Kemalasan (tujuh dosa pokok)

Accidia (kemalasan rohani) dalam Tujuh Dosa Mematikan dan Empat Hal Terakhir, lukisan karya Hieronymus Bosch.

Kemalasan (bahasa Inggris: sloth, bahasa Latin: acedia) adalah salah satu dosa dari antara tujuh dosa pokok. Kemalasan dipandang sebagai dosa yang paling sulit untuk didefinisikan, dan untuk digolongkan sebagai dosa, karena mengacu pada pencampuradukan gagasan-gagasan khas dari zaman kuno seperti keadaan mental, spiritual, patologis, dan fisik.[1]

Terminologi

Kata Inggris sloth dikatakan berasal dari istilah Latin acedia atau accidia (bahasa Inggris Pertengahan: accidie) dan berarti "tanpa peduli". Secara rohani, acedia pertama-tama mengacu pada suatu penderitaan atau kesusahan yang melingkupi umat beragama, terutama para biarawan atau rahib, yang karenanya mereka menjadi tidak acuh pada tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban mereka kepada Allah. Secara mental, acedia memiliki sejumlah komponen khas; komponen yang dipandang paling penting adalah kekerasan hati atau ketidakpekaan, yakni kurangnya perasaan apa pun terkait diri sendiri atau orang lain, suatu keadaan budi yang menimbulkan kebosanan, dendam, apati, dan suatu kelembaman pasif atau pemikiran lamban. Secara fisik, acedia pada dasarnya dikaitkan dengan penghentian gerak dan ketidakpedulian untuk bekerja; pengungkapannya didapati dalam tindakan kemalasan, pengangguran, dan penghindaran aktivitas.[1]

Dalam bahasa Indonesia, istilah acedia dalam konteks dosa pokok biasa diterjemahkan menjadi "kemalasan" atau "malas".[2] Terjemahan lain yang dipandang memungkinkan adalah "ketidakpedulian", namun kata "kelambanan" dan "kejemuan" dianggap sebagai terjemahan-terjemahan yang kurang tepat dari istilah acedia.[3]

Definisi

Katolik

Dalam karyanya, Santo Thomas Aquinas mendefinisikan kemalasan sebagai "kesedihan dalam hal kebaikan rohani" dan sebagai "kelesuan budi yang melalaikan untuk memulai kebaikan". Kesedihan atau kesusahan hati tersebut adalah juga "jahat dampaknya, apabila kesedihan itu sedemikian membebani manusia dalam hal menjauhkan dia sepenuhnya dari perbuatan-perbuatan baik."[4] Menurut Katekismus Gereja Katolik, "acedia atau kemalasan rohani lebih jauh lagi menolak sukacita yang berasal dari Allah dan membenci kebaikan ilahi."[5]

Kemalasan juga berarti tidak lagi memanfaatkan tujuh karunia Roh Kudus (Hikmat, Pengertian, Nasihat, Pengetahuan, Kesalehan, Keperkasaan, dan Takut akan Tuhan); ketidakpedulian tersebut dapat mengakibatkan terhambatnya kemajuan rohani seseorang untuk sampai pada kehidupan kekal, pengabaian tugas-tugas melakukan amal kasih kepada sesama, dan kebencian terhadap orang-orang yang mengasihi Allah.[6]

Kemalasan merupakan dosa pelalaian (omission) yang adalah juga dosa pelaksanaan (commission), dapat ditimbulkan dari dosa-dosa pokok lainnya. Sebagai contoh, seorang anak mungkin saja mengabaikan kewajibannya kepada orang tuanya karena kemarahan. Kendati keadaan kemalasan dan kebiasaan kemalasan tergolong sebagai dosa berat, kebiasaan ataupun keadaan dari jiwa yang condong ke arah keadaan kemalasan berat tahap akhir belum tentu merupakan dosa berat, kecuali dalam kondisi tertentu.[6]

Ortodoks

Dalam Filokalia, kumpulan naskah kuno dari tradisi Ortodoks Timur, digunakan istilah dejection (kekecewaan atau kepatahan hati) sebagai ganti istilah sloth (kemalasan), karena orang yang jatuh ke dalam kekecewaan akan kehilangan minat dalam hidupnya.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) Lyman, Stanford. The Seven Deadly Sins: Society and Evil. hlm. 5. ISBN 0-930390-81-4. 
  2. ^ Kamus Teologi. Penerbit Kanisius. 1996. hlm. 61. ISBN 9789794975244. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-04-13. Diakses tanggal 2017-04-13. 
  3. ^ Stefanus Tay. "Terjemahan Tujuh Dosa Pokok dan Acedia". katolisitas.org. 
  4. ^ (Inggris) Thomas Aquinas. "The Summa Theologica II-II.Q35.A1 (Sloth)" (edisi ke-1920, Second and Revised Edition). New Advent. 
  5. ^ (Inggris) "Paragraph 2094", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  6. ^ a b (Inggris) Manning, Henry Edward (1874). Sin and Its Consequences. London: Burns and Oates. hlm. 40,103–117. 

Pranala luar