Ia pertama kali mendapat sorotan ketika menentang kegiatan polisi memata-matai Muslimin Amerika Serikat, dan setelah itu terlibat dalam banyak isu hak-hak sipil di AS seperti kebrutalan polisi, feminisme, kebijakan imigrasi, dan isu pemenjaraan di AS. Ia juga terlibat dalam demonstrasi gerakan Black Lives Matter yang memprotes kekerasan dan rasisme terhadap penduduk berkulit hitam. Sehari setelah dilantiknya Presiden AS Donald Trump pada Januari 2017, ia dan beberapa rekannya memimpin "Pawai Perempuan" untuk mempromosikan hak-hak wanita dan memprotes tindakan-tindakan Trump. Saat Trump mencoba menerapkan larangan masuk terhadap pendatang dari negara Muslim, Sarsour ikut menentangnya dan menjadi penggugat utama dalam sebuah perkara hukum menentang legalitas tindakan ini. Aktivisme politiknya telah mendapat pujian dari sebagian kalangan liberal dan progresif di AS, sementara posisi dan komentarnya dalam isu Israel-Palestina ditentang sebagian kalangan konservatif dan Yahudi Amerika Serikat. Sarsour yang berasal dari keluarga keturunan Palestina aktif menjadi pendukung bangsa Palestina di daerah yang diduduki Israel, mengkritik Zionisme, dan mendukung kampanye Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) terhadap Israel.
Sarsour mulai terjun menjadi aktivis politik pada 2001, setelah Serangan 11 September di New York, AS, saat ia mengadvokasikan hak-hak sipilMuslim di Amerika Serikat.[3][5] Tak lama sebelum serangan tersebut, Basemah Atweh, kerabat Sarsour dan pendiri Asosiasi Arab Amerika New York, memintanya untuk bergabung menjadi sukarelawan di organisasi tersebut.[1] Atweh, yang memiliki peran politik besar (tak umum di kalangan wanita Muslimah setempat), menjadi mentor bagi Sarsour.[4]
Saat Sarsour dan Atweh pulang dari acara pembukaan Museum Nasional Arab Amerika di Dearborn, Michigan, mobil mereka ditabrak sebuah truk semi-trailer. Atweh tewas akibat luka yang dideritanya, dan dua penumpang lain menderita patah tulang. Sarsour, yang mengendarai mobil pada saat itu, tidak terluka serius.[1][4] Ia langsung kembali bekerja, mengatakan bahwa pekerjaanlah tempat yang diinginkan Atweh untuknya.[1] Ia lalu terpilih menggantikan Atweh sebagai direktur eksekutif Asosiasi Arab Amerika New York. Saat itu ia berumur 25 tahun. Dalam beberapa tahun berikutnya, ia mengembangkan organisasi tersebut, dan anggaran organisasi itu meningkat dari $50.000 menjadi $700.000 per tahun.[1][4]
Sarsour mulai mendapat banyak sorotan ketika menentang tindakan polisi memata-matai kalangan Muslimin di AS.[3][5][6] Sebagai direktur Asosiasi Arab Amerika New York, ia mendorong disahkannya undang-undang daerah Community Safety Act di New York, yang mendirikan sebuah biro terpisah untuk meninjau kebijakan polisi dan memperluas cakupan definisi bias-based profiling di New York. Ia dan organisasinya mendukung undang-undang ini setelah meliha tindakan oleh polisi setempat yang mereka anggap tidak adil. Undang-undang ini berhasil disahkan walaupun ditentang Wali kota Michael Bloomberg dan Kepala Polisi Raymond W. Kelly.[4] Sarsour juga berperan dalam sebuah kampanye yang berhasil melobi pemerintah untuk meliburkan sekolah negeri di Kota New York pada hari Idul Adha dan Idul Fitri sejak 2015.[3][7]
Menurut artikel New York Times pada tahun 2017, Sarsour telah bergelut dengan isu seperti kebijakan imigrasi, pemenjaraan massal, kebijakan penggeledahan di New York, dan operasi New York City Police Department (NYPD) memata-matai kalangan Muslim, sehinga ia "menjadi terbiasa menghadapi kritik-kritik berbau kebencian".[8]
Black Lives Matter
Setelah penembakan terhadap Michael Brown di Ferguson, Missouri, Sarsour turut serta mengorganisir demonstrasi Black Lives Matter ("Nyawa Orang Hitam Itu Penting", sebuah gerakan yang memprotes kekerasan dan rasisme terhadap kaum berkulit hitam). Sarsour ikut membentuk kelompok Muslims for Ferguson ("Muslimin untuk Ferguson") dan bersama aktivis-aktivis lain mengunjungi kota tersebut pada 2014.[4][9] Sejak peristiwa ini, ia banyak bekerja bersama Black Lives Matter (BLM).[3][10] Ia banyak menghadiri demonstrasi BLM serta sering muncul di televisi menjadi narasumber tentang feminisme.[5]
