Kolam, Percut Sei Tuan, Deli Serdang

Kolam
Negara Indonesia
ProvinsiSumatera Utara
KabupatenDeli Serdang
KecamatanPercut Sei Tuan
Kode pos
20371
Kode Kemendagri12.07.26.2003 Edit nilai pada Wikidata
Luas598 Ha.
Jumlah penduduk14.869 Jiwa (2013)
Kepadatan-
Peta
PetaKoordinat: 3°39′46.800″N 98°47′20.400″E / 3.66300000°N 98.78900000°E / 3.66300000; 98.78900000


Kolam adalah desa di kecamatan Percut Sei Tuan, kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.

Sejarah

Desa Kolam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Kolam merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Penduduk Kampung Kolam terdiri dari berbagai macam suku. Suku Batak, Jawa, Melayu, dan Karo merupakan penduduk yang mendiami daerah Kampung Kolam. Mayoritas penduduk Kampung Kolam adalah suku Jawa. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani yang menggarap tanah Perkebunan Nusantara (PTPN IX), namun selain itu ada juga yang bekerja sebagai pedagang, buruh, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil dan lain sebagainya. Banyaknya suku Jawa yang mendiami Kampung Kolam tidak terlepas dari dibukanya perkebunan tembakau di Deli yang dibuka oleh perusahaan swasta asing yang bekerja sama dengan Kesultanan Deli. Mereka datang sebagai tenaga kerja kuli di perkebunan tembakau. Istilah kuli merupakan istilah khas dari kolonial yang bermakna sangat merendahkan para tenaga kerja yang memang sesuai dengan penindasan yang mereka terima. Perkebunan tembakau itu berawal dari seorang Arab–Surabaya yang bernama Said Abdullah Bilsagih, yang merupakan ipar dari Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alam mengajak beberapa pedagang–pedagang Belanda di Jawa dalam tahun 1863 untuk menanam tembakau di Deli, sehingga tuan–tuan J. Nienhuys, Van Der Valk dan Eliot datang ke Deli pada tanggal 7-7-1863. Setelah J. Nienhuys mengirimkan contoh daun tembakau dari Deli ke Rotherdam pada bulan Maret 1864, ternyata hasil perkebunan tembakau di Deli menghasilkan daun tembakau berkualitas tinggi dan mendapat sambutan hangat di pasaran Eropa karena mutunya yang sangat baik sebagai pembungkus cerutu. Sejak saat itu maka dibukalah perkebunan–perkebunan tembakau di daerah Martubung, Sunggal, Sei Beras dan Klumpang.[1]

Pada tahun 1866 maskapai De Deli Maatschappil dibuka. Perusahaan perkebunan tembakau ini didirikan oleh Jansen, P.W Clemen, Nienhuys dan Cremer. Awalnya, para pekerja di perkebunan tebakau adalah kuli Tionghoa. Kuli-kuli perkebunan etnis Tionghoa umunya berasal dari Swatow, Tiongkok, Singapura atau orang–orang India Tamil (keling) yang didatangkan dari Pinang. Pada awalnya, para pekebun mendapatkan buruh Tionghoa di Singapura, Pinang, atau bahkan dari Deli sendiri dari perantara di daerah selat Malaka yang dibayar per kuli. Kegiatan mengekspor tenaga kerja dilakukan para tuan kebun karena tidak ada penduduk lokal yang mau bekerja di perkebunan milik perusahaan Belanda. Hal ini yang membuat orang–orang Melayu dan Karo dianggap sebagi suku pemalas. Kegiatan ekspor tenaga kerja dari luar negeri ini mulai mengalami kesulitan. Tiongkok mempersulit kedatangan buruh Tionghoa ke Deli, dan juga pemerintah Inggris memberikan syarat–syarat yang berat untuk tingkat kesejahteraan kuli keling, maka para tuan–tuan kebun Belanda mulai melirik suku Jawa sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1875 Deli Maatschppij telah mendatangkan tenaga kerja orang Jawa asal Bagelen. Sebelum mengambil tenaga kerja dari Jawa, ternyata sejak tahun 1870 sudah ada sekitar 150 kuli Jawa yang datang atas kehendak sendiri, bahkan orang–orang dari Semarang juga datang untuk bekerja di perkebunan Deli yang pada masa itu masih berjumlah beberapa ratus sampai tahun 1890 ketika perkebunan mulai berubah tujuannya.

