Luo Yixiu[a] (Hanzi sederhana: 罗一秀; Hanzi tradisional: 羅一秀; Pinyin: Luó Yīxiù; 20 Oktober 1889 – 11 Februari 1910) adalah perempuan Tionghoa dari suku Han yang menjadi istri pertama pemimpin politik dan revolusi Tiongkok, Mao Zedong. Keduanya berumah tangga sejak tahun 1908 sampai Luo tutup usia pada tahun 1910. Karena berasal dari daerah sekitar Shaoshan, Hunan, wilayah Tengah Selatan Tiongkok (yang juga merupakan daerah asal Mao), keluarga Luo tergolong miskin.
Kebanyakan informasi yang diketahui tentang pernikahan mereka dituturkan oleh Mao kepada wartawan Amerika Edgar Snow pada tahun 1936, yang tercatat dalam buku karya Snow yang berjudul Red Star Over China. Menurut Mao, ia dan Luo Yixiu dijodohkan oleh ayah mereka masing-masing, Mao Yichang dan Luo Helou. Luo berusia delapan belas tahun, sementara Mao berusia empat belas tahun pada saat bertunangan. Meskipun mau menjalani upacara perkawinan, Mao mengaku tidak rela dikawinkan dengan Luo, bahkan ia tidak pernah menggauli Luo, dan menolak hidup seatap dengannya. Dengan menanggung malu di masyarakat, Luo hidup bersama orang tua Mao selama dua tahun, sampai wafat akibat disentri, sementara Mao meninggalkan desanya, menuntut ilmu ke tempat lain, dan kemudian hari menjadi salah seorang pendiri Partai Komunis Tiongkok. Berbagai biografer mengemukakan bahwa pengalaman berumah tangga dengan Luo inilah yang membuat Mao menjadi tokoh penentang adat perjodohan dan tokoh pembela hak-hak kaum perempuan. Seumur hidupnya Mao telah mengawini tiga perempuan selain Luo, yakni dengan Yang Kaihui, He Zizhen, dan Jiang Qing. Istri terakhirnyalah yang dikenal sebagai Nyonya Mao.
Latar belakang keluarga
Lahir pada 20 Oktober 1889, Luo Yixiu adalah anak perempuan pertama Luo Helou (罗合楼; 1871–1943), seorang shenshi (绅士) atau cendekiawan di desanya yang mencari nafkah sebagai petani, dan istrinya (1869–1912) yang bermarga Mao dan merupakan bibi jauhnya Mao Zedong.[9][b] Meskipun sejarawan Lee Feigon menyatakan bahwa keluarga Luo memiliki pengaruh di daerah tempat tinggal mereka,[8] biografer Mao, Alexander V. Pantsov dan Steven I. Levine, menyatakan bahwa mereka adalah keluarga yang miskin.[11] Luo Helou dan istrinya memiliki lima putra dan lima putri, tetapi tujuh di antaranya telah meninggal dan hanya menyisakan tiga putri. Ketiadaan anak laki-laki dewasa dari pasangan tersebut menurunkan status sosial mereka, karena dalam masyarakat Tionghoa pada waktu itu, hanya anak laki-laki yang dapat melanjutkan garis silsilah keluarganya.[12]
Pernikahan
Persiapan
Mao Yichang (kiri) menyelenggarakan pernikahan putra sulungnya, Mao Zedong (kanan).
