Kim Geum-hwa
Kim Geum-hwa (1931-2019) adalah tokoh dan praktisi Muisme (shamanisme) dari Korea Selatan.[1][2] Ia dikenal akan pertunjukannya yang unik dalam setiap ritual yang ia selenggarakan.[3] Perkenalan dengan shamanisme dan latar belakang menjadi mansinKim Geum-hwa lahir di Provinsi Hwanghae (sekarang bagian dari Korea Utara).[1] Sejak kecil ia telah menyaksikan berbagai ritual shamanisme karena dalam keluarganya, sang nenek dari pihak ibu adalah seorang dukun.[3] Pada saat berusia 13 tahun, sang ayah meninggal. Karena keluarganya miskin dan tak mampu menanggung beban lagi, Kim dinikahkan dengan laki-laki keluarga petani. Setahun setelah menikah, ia diserang oleh demam yang membuatnya tidak bisa bekerja. Diusir pulang ke rumah orang tuanya, sakitnya bertambah parah. Pada usia 17 tahun, sang nenek mengadakan ritual inisiasi menjadi dukun untuk dirinya.[3] Setelah inisiasi, ia tak lagi menderita sakit-sakitan. Dari sang nenek dan dukun senior, Kim mempelajari pertunjukan dukun seperti menyanyi dan menari untuk ritual.[3] Usianya masih 20 saat Perang Korea meletus. Saat itulah ia menyeberang ke Korea Selatan dan melanjutkan kariernya sebagai mansin (dukun).[1] Karena asalnya dari Korea bagian utara, Kim mewarisi tradisi mansin yang berbeda dengan mansin daerah selatan.[4] Proses menjadi dukun di daerah utara Sungai Han, semenanjung Korea bagian utara, setelah seseorang menderita sakit yang misterius.[4] Sakit tersebut diterjemahkan sebuah panggilan untuk menjadi dukun yang kemudian diresmikan dalam sebuah inisiasi dan kerasukan. Sementara di Korea bagian selatan Sungai Han, menjadi dukun merupakan warisan dari anggota keluarga.[4] Dalam praktiknya mereka tidak dirasuki oleh dewa atau roh. Mansin menjembatani alam gaib dan alam manusia. Mereka dipercaya karena kemampuannya berkomunikasi dengan alam, arwah leluhur atau dewa-dewa selain sebagai peramal atau penyembuh.[4] Sebagian besar mansin dan dukun Korea dipraktikkan oleh kaum wanita. Ritual-ritual dapat dilaksanakan dalam berbagai hal seperti pemberkatan dan mengusir arwah jahat. Sebagai penyembuh, mansin memberi pengobatan bagi luka jiwa yang dituding menjadi penyebab sakit seseorang. Mansin utara yang mencari jawaban kepada dewa-dewa atau arwah akan dirasuki dan berbicara kepada manusia. Pertunjukan Kim Geum-hwa yang paling terkenal ialah menari di atas pisau belati (jakdugeori). Memasuki dekade awal 60-an hingga 70-an, program pembaharuan di Korea Selatan dicanangkan oleh Park Chung-hee, yakni Saemaul Undong (Gerakan Masyarakat Baru).[2] Gerakan Saemaul Undong yang gencar termasuk menyingkirkan ritual-ritual yang dianggap takhayul.[2] Pada periode ini shamanisme mengalami tekanan dan para dukun dianggap hina sehingga sering kali mereka dilaporkan ke polisi atau diseret keluar dari tempat ritual.[2] Aktivitas pada dekade 80-anPerubahan pada dekade 80-an ditandai dengan semakin dikenalnya shamanisme Korea di dunia barat dan akademis, berbanding terbalik dengan yang mencemoohnya di negaranya sendiri.[2] Pada tahun 1981, Kim melakukan inisiasi untuk Hee-ah Chae, seorang mahasiswa Universitas Nasional Seoul yang mempelajari shamanisme dan berniat untuk menjadi seorang dukun.[2] Pada tanggal 1 Februari 1985, Kim menerima penghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Komunikasi Korea Selatan. Ritual kapal nelayan Pungeoje yang telah langka berasal dari daerah Hwanghae kini dilestarikan sebagai Warisan Budaya Nonbendawi Korea Selatan.[2] Di antara dukun Korea, Kim merupakan yang paling dikenal terutama dalam lingkup antropologi. Ia telah dikaji dan dibahas dalam berbagai jurnal antroplogi. Ia juga muncul dalam konferensi tentang shamanisme. Ia menampilkan ritual shamanisme untuk Claude Levi-Strauss dalam konferensi internasional di Korea pada tahun 1981, serta untuk kunjungan antropolog Inggris dari Royal Anthroplogical Institute, tahun 1984. Kontribusinya juga telah dikenal luas dalam kalangan akademis. Ia dihargai oleh Smithsonian Institution dalam upayanya berkontribusi untuk menyebarkan pengetahuan tentang tradisi rakyat dan warisan budaya bangsanya. Ia diundang secara resmi untuk tampil dalam peringatan seratus tahun hubungan diplomatik Korea Selatan dan Amerika Serikat di Smithsonian Institution. Pada tahun 1984, ia menjadi terkenal setelah tampil dalam Third International Women Playwrights di Adelaide, Australia. Meningkatnya perhatian terhadap shamanisme salah satunya karena telah diakui sebagai bagian penting dalam budaya Korea. Shamanisme merupakan akar dari berbagai seni tradisional Korea. Walaupun shamanisme kini diangkat dalam seni yang tampak meriah, indah dan menghibur, namun sebenarnya nilai-nilai, simbol, makna dan tujuan shamanisme yang sebenarnya dikhawatirkan akan hilang, sedangkan hanya sedikit orang yang menjadi dukun, yaitu pewaris ritual-ritual yang telah langka. Peran sebagai seniman dan penulisPerannya sebagai seniman lebih banyak dikenal dibanding sebagai dukun yang bertugas menyembuhkan. Bagaimanapun juga gelarnya sebagai harta nasional hidup bukanlah untuk perannya sebagai penyembuh, namun lebih sebagai seniman atau penghibur. Dalam masa pensiunnya ketika tidak lagi pergi mengadakan pertunjukan, ia masih aktif membantu orang-orang yang tertarik mempelajari shamanisme. Ia telah menjadi narasumber dan pengajar penting bidang shamanisme Korea di berbagai televisi, radio, teater dan universitas.[2] Sebagai penulis, Kim telah menerbitkan beberapa karya yang berkaitan dengan shamanisme. Kim Kum Hwa Mugajip (Kum-Hwa Kim's Shamanic Songs) berisi tentang lagu-lagu shamanisme yang dinyanyikannya.[2] Buku itu adalah wujud kekesalannya terhadap para peneliti yang menerjemahkan lagu-lagunya dengan sembarangan dan penuh kesalahan. Ia menerbitkan bukunya sendiri dengan bantuan dari asistennya. Biografi yang berisi perjalanan kehidupan dan pemahamannya akan Shamanisme dituangkan dalam Boguen Nanugo Hwaneun Pusige (Sharing Good Fortune and Removing Resentment).[2] Kisah hidup Kim Geum-hwa diangkat dalam film tahun 2014 berjudul “Manshin” yang disutradarai oleh Park Chan-kyong. [5] Referensi
|