Keterlibatan partai politik
Sarsour adalah anggota gerakan Sosialis Demokrat Amerika.[11] Pada 2016, ia mencalonkan diri sebagai anggota Komite tingkat CountyPartai Demokrat di Kings County, New York.[12] Ia tidak terpilih dan mendapat posisi ketiga.[13] Ia beberapa kali membicarakan aktivismenya dalam konteks membangun gerakan progresif di AS,[14] dan telah dipuji berbagai politisi dan aktivis kelompok liberal.[15] Pada 2012, di masa kepresidenan Barack Obama, Gedung Putih memberikan penghargaan Champion of Change (Jawara Perubahan) kepada Sarsour.[3][5] Pada kampanye pemilihan presiden 2016, ia ikut berkampanye untuk Senator Bernie Sanders, bakal calon presiden dari Partai Demokrat.[15][16]
Memimpin Pawai Perempuan
Pawai Perempuan 2017
Women's March atau Pawai Perempuan 2017 diadakan pada 21 Februari, sehari setelah pelantikan Donald Trump. Teresa Shook dan Bob Bland, pemrakarsa acara tersebut, merekrut Sarsour sebagai salah satu ketua acara tersebut.[17] Menurut Taylor Gee yang menulis untuk Politico, pada saat itu Sarsour telah dikenal sebagai "wajah resistansi" kontroversial terhadap Trump, dan menambahkan bahwa "untuk Sarsour, terpilihnya Trump terjadi setelah bertahun-tahun Sarsour membela orang-orang yang menjadi target kebencian Trump—bukan hanya wanita, tapi Muslim, imigran, dan orang berkulit hitam di Amerika. Hubungan Sarsour dengan para aktivis di seantero negeri ini membantunya dalam membangkitkan berbagai kelompok pada masa-masa penuh kelinglungan setelah pemilihan umum tersebut".[18] Sarsour aktif menentang kebijakan Trump melarang pendatang dari beberapa negara Muslim, dan menjadi penggugat utama dalam perkara hukum yang diajukan Council on American–Islamic Relations (CAIR) terhadap kebijakan tersebut.[3] Dalam gugatan tersebut (dinamakan Sarsour v. Trump), para penggugat berargumen bahwa kebijakan pelarangan ini harus dibatalkan karena dilakukan semata-mata untuk mencegah datangnya orang Muslim ke Amerika Serikat.[19]
Sarsour menjadi target kebencian kelompolk sayap kanan dan konservatif di Amerika Serikat setelah keterlibatannya dalam Pawai Perempuan ini. Melissa Harris-Perry menulis bahwa Sarsour menjadi "target perkataan kasar yang paling konsisten" di antara para pemimpin Pawai Perempuan selama setahun setelah pawai tersebut.[20] Sarsour menjadi target banyak ancaman kekerasan di media sosial[3][21][22] maupun diserang secara pribadi di media-media konservatif. Serangan pribadi ini termasuk berita palsu bahwa ia mendukung ISIS dan berusaha menerapkan hukum syariah di Amerika Serikat.[3][5][16] Sarsour berkomentar bahwa walaupun perannya dalam Pawai Perempuan merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam kariernya, serangan media yang terjadi setelah itu membuatnya khawatir akan keselamatan pribadinya.[5] Namun, ia didukung beberapa pihak, termasuk Senator Bernie Sanders, maupun Sharon Brous dari National Council of Jewish Women (rekan Sarsour dalam mengorganisir Pawai Perempuan), yang menggunakan tagarTwitter#IMarchWithLinda.[16][23] Sarsour bersama tiga pemimpin Pawai Perempuan lainnya, masuk ke dalam 100 orang paling berpengaruh tahun 2017.[15][24]
