Keresidenan ManadoKeresidenan Manado (bahasa Inggris: Manado Residency; bahasa Belanda: Residentie Manado), adalah salah satu karesidenan di bawah Gubernemen Grote Oost, Hindia Belanda, yang dibentuk pada tanggal 1 Januari 1926. Ibu kota karesidenan terletak di Kota Manado. Keresidenan Manado terdiri dari tiga afdeling (distrik), yaitu Afdeling Manado, Afdeling Gorontalo, dan Afdeling Midden Celebes – Sulawesi Tengah. Pada tahun 1910, saat seluruh bagian Sulawesi Tengah telah jatuh di bawah kekuasaan Hindia Belanda, pemerintah kolonial di Keresidenan Manado mulai mengontrol dan menerapkan sistem pajak terhadap populasi masyarakat yang berjumlah hampir 1 juta jiwa di daerah yang berukuran setara dengan Portugal ini.[1] Keresidenan Manado berakhir saat pendudukan Jepang di Indonesia dimulai. Bagaimanapun, arsip kolonial dari Keresidenan Manado, sebuah rekaman sejarah publik yang disimpan oleh pemerintah kolonial selama setidaknya dua setengah abad, hilang. Seorang pria tua yang bekerja di kantor Dewan Minahasa (bahasa Belanda: Minahassaraad) saat berkunjung ke kantor Residen, menyaksikan beberapa perwira kolonial Belanda yang membakar kertas-kertas arsip tersebut.[2] Penolakan istilah Toraja di Sulawesi TengahBugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[3], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan. Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[4] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[5] [6] Permasalahan yang muncul kemudian adalah "pengkaburan sejarah tana poso", mengenai siapakah pemilik tana poso, Karena tidak mungkin satu wilayah memiliki dua suku dan tidak mungkin juga satu wilayah dimiliki dua kerajaan yang berbeda yaitu Suku Bare'e di pihak Kerajaan Tojo dan Toraja (pamona) kristen di pihak Kerajaan Luwu, dan Kerajaan Luwu tidak memiliki bukti kepemilikan Tana Poso seperti Arajang[7] Kerajaan Tojo.[8] Dan sekitar tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda menduduki Buyumboyo, dan setelah itu terjadi gerakan Misionaris besar-besaran di wilayah Tana Poso yang dipimpin oleh Albertus Christiaan Kruyt, Nicolaas Adriani, dan Philip Heinrich Christoph Hofman. To LamusaSkema To Lamusa dari Kerajaan Luwu tidak terbukti yaitu dari pernyataan Walter Kaudern yang menyatakan "...adapun kalau ditempati, tanah tersebut sudah ditinggalkan dalam waktu yang lama sekali, karena tanahnya seperti jurang yang sangat sulit untuk dibuatkan semacam rumah tempat tinggal", karena berupa "jurang" sehingga pastilah orang akan beranggapan tanah yang dulunya merupakan hunian pemukiman penduduk setelah itu tempat hunian tersebut menjadi jurang, pastilah orang beranggapan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena faktor bencana alam dan salah satunya adalah Gempa bumi, dan di zaman moderen pernyataan tersebut dibuktikan dengan tidak adanya garis patahan gempa yang melewati wilayah tempat yang dulu dinamakan Lamusa di TandongKasa (Tando Ngkasa), desa Lamoesa, dan Pantjawoe Enoe.[9] Legenda dan Tradisi Bare'eDi Poso tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan taktik Politik pecah belah wilayah Suku Bare'e yang sebelumnya hanya 4 wilayah yaitu : ToRato Bongka, ToLalaeyo, ToTora'u, dan ToLage, dipecah menjadi beberapa daerah baru seperti To Puumboto, To Onda'e, To Pebato, To Bancea, dll, dan setiap wilayah baru diangkat seorang pemimpin Landschap (wilayah bentukkan Hindia Belanda) yang berpangkat dalam Bahasa Bare'e: Mokole Bangke, dan dalam hal taktik Politik pecah belah, pemerintah Hindia Belanda bekerjasama dengan Misionaris Kristen dari Belanda. Taktik Politik pecah belah oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut yaitu dengan melakukan beberapa tradisi dari umat Kristen di Tana Poso untuk menyebarkan adat istiadat dan budaya Suku Bare'e yang mempengaruhi suku-suku di luar Suku Bare'e yaitu tradisi mengatakan bahwa "orang Sausu dan Parigi berasal dari daerah aliran sungai Poso setelah terjadi peristiwa Watu Mpogaa. Konon mereka membawa tanaman sinagoeri dari Danau Poso. Ceritanya, semak ini menjadi pohon. Pohon dari Danau Poso ini sekarang digunakan di Parigi sebagai tiang utama rumah kepala lanskap. Namun patut diduga bahwa Orang Parigi aslinya berasal dari Teluk Palu, begitu pula dengan masyarakat Ampibabo yang tinggal di sebelah utara mereka, yang bahkan lebih murni memiliki ciri-ciri kelompok Parigi-Kaili".[10] Begitu halnya dengan wilayah To Kulawi dengan mengatakan bahwa "To Kulawi memiliki Tadulako yang berasal dari Roh Anitu (roh perang)[11] seperti halnya Suku Bare'e di Grup Poso-Tojo", padahal yang sebenarnya hanya Suku Bare'e lah yang percaya dan memiliki Roh Anitu, dan Roh Anitu[12] berasal dari Bahasa Bare'e, sementara To Kulawi yang memiliki adat istiadat dan budaya Suku Bare'e adalah To Kulawi bentukkan pemerintah Hindia Belanda yang seperti halnya orang-orang parigi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda dari pulau Jawa dan beragama Kristen. Jadi seperti halnya tradisi "Tanaman sinagoeri dari danau poso" yang mempengaruhi orang Parigi supaya percaya bahwa orang parigi berasal dari Danau Poso (Suku Bare'e) bukan dari Teluk Palu yaitu tempatnya Suku Kaili berasal, seperti itulah Misionaris Kristen Belanda mempengaruhi dan mengajak suku-suku di Sulawesi Tengah untuk mengenal agama Kristen, dan konon tradisi dan budaya dari Suku Bare'e ini jangkauan wilayahnya sampai ke wilayah Suku Mongondow di Sulawesi Utara terutama dalam hal Tari Moraego, Tari Mokayori, Baju Kulit Kayu (Inodo, Fuya), dll, hal tersebut bisa dibuktikan dengan peninggalan dokumen-dokumen di zaman Hindia Belanda. Tradisi dari umat Kristen di Tana Poso mengenai sausu dan parigi dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda yaitu mula-mula dengan membawa orang-orang dari pulau Jawa yang telah beragama Kristen ke wilayah Poso-Tojo di Sulawesi, setelah itu memaksakan suatu cerita Legenda atau tradisi dari Suku Bare'e kepada suku selain Suku Bare'e, dan tahap akhir dari Misionaris Belanda di Sulawesi Tengah yaitu membawa orang-orang yang telah beragama Kristen yang telah terpengaruh tadi dari daerah asalnya ke wilayah Wotu, Luwu Timur, dengan mengikuti Legenda Desa Pamona Watu Mpogaa.[13] Residen
Referensi
Sumber
|