Perkebunan Deli kemudian beralih fungsi, perkebunan yang awalnya hanya perkebunan tembakau kini menjadi perkebunan kopi, karet, teh dan kelapa sawit. Pada tahun 1900 yang dipekerjakan hanya buruh Jawa. Sehingga pada tahun 1911 sudah terdapat lonjakkan besar terhadap jumlah kuli kontrak asal pulau Jawa yang bekerja di perkebunan–perkebunan milik swasta asing . Sebanyak lebih dari 50.000 kuli kontrak didatangkan dari Jawa Tengah untuk bekerja di perkebunan karet.[2] Pada masa itu imigrasi Jawa cukup besar. Tahun 1951–1952 terdapat hampir 25.000 orang yang datang untuk bekerja di perkebunan, diikuti 41.000 anggota keluarga. Jumlah pendatang per tahun itu kemudian berkurang hingga mencapai beberapa ratus ribu saja, dan naik lagi antara tahun 1963 dan 1965 sampai 55.000 orang.[3] Kedatangan suku Jawa yang begitu banyak disamping bertujuan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan diantaranya ada juga yang datang dengan kemauan sendiri untuk bekerja dengan para pedagang-pedagang Tionghoa yang jumlahnya mulai banyak di Sumatera Timur. Para imigran Jawa itu menetap di daerah-daerah antara lahan perkebunan dan pemukiman-pemukiman atau kampung orang Melayu. Sejak kedatangan kuli kontrak asal Jawa ke Sumatera Timur pada masa perkebunan, sebagian dari mereka pulang ke daerahnya masing-masing saat habis kontrak dengan perkebunan, tetapi ada juga yang menetap dan beranak cucu di tanah perantauannya. Maka dari itu lahirlah istilah Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Suku Jawa kini menjadi salah satu suku mayoritas di Medan dan sekitarnya. Mereka banyak yang tinggal di daerah kota Medan maupun daerah–daerah pinggirian kota yang dulunya merupakan bekas lahan perkebunan, termasuk daerah Kampung Kolam. Awalnya orang–orang Jawa di Kampung Kolam sebagian besar beragama Islam dan beberapa masih melaksanakan kepercayaan turun temurun yang mereka bawa dari daerah asalnya yaitu Pulau Jawa. Kepercayaan yang mereka anut itu sering disebut sebagai Kejawen, dan ada juga yang menganut Iman Hak (IH) yaitu suatu kepercayaan terhadap Sang Hyang Widi sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Iman Hak ini hampir sama dengan kepercayaan orang Batak kepada Ompung Mulajadi Na Bolon.

Peristiwa Gerakan 30 September

Perubahan besar dari segi agama orang–orang Jawa ini terjadi pada tahun 1965 setelah terbongkarnya peristiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut G 30 S/PKI di Jakarta. Peristiwa yang membunuh ke-tujuh Jendral Angkatan Darat itu disebut–sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk membrantas gerakan partai haluan kiri itu, Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (PANGKOSTRAT) mengundang dukungan masyarakat luas untuk membrantas PKI. Reaksi masyarakat Indonesia tidak terkecuali di Medan dan sekitarnya yang pada saat itu dalam keadaan kacau menuntut agar orang–orang yang terlibat dalam PKI untuk ditangkap dan diadili. Kemarahan rakyat terhadap PKI dituangkan dalam Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) yang berisikan;1. Pembubaran PKI, 2. Pembersihan Kabinet dari Unsur-unsur G30S/PKI.

Gelombang amarah masyarakat mulai bergerak menyisir daerah–daerah yang disinyalir menjadi sarang PKI di sekitar Kota Medan. Masyarakat yang ingin membrantas PKI melakukan penyerangan ke daerah yang dianggap terdapat oknum–oknum PKI. Di Sumatera Utara massa rakyat juga turut melakukan aksi pengganyangan PKI dan ormas–ormasnya. Hal menimbulkan bentrokan dan kerusuhan–kerusuhan yang mengakibatkan pertumpahan darah di berbagai daerah termasuk bagian tenggara Sumatera Utara.

Kampung Kolam yang merupakan daerah perkebunan PTPN IX disinyalir menjadi tempat berkembangnya PKI dan organisasinya. Karena PKI dinilai sudah memasukkan ajaran dan ideologinya kepada petani-petani di daerah perkebunan asal Jawa yang masih buta huruf serta berdirinya organisasi Badan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi bentukan PKI. Hal ini yang membuat Kampung Kolam dianggap sebagai basis PKI di daerah Medan yang disinyalir banyak terdapat angota PKI pada masa itu. Dalam penumpasan PKI yang digalang Organisasi Pemuda Pancasla (PP) dan juga dibantu elemen masyarakat temasuk Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) masuk dan menyerbu Kampung Kolam pada bulan Oktober 1965. Penyerangan itu mengalami kegagalan yang mengakibatkankan tewasnya 2 orang dari kubu masyarakat yang ingin menyerang Kampung Kolam yakni M. Jacob dari anggota PP yakni Anadlin Prawira. Jasad keduanya dibuang ke dalam parit di daerah Kampung Kolam. Hal itu membuat amarah masyarakat yang ingin membersihkan PKI semakin membara dan kemudian melakukan serangan balasan ke Kampung Kolam. Serangan yang dilakukan oleh gabungan masyarakat ini menimbulkan rasa takut yang luar biasa bagi penduduk Kampung Kolam. Rasa takut akan ditangkap sebagai anggota partai terlarang.

Geografi

Desa Kolam merupakan salah satu desa yang terdapat di kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 598 Ha. Secara administratif desa Kolam terdiri atas 13 Dusun. Adapun batas-batas desa Kolam yaitu:

Utara Desa Saentis, Percut Sei Tuan, Deli Serdang
Timur Desa Bandar Setia, Percut Sei Tuan, Deli Serdang
Selatan Desa Sidodadi, Batang Kuis, Deli Serdang
Barat Desa Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Deli Serdang

Referensi

  1. ^ Luckman Sinar, Tengku (1996). Jati Diri Melayu. hlm. 25–26. 
  2. ^ Peret (2010: 39)
  3. ^ Peret (2010:37)