Pada sebuah pidato di hadapan kelompok Muslim Islamic Society of North America tahun yang sama, Sarsour berujar bahwa masyarakat harus menentang Trump yang ia anggap sebagai pemerintah yang zalim. Ia menyebutnya bagian dari jihad, mengaitkannya dengan sebuah hadis dari Muhammad bahwa "jihad yang paling utama adalah perkataan yang benar kepada penguasa yang zalim."[22][31] Beberapa komentator dan media konservatif menuduhnya menghasut kekerasan terhadap Trump dengan menggunakan kata "jihad". Sarsour dan komentator lainnya menolak penafsiran ini, merujuk pada komitmennya terhadap aktivisme non-kekerasan dan bahwa kata "jihad" tidak harus berarti mengandung kekerasan. Sarsour juga berkomentar bahwa ia bukan tipe orang yang ingin mengajak penggunaan kekerasan terhadap Presiden Trump.[22][32] Sarsour menulis dalam sebuah kolom opini Washington Post bahwa istilah "jihad" telah disalahgunakan baik oleh kalangan sayap kanan di Amerika Serikat maupun oleh para ekstrimis Muslim, dan menurutnya istilah jihad dalam konteks yang ia gunakan adalah "tepat walaupun sering disalahartikan"."[33][34] Reaksi media sosial juga beragam, ada yang mengkritik pengunaan istilah "jihad" karena khalayak umum banyak yang mengaitkannya dengan kekerasan, tetapi ada juga yang membela penggunaan kata tersebut oleh Sarsour.[22]
Pawai Perempuan 2019
Pada September 2018, Sarsour mengumumkan bahwa ia akan memimpin Pawai Perempuan 2019 di Washington bersama Tamika Mallory, Bob Bland, dan Carmen Perez.[35] Pada 2018, Sarsour dan Mallory menjadi fokus kontroversi karena dianggap tidak tegas mengecam Louis Farrakhan, pemimpin Nation of Islam yang retorikanya dianggap bersifat antisemitis dan homofob oleh organisasi seperti Southern Poverty Law Center dan Anti Defamation League.[36] Terdapat pula tuduhan bahwa para pemimpin Pawai Perempuan telah mengabaikan kaum wanita Yahudi. Pada November 2018, Teresa Shook, salah satu pendiri Pawai Perempuan, mendesak agar para pemimpin Pawai Perempuan mengundurkan diri, dan menuduh mereka "membiarkan sentimen antisemitisme, anti-LGBTQIA, dan retorika rasis dan penuh kebencian menjadi bagian dari platform ini melalui penolakan mereka untuk memisahkan dirinya dari kelompok-kelompok yang mengusung kepercayaan rasis dan penuh kebancian tersebut."[37]
Sarsour awalnya balik mengkritisi Shook, dan menyebutkan bahwa ia diserang karena dukungannya terhadap gerakan BDS melawan Israel dan bahwa Mallory diserang karena ia adalah seorang wanita berkulit hitam. Namun, kelak Sarsour meminta maaf kepada para pendukung gerakan tersebut, dan mengatakan bahwa ia dan rekan-rekannya menyesal telah kurang sigap dalam menegaskan komitmen mereka melawan antisemitisme. Ia juga meminta maaf kepada anggota Pawai Perempuan dari golongan Yahudi dan LGBTQ, berjanji bahwa ia menghargai mereka dan akan "berjuang" demi mereka.[38][39] Kontroversi ini, serta tuduhan antisemitisme terhadap pimpinan Pawai Perempuan dianggap sebagai salah satu penyebab anjloknya jumlah peserta Pawai Perempuan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.[40]
Posisi dalam konflik Israel-Palestina
Koran Israel Haaretz menyebut Sarsour sebagai salah satu wanita Palestina-Amerika yang paling terkenal karena aktivitasnya membela bangsa Palestina di daerah yang diduduki Israel,[41] dan karena kritiknya terhadap pemerintah Israel maupun terhadap Zionisme.[42] Sarsour menyatakan bahwa ia mendukung solusi satu negara (pembentukan satu negara yang mencakup seluruh bangsa Israel dan Palestina), mendukung hak Israel untuk berdiri sebagai sebuah negara, dan tidak mendukung Hamas maupun Otoritas Palestina.[2][43] Ia membantah klaim yang beredar di media sosial dan situs-situs konservatif bahwa ia memiliki hubungan dengan Hamas,[5][41] dan menyebutnya "berita palsu".[5] Sarsour menyatakan bahwa memang ada kerabat jauhnya di wilayah pendudukan Israel yang ditangkap dan dipenjara akibat tuduhan mendukung Hamas,[5][44] tetapi ia sendiri membantah memiliki kontak dengan kelompok Muslim radikal apapun.[44] Ia berujar bahwa ia ingin bangsa Israel dan bangsa Palestina hidup bersama-sama dengan damai dan adil.[2] Di sisi lain, menurut Brooklyn Eagle, dukungan Sarsour terhadap kampanye presiden Bernie Sanders (seorang Yahudi), pandangannya mengenai hak Israel untuk berdiri, dan hubungannya dengan wali kota Bill de Blasio telah memancing kritik dari beberapa kelompok Islamis.[45]