Mao Zedong lahir dan dibesarkan di tanah pertanian ayahnya di Shaoshanchong, sebuah desa kecil yang dinamai berdasarkan Pegunungan Shaosan yang terletak di dekatnya.[13] Ayahnya yang tegas, Mao Yichang, memutuskan untuk mengatasi tingkah Mao Zedong yang suka memberontak dengan cara yang lazim pada masa itu, yaitu dengan menjodohkannya secara paksa agar ia dapat bersungguh-sungguh dalam mengurus keluarga.[14] Yichang juga menginginkan adanya seorang menantu untuk membantu istrinya, Wen Qimei, yang kesehatannya menurun setelah bertahun-tahun bekerja keras sebagai petani.[12] Ia memilih Luo Yixiu pada akhir 1907 atau 1908.[11]Hubungan kekerabatannya dengan keluarga Mao kemungkinan berperan dalam penjodohan tersebut, karena keempat saudara ibu Luo Yixiu, yang bermarga Mao, tinggal hanya sekitar dua li (satu kilometer) dari rumah Mao Yichang di Shaoshanchong.[10] Dengan mengikuti tata cara tradisional, seorang comblang dikirim ke rumah keluarga Luo. Keluarga pengantin tidak dapat langsung menerima lamaran tersebut karena hal tersebut dianggap tidak patut pada masa tersebut, sehingga proses perjodohannya berlangsung lama.[12] Luo Helou senang karena dapat menikahkan putri sulungnya.[12] Pada akhirnya, kedua keluarga tersebut saling bertukar hadiah dan menandatangani akta nikah yang dianggap tidak dapat dilanggar.[12]
Mao Zedong pertama kali bertemu dengan Luo Yixiu pada hari saat akta nikah ditandatangani.[12] Cucu Mao Zedong, Kong Dongmei, menyatakan bahwa Mao tak senang dengan jodoh pilihan ayahnya dan lebih menyukai sepupunya, Wang Shigu. Namun, rencana menikahi Wang tidak seia sekata dengan seorang peramal setempat karena ramalan perjodohan mereka tidak cocok.[12] Meskipun tidak suka dengan perjodohan yang direncanakan ayahnya, Mao bersedia menikahi Luo.[12] Pada waktu itu, Mao berusia empat belas tahun, sedangkan Luo secara keliru dinyatakan berusia dua puluh tahun oleh Edgar Snow;[15] kesalahan ini kemudian dibenarkan oleh penulis biografi Mao Ross Terrill dan Philip Short.[16] Sementara itu, Jung Chang dan Jon Halliday serta Alexander V. Pantsov dan Steven I. Levine menyatakan bahwa Luo berusia delapan belas tahun saat menikah.[17]
Perkawinan
Perkawinan Mao dengan Luo diadakan pada tahun 1908.[2] Menurut sejumlah biografer Mao, upacara tersebut diadakan menurut tata adat pedesaan Hunan. Oleh sebab itu, kemungkinan perkawinan itu diawali dengan sebuah pesta di rumah mempelai laki-laki sehari sebelum upacara berlangsung; pesta tersebut dihadiri oleh teman dan kerabat. Keesokan harinya, mempelai perempuan dipakaikan busana merah dengan wajah yang ditutupi kain merah, lalu diusung menggunakan tandu merah ke rumah keluarga mempelai laki-laki. Di sana, kain penutup wajahnya dibuka, dan mempelai perempuan diharapkan menunjukkan perasaan tidak senang atau tidak puas terhadap mempelai laki-laki dengan menghinanya secara terang-terangan.[18] Menurut tradisi, penyulutan kembang api juga dilakukan. Sesudah itu, mempelai laki-laki dan perempuan melakukan kowtow (sujud, membungkuk) kepada para tamu, lalu di depan altar leluhur mempelai laki-laki, kepada para dewa-dewi, dan kepada satu sama lain.[19]
Jika adat Hunan benar-benar diikuti secara menyeluruh, perjamuan nikah dapat berlanjut selama dua hari. Dalam acara tersebut, para tamu memberikan hadiah (biasanya uang) kepada pengantin baru.[12] Puncak acara pernikahan tersebut ialah ketika para tamu memasuki kamar pengantin. Di sana mereka akan membuat berbagai kode-kode yang bersifat seksual, dipimpin oleh seseorang yang wajahnya dihitamkan.[20] Dalam tradisi pedesaan Tiongkok, mempelai perempuan diharapkan dapat menunjukan noda darah pada kain kasur yang dipakai saat malam perkawinannya untuk membuktikan bahwa selaput daranya telah dijebol saat berhubungan seksual, pertanda bahwa ia menikah dalam keadaan masih perawan.[20]
Kehidupan pernikahan
Menurut keterangan yang ia tuturkan kepada Snow, Mao menolak untuk tinggal dengan istrinya dan mengaku bahwa mereka tidak pernah berhubungan seks.[21] Tak lama setelah menikah, ia melarikan diri dari rumah untuk tinggal dengan seorang pelajar pengangguran di Shaoshan.[22] Di sana, ia mengisi waktu dengan membaca, kebanyakan yang dibaca merupakan karya-karya sejarah seperti Catatan Sejarawan Agung karya Sima Qian dan Sejarah Bekas Dinasti Han karya Ban Gu dan traktat-traktat politik seperti Protes-Protes Pribadi dari Pembelajaran Jiao Bin karya Feng Guifen.[22]
