirayakan di Kapel Kastil Sigmaringen, Manuel, yang mengenakan medali Ordo Garter dan ikat pinggang Tiga Ordo Portugis, berdiri di atas peti berisi tanah yang dibawa dari Portugal. Upacara pernikahan mereka dipimpin oleh Kardinal José Sebastião de Almeida Neto, Patriark Lisboa, yang kemudian diasingkan di Sevilla, yang telah membaptis Manuel sebagai seorang pangeran muda; Manuel juga dibantu oleh Pangeran Wales (Edward VIII) dan Raja Alfonso XIII dari Spanyol, serta perwakilan keluarga kerajaan Eropa (termasuk Spanyol, Jerman, Italia, Prancis dan Rumania, selain kerajaan dan kerajaan Jerman. ). Setelah pesta pernikahan yang berlangsung selama dua hari, pasangan itu melanjutkan bulan madu mereka ke Munich, di mana sang Putri jatuh sakit dan menarik diri dari masyarakat. Pernikahan tersebut berlangsung sampai kematian mantan Raja; Manuel II dan Augusta Victoria tidak memiliki anak.
Daftar Referensi
^ ab"While remaining patrilineal dynasts of the duchy of Saxe-Coburg and Gotha according to pp. 88, 116 of the 1944 Almanach de Gotha, Title 1, Chapter 1, Article 5 of the 1838 Portuguese constitution declared, with respect to Ferdinand II of Portugal's issue by his first wife, that 'the Most Serene House of Braganza is the reigning house of Portugal and continues through the Person of the Lady Queen Maria II'. Thus their mutual descendants constitute the Coburg line of the House of Braganza"
^The second child was Maria Ana, who died shortly after her birth.
^"While remaining patrilineal dynasts of the duchy of Saxe-Coburg and Gotha according to pp. 88, 116 of the 1944 Almanach de Gotha, Title 1, Chapter 1, Article 5 of the 1838 Portuguese constitution declared, with respect to Ferdinand II of Portugal's issue by his first wife, that 'the Most Serene House of Braganza is the reigning house of Portugal and continues through the Person of the Lady Queen Maria II'. Thus their mutual descendants constitute the Coburg line of the House of Braganza"
^In the annual Beija-mão Real ("Kiss the Royal Hand") ceremony, on 1 January, he declined to have the attending dignitaries kiss his hand; (Eduardo Nobre, 2002)
^Both Manuel and his mother were convinced that King Carlos had compromised himself by intervening openly in politics. With this in mind, Manuel preferred to keep aside, and tried not to be compromised with the leaders of the parties.
^Proença, Maria Cândida, 2006, "D. Manuel II" – Colecção "Reis de Portugal", Lisboa, Círculo de Leitores, p. 100
^Rezende, João Vieira (1936). Monografia da Gafanha (dalam bahasa Portugis). Ílhavo: Gráfica Ilhavense.
^Commander Castelo Branco had warned the King that it was dangerous to take such a route.
^Fernando Honrado, Da Ericeira a Gibraltar vai um Rei, Lisboa, Acontecimento, 1993, pp. 91–93
^The Marquês de Soveral had already suggested that King George V send an escort to Gibraltar to protect the Royal Family. In response, the British government suggested that the personal yacht Victoria and Albert should be sent in order not to create tensions with the republican government in Lisbon.