Sarsour mengatakan pada Haaretz bahwa ia adalah, dan akan terus menjadi seorang pengkritik Israel dan sepenuhnya mendukung kampanye BDS.[16] Sunaina Maira menyebut dukungan Sarsour terhadap BDS sebagai salah satu unsur politik feminisnya.[46] Dalam satu wawancara bersama The Nation di bulan Maret 2017, Sarsour berpendapat bahwa siapapun yang mendukung dan tak mengkritisi negara Israel mana bisa menjadi bagian dari gerakan feminis; ia memercayai orang-orang yang seperti begitu akan abai soal hak-hak wanita Palestina.[47]
Posisi yang diambil Sarsour, termasuk dukungannya terhadap BDS, menjadi target kritikan kelompok konservatif AS,s[8][48][43] kalangan pro-Israel dalam Partai Demokrat,[18] dan juga sejumlah aktivis Zionis.[8][49][a] Media Britania Raya The Guardian menulis bahwa Sarsour "sering menjadi target organisasi-organisasi lobi pro-Israel." Menurut investigasi Haaretz, sebuah perusahaan detektif swasta Israel memata-matai Sarsour dan keluarganya dengan tujuan menggali informasi yang dapat merusak reputasinya. Perusahaan ini menyusun sebuah dossier atau laporan yang diberikan kepada kelompok pro-Israel Act.IL, yang menggunakannya sebagai bahan untuk mendesak kampus-kampus AS agar tidak mendatangkan Sarsour sebagai pembicara.[51][52]
Sarsour sendiri telah bekerja sama dengan kelompok Yahudi sayap kiri, seperti Jewish Voice For Peace dan Jews for Racial and Economic Justice. Namun, menurut Haaretz, organisasi Yahudi aliran utama sering menjaga jarak dengan Sarsour akibat sikapnya yang mengkritik Israel dan mendukung BDS.[16] Menurut kantor berita Yahudi Jewish Telegraphic Agency, kaum Yahudi golongan progresif dapat mengabaikan sikap anti-Zionis Sarsour sementara kalangan sayap kanan maupun tengah tidak.[15] Dua direktur Anti-Defamation League (ADL, sebuah LSM Yahudi AS), maupun presiden Zionist Organization of America, telah mengkritik sikap Sarsour terhadap Israel; Direktur ADL Jonathan Greenblatt, menyebut dukungan Sarsour terhadap BDS telah menginspirasi dan meningkatkan antisemitisme.[15] Sarsour pernah menulis di Facebook untuk membela Anggota Dewan Perwakilan ASIlhan Omar, menyebut pengkritik Omar sebagai "orang-orang yang pura-pura berhaluan progresif tetapi selalu mengutamaan kesetiaan mereka terhadap Israel di atas komitmen mereka terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat"; tulisan ini kemudian dikriitk American Jewish Committee, yang menuduh Sarsour menggunakan stereotipe anti-Yahudi.[53] Sarsour berulang kali menolak tuduhan antisemitisme terhadapnya, dan menyebutkan bahwa kritiknya terhadap negara Israel telah disalahartikan sebagai antipati terhadap Yahudi.[16][48] Pada Januari 2019, ia dikritik karena tidak menyebutkan kaum Yahudi dalam pernyataan Hari Peringatan Holokaus Internasional-nya; beberapa komentator menghubungkannya dengan tuduhan antisemitisme yang pernah Sarsour layangkan pada Presiden Trump saat Trump tidak menyebutkan kaum Yahudi dalam pernyataan Hari Peringatan Holokaus-nya pada tahun 2017.[54]
Pidato wisuda di CUNY
Sarsour terpilih untuk memberikan pidato dalam wisuda di City University of New York (CUNY) pada Juni 2017. Pemilihan ini ditentang dengan kuat oleh sebagian kalangan konservatif.[43]Dov Hikind, seorang anggota dewan negara bagian New York dari Partai Demokrat, melayangkan surat kepada Gubernur Andrew Cuomo untuk menentang dipilihnya Sarsour, dan ditandatangani oleh 100 mantan korban Holokaus.[8][48] Dasar ketidaksetujuan Hikind adalah riwayat Sarsour yang pernah berpidato bersama Rasmea Odeh, yang pernah divonis penjara oleh pengadilan Israel karena terlibat pengeboman yang menewakan dua orang pada 1969.[8]