Karena telah menjadi anggota keluarga Mao, Luo tinggal bersama kedua mertuanya, Mao Yichang dan Wen Qimei. Namun, ia digunjingkan oleh masyarakat karena kepergian suaminya; beberapa warga menganggapnya sebagai gundik Yichang.[22] Luo Yixiu meninggal karena disentri pada 11 Februari 1910, sehari setelah Tahun Baru Imlek.[23] Setelah Mao Zedong kembali ke rumah, ayahnya memaafkan pembangkangannya, dan pada musim gugur tahun 1910 bersedia membiayai pendidikannya di Sekolah Dasar Tinggi Dongshan, sehingga Mao meninggalkan Shaoshanchong.[24] Pada tahun 1936, saat Mao berkata kepada Snow, "Saya tidak menganggapnya sebagai istri",[15] ia sama sekali tidak bercerita tentang kematian Luo.[2] Makam Luo Yixiu berada di sebuah gunung yang menghadap bekas tempat tinggal Mao Zedong di Shaoshanchong, beberapa langkah dari makam orangtuanya.[25]
Peristiwa setelahnya
Ketika Mao Zedong kembali ke Shaoshan pada 1925 untuk mengurusi sebuah gerakan petani lokal, ia mengunjungi para kerabat Luo Yixiu, termasuk Luo Helou, dan keponakannya, Luo Shiquan (罗石泉). Luo Shiquan masuk Partai Komunis pada musim dingin tahun itu dan tetap menjadi seorang aktivis petani hingga revolusi 1949.[26] Karena Luo Yixiu meninggal tanpa keturunan, ketika keturunan Mao memperbarui buku silsilah pada tahun 1941, Mao Anlong (毛岸龙, putra ketiga Mao Zedong dari istri keduanya Yang Kaihui) dimasukkan sebagai keturunan Luo.[25] Pada tahun 1950, Mao mengutus putra sulungnya, Mao Anying, ke Shaoshan dan menyuruhnya untuk mengunjungi Luo Shiquan.[27] Mao juga tetap menjalin kontak dengan dua pria yang menikahi saudari-saudari Luo Yixiu, dan bertemu dengan salah satu dari mereka ketika ia kembali ke Shaoshan pada tahun 1959, setelah meninggalkannya sejak tahun 1920-an.[28]
Pengaruh terhadap Mao
Dalam Mao: A Reinterpretation, sejarawan Amerika Lee Feigon menyatakan bahwa pengalaman Mao tentang perjodohan telah memberinya inspirasi untuk menjadi pembela hak asasi perempuan pada akhir 1910-an, ketika ia mulai menulis artikel-artikel untuk pers sayap kiri yang mengkritik sistem kekeluargaan tradisional Tionghoa, dan berpendapat bahwa cinta harus menjadi penentu utama dalam pernikahan ketimbang kehendak keluarga atau masyarakat.[8] Sebelumnya, keterangan semacam ini pernah diungkapkan oleh jurnalis dan sinolog, Clare Hollingworth.[29] Senada dengan keterangan ini, Jung Chang dan Jon Halliday menyatakan dalam buku biografi Mao: The Unknown Story bahwa pengalaman menikah dengan Luo telah membuat Mao menjadi seorang "penentang keras" perjodohan.[2]
Setelah pernikahannya dengan Luo, Mao menikah dengan tiga wanita lain: Yang Kaihui pada Desember 1920, He Zizhen pada Mei 1928, dan Jiang Qing pada November 1939.[30]
Catatan
^Para penulis biografi menyebut nama istri pertama Mao secara berbeda-beda. Dalam biografi Mao yang terbit 1999, Philip Short menyebutnya "Nona Luo",[1] sementara dalam biografi tahun 2005, Jung Chang dan Jon Halliday menyebutnya "perempuan bermarga Luo".[2] Namanya tertulis "Luo Yixiu" di dalam sejumlah artikel enskilopedia tentang Mao, sebagaimana dicatat Yuen Ting Lee,[3] dan James Z. Gao.[4] Selain itu, Alexander V. Pantsov dan Stephen I. Levine mengemukakan pada tahun 2012, bahwa namanya adalah "Luo Yigu", artinya "anak perempuan pertama", kendati alasannya tidak dijabarkan.[5] Beberapa biografer lain, seperti Ross Terrill,[6] Clare Hollingworth,[7] dan Lee Feigon,[8] tidak menyebutkan namanya.
^Ibu Luo Yixiu adalah putri sulung Mao Yongtang (毛咏堂; 1846–1903). Buku silsilah Mao menyatakan bahwa Mao Yongtang berada dalam garis keturunan yang sama dengan kakek buyut Mao Zedong, tapi Yongtang berada dalam generasi sosial yang sama dengan Mao Enpu (毛恩普), kakek Mao Zedong.[10]
Gao, James Z. (2009). "Mao Zedong (1893–1976)". Historical Dictionary of Modern China (1800–1949). James Z. Gao (editor). Lanham: Scarecrow Press, Inc. hlm. 227–230. ISBN978-0-8108-6308-8.