Sarsour membantah bahwa ia harus meminta maaf atas pidato tersebut, dan mempertanyakan keabsahan vonis terhadap Odeh. Ia juga menganggap reaksi ini masih terkait dengan keterlibatannya sebagai pimpinan Pawai Perempuan.[8][48]Chancellor atau rektor universitas tersebut, dekan, sejumlah dosen, serta kelompok-kelompok Yahudi (termasuk Jews for Racial and Economic Justice) menyatakan membela hak Sarsour untuk berbicara.[8][48] including Jews for Racial and Economic Justice.[55] A group of prominent left-leaning Jews signed an open letter condemning attacks on Sarsour and promising to work alongside her for the sake of justice.[21] Jonathan Grenblatt dari Anti-Defamation League mendukung hak Sarsour untuk berbicara, sesuai dengan Amendemen Pertama Konstitusi AS, sekalipun ia menentang pandangan Sarsour tentang Israel.[56][57][58] Sebuah demonstrasi diadakan di depan Balai Kota New York untuk mendukung Sarsour. Pakar konstitusi Fred Smith Jr. mengaitkan kontroversi ini dengan isu kebebasan berbicara secara umum yang memang sedang diperdebatkan di AS. Pada akhirnya, Sarsour tetap menyampaikan pidatonya pada 2 Juni 2017.[59]
Perdebatan dengan Ayaan Hirsi Ali
Pada 2011, Sarsour berkicau di Twitter tentang aktivis pengkritik Islam Ayaan Hirsi Ali dan Brigitte Gabriel, aktivis konservatif dan pemimpin kelompok lobi ACT! for America, yang berbunyi "She's asking 4 an a$$ whippin'. I wish I could take their vaginas away - they don't deserve to be women." ("Ia minta digebuk. Andai saja aku bisa menghilangkan vagina mereka - mereka tidak berhak menjadi wanita."). Ia telah terlibat perdebatan dengan kedua wanita tersebut di radio dan televisi, yang ia sebut karena Ali dan Gabriel menggembar-gemborkan gagasan bahwa agama Islam bersifat misoginis atau anti-wanita. Ali balas menyebut Sarsour "feminis palsu" dan "pembela syariat Islam yang vokal". Kelak, pada 2017, Sarsour menyatakan bahwa kicauannya (yang saat itu telah dihapus) itu adalah "kicauan bodoh" dan ia sudah tidak ingat lagi pernah menulisnya.[3] Pada tahun yang sama, seorang mahasiswa menanyakan tentang kicauan tersebut dalam sebuah sesi tanya jawab, yang dibalas Sarsour dengan menyebutkan bahwa mahasiswa tersebut adalah seorang berkulit putih dan sesi tersebut terjadi dalam acara Asian Pacific American Heritage Month (Bulan Warisan Asia Pasifik di Amerika). Peristiwa ini menjadi viral di media sosial dan Sarsour dikritik karena mengabaikan pertanyaan tersebut atas dasar warna kulit penanyanya.[43]
Penggalangan dana
Saat sebuah pemakaman Yahudi di St. Louis, Missouri dirusak dalam aksi yang tampak bermotivasi antisemitisme pada Februari 2017,[b] Sarsour dan aktivis Muslim lainnya melakukan urun dana melalui internet untuk perbaikan dan restorasi berbagai pemakaman.[61][62][63] Salah satu penerima dananya adalah sebuah pemakaman Yahudi di Colorado yang termasuk daftar tempat bersejarah di AS.[63][64] Proyek ini menjadi kontroversi ketika Dov Hikind menuduh Sarsour memperlambat penyaluran dana tersebut karena dukungan Sarsour terhadap BDS.[65][66][67] Sarsour menyebut bahwa kontroversi ini adalah buatan kelompok Zionis berideologi alt-right.[65][66]
Sarsour juga menggalang dana untuk korban Badai Harvey (Agustus 2017); ini juga dikritik oleh kalangan konservatif yang memusuhinya. Menurut penulis Newsweek Alexander Nazaryan, ini menunjukkan meningkatnya antipati kalangan sayap kanan terhadap Sarsour.[68] MPower Change, sebuah kelompok yang didirikan Sarsour, juga menggalang dana untuk korban Penembakan sinagoge Pittsburg pada 2018.[67] Pendukung Sarsour menunjuk penggalangan dana ini, beserta penggalangan dana untuk pemakaman Yahudi setelah peristiwa St. Louis sebagai bukti bahwa Sarsour tidaklah antisemitis seperti dituduhkan.[38]
Kehidupan pribadi
Pada 2011, Sarsour tinggal di Bay Ridge, Brooklin. Ia menikah pada umur 17 setelah dijodohkan keluarga, dan memiliki tiga orang anak sejak pertengahan umur 20-an. Sarsour dan suaminya sama-sama berasal dari kota Al-Bireh di Tepi Barat, Palestina, sekitar 14 kilometer di utara Yerusalem.
Sarsour adalah seorang Muslim. Mengenai topik wanita dalam Islam, ia dikutip Washington Post menyatakan bahwa "Memang ada orang-orang Muslim dan rezim-rezim yang menzalimi wanita, tetapi aku percaya agamaku adalah agama yang memberdayakan." Ia memilih berhijab. Mengenai syariah, ia berpendapat bahwa prinsip dan hukum-hukum agama Islam yang disebut syariah tidak harus dipaksakan untuk non-Muslim, dan umat Islam pun juga harus mengikuti hukum setempat.
Beberapa pihak memuji Sarsour sebagai simbol pemberdayaan wanita dan "memecahkan stereotipe tentang wanita Muslim".[69] Dalam sebuah wawancara silang dengan aktivis feminis Iran Masih Alinejad tentang hijab, Sarsour menjelaskan pendapatnya bahwa mengenakan hijab adalah sebuah tindakan agama dan bukanlah simbol penindasan atau pemaksaan terhadap wanita, dan menekankan di Barat wanita yang berhijab malah sering mengalami tindakan Islamofobia. Alinejad menuduh Sarsour memiliki standar ganda, menyatakan bahwa Muslim di Barat pada umumnya, dan Sarsour pada khususnya, sering diam dan tidak mengecam diwajibkannya hijab di negara-negara Timur Tengah. Alinejad juga berkata bahwa jika Sarsour benar-benar peduli dengan hak-hak wanita, ia dapat melepas hijabnya (yang menurut Alinejad "merupakan simbol penindasan paling tampak di Timur Tengah") sebagai simbol perlawanan.[70][71]
Catatan kaki
^The Independent has described Sarsour as "a Palestinian-American Muslim rights campaigner who has spoken in support of the Boycott, Divestment, Sanctions (BDS) action group".[50]
^Police later determined that the confessed vandal was not motivated by religious hatred.[60]
^"Primary Contest List"(PDF). Board of Elections City of New York. August 31, 2016. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal December 13, 2018. Diakses tanggal January 19, 2018.
^* Katinas, Paula (February 21, 2017). "Sarsour leaving post at Arab American Association of NY". Brooklyn Eagle. Diarsipkan dari versi asli tanggal October 2, 2018. Diakses tanggal January 19, 2019. 'We are in a critical moment as a country and I feel compelled to focus my energy on the national level and building the capacity of the progressive movement'
Alter, Charlotte (January 20, 2017). "How the Women's March Has United Progressives of All Stripes". Time. New York: Time Inc.Diarsipkan dari versi asli tanggal January 24, 2017. Diakses tanggal January 24, 2017. 'People are expecting us to show up at a march and talk about our bodies and our reproductive rights,' says co-chair Sarsour ... Instead, she says, 'we're bringing together all the progressive movements.'
Walters, Joanna (January 14, 2017). "Women's March on Washington set to be one of America's biggest protests". The Guardian. Diarsipkan dari versi asli tanggal January 25, 2019. Diakses tanggal January 19, 2019. 'We need to stand up against an administration that threatens everything we believe in, in what we hope will become one of the largest grassroots, progressive movements ever seen,' said Sarsour.
^Maira, S. (2018). Boycott!: The Academy and Justice for Palestine. American Studies Now: Critical Histories of the Present. University of California Press. hlm. 144. ISBN978-0-520-29488-2.